Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 05 September 2009

Membaca Gelagat di Balik Provokasi Malaysia

Sejak awal berdirinya Negara Malaysia sudah membuat gerah dan panas hati Presiden Soekarno dan rakyat Indonesia. Karena proses perundingan mengenai batas-batas wilayah sedang berlangsung dan Pemimpin Malaysia dengan Presiden Soekarno pun telah sepakat bahwa sebelum perundingan mengenai batas wilayah tersebut disepakati maka Malaysia belum akan memerdekakan diri.

Tapi, perjanjian tinggallah perjanjian, nyatanya Malaysia di bawah pengaruh dan desakan Inggris tetap menyatakan kemerdekaannya meskipun batas-batas territorial belum selesai dibicarakan. Inggris-Amerika tampaknya semakin khawatir dengan perkembangan Partai Komunis Indonesia yang kian hari semakin besar dan luas pengaruhnya belum lagi soal isu adanya poros Moskow-Peking-Jakarta yang menempatkan Indonesia sebagai wilayah strategis penyebaran ideologi komunisme di Asia Tenggara. Vietnam, Kamboja dan sebagian Myanmar pun telah secara terang-terangan menyatakan kiblatnya ke arah blok Timur. Melihat perkembangan yang semakin tidak menguntungkan bagi blok Barat, maka Inggris sebagai penjajah Malaya dan Amerika sebagai sekutunya merasa perlu untuk segera memerdekakan Malaysia mengingat jarak geografis yang begitu dekat dengan Indonesia yang sedikit demi sedikit cenderung kearah KIRI. Malaysia, letaknya begitu strategis, menjadi jalur transportasi laut yang utama menuju Asia tenggara. Pemerdekaan Malaysia oleh Inggris adalah langkah yang paling strategis dan mendesak untuk dilaksanakan, untuk kemudian dijadikan sebagai Negara satelit blok Barat guna memantau perkembangan di Indonesia sekaligus dijadikan basis perlawanan terhadap penyebaran ideology komunisme dari Indonesia ke Negara-negara Asia Tenggara lainnya, maupun dari negeri Tiongkok sana.

Presiden Soekarno merasa gerah karena pemimpin Malaysia melanggar perjanjian yang sudah disepakati akhirnya mengeluarkan kebijakan ganyang Malaysia yang berujung pada dikeluarkannya Indonesia dari keanggotaan PBB yang berdampak pada melemahnya posisi tawar dan loby-loby politik Indonesia di tingkat internasional. Malaysia memainkan peran Penting seperti yang diharapkan oleh Inggris dan sekutu-sekutunya yaitu untuk menyibukkan Indonesia dengan kemarahannya terhadap Malaysia, dengan begitu masalah penyebaran ideology komunisme di wilayah Indonesia bisa ditunda untuk beberapa saat lamanya. Dampaknya begitu luas. Terjadi perpecahan di tubuh angkatan perang, karena sebagian besar petinggi angkatan perang tidak setuju untuk mengganyang Malaysia karena mereka insyaf di belakang Malaysia berdiri pasukan Inggris yang bukan main perkasanya di lautan. Begitu Malaysia diserang, maka mereka akan mempunyai alasan untuk memborbandir dan meluluh lantakkan Indonesia. Tapi PKI mendukung kebijakan ganyang Malaysia tersebut. Maka Konflik yang semula hanya terjadi di tubuh angkatan perang meluas menjadi sentimen antara angkatan perang, terutama Angkatan Darat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Apalagi ketika PKI menuduh bahwa Angkatan Darat berperang dengan setengah hati di pulau Borneo. Inilah cikal bakal konflik antara Angkatan Darat dengan PKI yang mencapai puncaknya pada September 1965. Malaysia sebagai Negara satelit Blok Barat berhasil memainkan perannya secara gilang gemilang untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara, khusunya di Indonesia. Lalu, Amerika dan Inggris mulai memainkan perannya secara langsung ke Indonesia untuk menghancurkan faham komunisme dengan memfasilitasi penumpasan sisa-sisa anggota PKI yang memakan korban jiwa hampir satu juta massa. Soeharto dan Angkatan Darat mengklaim Bahwa gerakan ataupun pembantain terhadap anggota PKI tersebut murni sebagai sebuah tindakan spontanitas rakyat yang marah atas Cup d etat dan pembunuhan sadis yang dilakukan oleh PKI. Tapi, marilah kita lihat ke belakang. Apakah mungkin tindakan pembantain itu dapat dikatakan benar-benar bersifat spontan mengingat pembantaian terhadap anggota PKI di Jawa Tengah Berlangsung selama Bulan Oktober 1965, Di Jawa Timur November 1965, dan di Bali Desember 1965. Pembantaian yang berlangsung selama tiga bulan tersebut memunculkan sebuah dugaan bahwa aksi pembantaian tersebut difasilitasi dan dimobilisasi secara terencana, dan pelakunya tetap sama, baik yang melakukan pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali orangnya ya itu-itu saja.

Soeharto sangat anti dengan komunis, bukan komunisme sebagai ideology, tetapi komunis sebagai sebuah partai yang mempunyai massa dan pengaruh yang begitu besarnya, apalagi setelah munculnya wacana untuk mempersenjatai kaum tani sebagai angkatan ke-lima sebagai pasukan cadangan yang akan dipersiapkan untuk mengganyang Malaysia jelas-jelas memperlemah posisi Angkatan Darat. Apalagi Presiden Soekarno pun terang-terangan mengecam sikap pengecut Angkatan Darat dan memberikan simpati kepada PKI yang mendukung kebijakan ganyang Malaysia tersebut. Saya tidak bermaksud untuk membongkar tragedi berdarah 1965, siapa pelakunya dan apa tujuannya, karena begitu gelap misteri seputar tragedi berdarah itu. Tapi, satu hal yang menurut saya menarik untuk dicermati adalah. Pasca naiknya Soeharto menjadi Presiden ke-dua Republik Indonesia, Union Texas Oil, Caltex dan PT. Freeport Indonesia berdiri dengan megahnya untuk menghisapi sumber daya mineral negeri ini. Lalu, belasan perusahaan asing berlomba-lomba menancapkan tentakel raksasanya dan dengan rakus menghisapi kekayaan sumber daya alam kita. Sebuah pertanyaan spekulatif coba saya lontarkan. Mengapa perusahaan pertambangan raksasa itu tumbuh seperti jamur di musim hujan ketika Soekarno baru saja lengser dari singgasana kepresidenan? Sungguh, di Indonesia, tahun 1965 adalah titik balik kemenangan kapital dan bedil.

Provokasi Malaysia di masa lalu telah berhasil membuat Indonesia dikeluarkan dari anggota PBB, melemahkan posisi tawar dan loby-loby politik Indonesia di tingkat internasional, memecah belah dan menimbulkan kecurigaan di tubuh angkatan perang, angkatan perang dengan PKI dan angkatan perang dengan presiden selaku panglima tertinggi angkatan perang. Provokasi Malaysia di masa lalu telah berhasil melengserkan presiden Soekarno dari kursi kepresidenan dan mengangkat Soeharto menjadi presiden kedua Republik Indonesia, mendorong berdirinya perusahaan pertambangan asing yang pada akhirnya menyebabkan penderitaan bagi jutaan rakyat Indonesia.

Kita perlu mencermati, ada apa di balik provokasi Malaysia yang sudah beberapa kali terjadi belakangan ini, dari klaim-mengklaim wilayah, kebudayaan, sampai pada mengklaim kesenian kita. Baru saja Malaysia meminta maaf karena mengklaim blok ambalat masuk ke dalam wilayah territorial mereka, mereka mulai lagi mengklaim tari pendet. Baru saja Malaysia meminta maaf karena telah mengklaim tari pendet, sekarang mereka mengklaim pulau jemur di kepulauan Riau masuk ke dalam wilayah mereka. Ingat kasus Sipadan-Ligitan. Bila jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ini adalah dengan berunding. Ingat-ingatlah ini. Konferensi Linggar jati yang membahas batas garis demarkasi berakhir dengan menyempitnya wilayah teritori Republik, Konferensi Meja Bundar berakhir dengan segala hutang luar negeri Negara Hindia Belanda menjadi hutang luar negeri Republik Indonesia Serikat, Perundingan mengenai batas wilayah dengan Malaysia berakhir dengan lepasnya pulau sipadan dan ligitan dari pangkuan bumi pertiwi. Perundingan haruslah dijadikan sebagai jalan yang tidak akan pernah ditempuh dalam menyelesaikan konflik dengan Malaysia.

Apa tujuan provokasi Malaysia kali ini? Jikalau yang dijadikan sebagai sasaran adalah untuk melengserkan SBY, tidak mungkin karena Presiden kita ini dekat dengan Amerika-Inggris, bahkan Partai yang dia pimpin saja sama dengan partai penguasa di negeri paman Sam sana. Jika yang dijadikan sasaran adalah sumber daya mineral, tidak mungkin juga karena sumber daya mineral kita sudah habis dihisapi Union Texas Oil, CALTEX, Pt. Freeport Indonesia dan lain-lainnya itu. Jangan bilang tidak. Pasti ada. Pasti ada beberapa hal yang menjadi tujuan dibalik peristiwa provokasi Malaysia ini. Dan, apapun tujuan itu, pastilah berbicara tentang kepentingan Inggris-Amerika dan sekutu-sekutunya.Ditengah klaim-mengklaim yang sedang gencar-gencarnya dilancarkan Malaysia, pemimpin Negara ini, Presiden Republik Indonesia justru rebut-ribut dengan kebijakan politiknya, sibuk membela namanya dari cemoohan rakyatnya sendiri, sibuk dengan kasus-kasus manipulatif untuk membingungkan rakyatnya sendiri. Malah belakangan muncul wacana untuk membuat undang-undang kerahasiaan Negara. Untuk apa??!! Negara kita telah diinjak-injak kedaulatannya oleh Malaysia. Mengapa masih saja sibuk mengurusi partai, mengurusi penunjukan ketua DPR yang seharusnya menjadi hak mutlak lembaga legislative. Pemerintah, dalam hal ini sama sekali tidak jeli dalam menanggapi dan mencermati motif provokasi Malaysia kali ini. Tetap saja mengedepankan jalan diplomasi. Saya tekankan sekali lagi. Diplomasi adalah satu-satunya jalan yang tidak boleh ditempuh untuk menyelesaikan konflik dengan Malaysia yang telah berulang kali menginjak-injak kedaulatan Republik ini. Inggris-Amerika pasti ada dibelakang mereka. Tapi, takutkah kita? Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tanpa kehormatan dan kedaulatan. Rakyat bertanya. Berapa Anggaran pemerintah untuk pendidikan? 20 % kata pemerintah. Itu kan data statistik. Rakyat bertanya lagi, berapa dana APBN? Dan berapa dialokasikan untuk dunia pendidikan? Berapa untuk bidang kesehatan? Tapi saya tidak bertanya seperti itu. Saya bertanya, berapa milyar dana yang dikeluarkan pemerintah untuk AKMIL, AAU, AAL, AKPOL? Uang yang begitu banyak dihabiskan hanya untuk menciptakan prajurit karir yang hanya tahu soal jabatan dan tempat duduk dibalik meja tapi tanpa nasionalisme dan sikap patriotisme. Kita harus dapat bertindak dengan cepat dan tepat untuk mengetahui apa gerangan motif dari provokasi Malaysia kali ini.

Minggu, 16 Agustus 2009


REFLEKSI KEMERDEKAAN
Feri Suranta Ginting*
Tadi siang, ketika saya berangkat ke warnet untuk menyelesaikan tulisan ini, saya melihat seorang bocah laki-laki berlari-lari di tengah hujan lebat. Bocah itu tidak mengenakan selembar pakaian pun di tubuhnya yang ringkih. Di tangan kirinya dia memegang 1 sachet shampoo. Dia berlari-lari kian kemari dengan riangnya. Hampir di setiap pancuran talang air dia berhenti sejenak, membiarkan tubuhnya dibasahi oleh air hujan yang mungkin akan membuatnya demam nantinya. Dia begitu gembira bermandikan air hujan, dia merasa lepas dan bebas, aku dapat merasakan kegembiraan yang teramat sangat dari sorot matanya yang jenaka dan senyum lebar pada bibirnya. Begitu gembiranya si bocah yang telanjang bermandikan air hujan itu, hingga dia lupa akan hukuman apa yang akan dia dapatkan nanti bila kedua orang tuanya mengetahui perbuatan yang sedang ia lakukan sekarang ini. Mungkin si bocah akan mendapatkan 2 sampai 3 pukulan rotan pada betisnya. Ia tidak peduli, yang ada dikepalanya saat ini hanyalah kebahagiaan dan kebebasan yang jarang ia dapatkan.
16 Agustus 2009, besok, ya besok pagi kita akan merayakan hari kemerdekaan kita yang ke-64 kalinya. Sudah sejauh itu perjalanan Negara-Bangsa ini dalam udara kemerdekaan. Tadi Pagi salah seorang teman menuliskan bahwa PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 08 1945 TIDAK LEBIH DARI SEREMONI "PEMINDAHAN KEKUASAAN" BELAKA. Mungkin yang dimaksud oleh kawan itu adalah bahwa peristiwa proklamasi 1945 itu hanyalah pemindahan tangan kekuasaan dari kolonialis dan borjuasi asing kepada borjuasi nasional yang pada prinsipnya sama saja ganas dan rakusnya dengan penguasa kolonial. Sebagian kelompok lagi memaknai bahwa kemerdekaan yang kita raih ini adalah buah dari perjuangan dan bukan hadiah dari bangsa manapun. Saya tidak mau terjebak dalam polemik dan perdebatan semacam itu. Terserah, bagaimanapun kita memaknai Proklamasi kemerdekaan tersebut. Saya hanya ingin mengkaji makna "MERDEKA" itu sendiri.
Proklamasi kemerdekaan 1945 (Terlepas dari bagaimana cara kita memaknainya) adalah sebuah pijakan awal dalam perjalanan Bangsa ini. Pada paragraph awal tulisan ini saya bercerita tentang seorang bocah laki-laki yang bebas berlarian mandi air hujan, tak ada yang melarang, tidak ada yang mengekang. Begitu bebas dan bahagianya sibocah itu. Tidak usah terlalu akademis dan tinggi obrolan tentang makna Merdeka itu, kita maknai saja secara sederhana dan ringan. Menurut saya, dan mungkin menurut semua manusia yang berpikir merdeka itu pastilah berbicara tentang kebebasan, tanpa kekangan, tanpa campur tangan dan intervensi pihak asing. Sebuah Negara dapat dikatakan merdeka bila Negara tersebut sudah berhak menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangganya sendiri baik yang menyangkut tentang kebijaksanaan politik dalam negeri dan pergaulan internasionalnya.
Sejak berdirinya Bangsa-Negara ini sebagai sebuah Negara yang berdaulat, kita tidak pernah lepas dari intervensi dan campur tangan pihak asing. 3 tahun sejak peristiwa Proklamasi kemerdekaan, tepatnya Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militernya untuk merongrong kedaulatan Republik tercinta ini. Pasca Konfrensi Meja Bundar yang difasilitasi Amerika konflik antara Indonesia dan Belanda mereda dengan satu kerugian besar dipihak kita, karena salah satu butir konfrensi meja bundar adalah bahwa seluruh hutang luar negeri Negara Hindia Belanda ditanggung oleh Republik Indonesia serikat. Lalu, Amerika dengan cerdik memanfaatkan ketidak puasan beberapa petinggi militer di daerah yang kecewa terhadap para petinggi militer di Ibu Kota (baca : Pulau Jawa), Amerika memfassilitasi para petinggi militer di daerah-daerah untuk melancarkan pemberontakan. Karena menurut logika mereka lebih baik Indonesia tercerai-berai dan hancur tapi mereka mendapatkan sedikit wilayah yang berpihak kepada blok barat. Mereka agaknya trauma dengan kejadian di China sana, mereka tetap ingin mempertahankan keutuhan China. Mereka memang berhasil mempertahankan keutuhan wilayah China, tapi kemudian China malah berpihak ke blok timurnya Soviet. Seandainya mereka memfasilitasi perjuangan Sun Yat Sen mungkin China akan terbelah menjadi dua bagian, seperti yang terjadi atas Seoul dan Pyong yang. Belum Lagi kasus pemberontakan petinggi militer di daerah berhasil dipadamkam, Inggris pun tidak ketinggalan memprovokasi Republik tercinta ini dengan Memerdekakan Malaya (Malaysia) yang menurut Soekarno masih merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Presiden Soekarno marah dan mengeluarkan kebijakan ganyang Malaysia. Kembali, perpecahan di tubuh militer terjadi, Sebagian besar petinggi angkatan perang tidak setuju untuk mengganyang Malaysia, karena mereka insyaf bahwa militer kita pasti akan berhadapan dengan armada perang Inggris yang bukan main perkasanya di lautan. Soekarno kecewa dengan sifat pengecut para petinggi angkatan perangnya, maka mulailah Soekarno mendekati PKI partai yang memiliki massa paling besar pada masa itu, kebetulan PKI pada saat itu tengah terjepit posisinya. PKI mendukung kebijakan Ganyang Malaysia. Akibat kebijakan tersebut Republik Indonesia dikeluarkan dari PBB, tentu hal ini akan berdampak pada melemahnya posisi tawar dan loby-loby kita di tingkat internasional.
Pasca Krisis Moneter 1998, lembaga moneter internasional (Internatinal Monetery Fund, World Bank, Asian Development Bank) semakin dalam mengintervensi kebijakan-kebijakan penguasa lokal (presiden) bukan hanya mengintervensi kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan fiscal dan moneter, tapi juga menjalar kebidang-bidang yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan fiscal dan moneter. Wajar memang, mereka telah menyalurkan bantuan yang jumlahnya tidak sedikit, maka intervensi kebijakan tersebut dianggap sebagai balas jasa yang setimpal.
Dari Intervensi asing kita beralih kepada penguasa lokal. Di negeri yang sudah mencecap alam kemerdekaan 64 tahun lamanya ini rakyat demikian tidak berdayanya. Segala keputusan atau kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa sama sekali tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil. Undang-undang ketenagakerjaan yang seharusnya berpihak kepada para buruh justru berpihak kepada para penyelenggara kerja (artinya pemilik modal, pemilik pabrik, pemilik perusahaan), Undang-undang pendidikan yang seharusnya berpihak kepada para peserta didik (Baca: Siswa dan Mahasiswa) malah berpihak kepada lembaga / institusi penyelenggara pendidikan (Baca : Yayasan), Undang-undang pertanian yang semestinya berpihak kepada para petani dan buruh tani malah berpihak kepada pihak perkebunan yang membawa kita kembali kepada model-model penjajahan. Rakyat yang seharusnya dilibatkan di dalam proses pembuatan keputusan karena merekalah obyek yang paling merasakan dampak dari kebijakan tersebut justru ditempatkan di wilayah yang paling marginal.
Sudah 64 tahun kita merdeka (katanya) tapi mengapa selalu saja kita belum bisa lepas dan bebas dari campur tangan asing yang memegang rotan di tangan kanannya untuk melibas betis kita, yang tidak akan pernah membiarkan kita bebas menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangga kita sendiri sebebas bocah laki-laki yang begitu lepasnya mandi air hujan.
Agaknya, pendapat seorang teman yang menuliskan bahwa proklamasi kemerdekaan 1945 hanyalah sebuah prosesi pemindatangan kekuasaan dari penguasa kolonial kepada para penguasa pribumi yang sama saja ganas dan rakusnya dengan penguasa kolonial dan mereka tetap bekerja sama untuk menentukan arah perjalanan Bangsa yang (katanya) sudah merdeka ini ada benarnya.
Jadi, sudahkah kita merdeka? Sudahkah kita berdaulat dan berhak menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangga kita sendiri baik menyangkut kehidupan dalam negeri maupun pergaulan internasional? Dengan berat hati saya terpaksa mengatakan, kita pernah merdeka. Ya kita pernah merdeka. Dulu….dulu sekali….M…E….R….D…E….K….A.....(KAN INDONESIA SEUTUHNYA).

*Feri Suranta Ginting adalah seorang penulis jenaka yang
Memiliki selera humor yang kelewatan. Mengemas tulisannya
Dengan gaya yang ringan, lugas dan santai.

Jumat, 31 Juli 2009

Shillouette Wajah di Tembok Dekat Rak Buku

kau..
pernah...
ada disini...
di dalam ruangan....
3 X 3 Meter yang pengap..
bercat biru tua dengan penerangan seadanya...
silhoutte wajahmu membekas di tembok dekat rak buku..

sekarang...
kau ada di sini...
dalam kenangan yang menyebalkan...
begitu keras kepalanya bayangmu mendiami memori...
enggan enyah walau telah berjuta kali kuhalau membuatku galau...
hati yang demikian sempit tak cukup menyimpan jejak-jejak tawamu..
bau parfum murahanmu tetap nempel alat penciuman
bahkan desah nafasmu masih dapat kuhafal satu per satu
724 kali kau hela nafas 723 kali kau hembuskan kala kau duduk meneliti rak buku

kau...
pernah...
ada di sini....
tapi sekarang...
aku tak dapat....
melacak jejakmu...
kau jauh....jauh di sana...
terselip di lipatan hati laki-laki yang tak terdeteksi
tak terjejaki, tak terbaui
hanya dapat kupandangi shiloutte wajahmu di tembok dekat rak buku
telah terlukis dalam imaji
takkan hapus...
karena kulukis dengan darah perawanmu
meskipun pada akhirnya
kita saling menyakiti
tapi tak mengapa
toh kita telah berbagi
berbagi luka yang kita bungkus dengan canda remaja

Kini...
tubuh mulai merenta...
kita pernah berbagi luka
di ruang tiga kali tiga
kulukai dinding kegadisanmu
dan kau goreskan luka di hatiku dengan kuku-kuku tajam angkuhmu
dan kita saling menertawai
puas atas luka yang kita tinggalkan pada diri kita masing-masing
kita tak tahu cara mencintai
kita hanya tahu cara mengolok-olok luka
sungguh kita adalah pencela luka terhebat didunia

ah....
kau akan kukenang abadi
kulukis wajahmu di dinding tempat dulu shilloutte wajahmu jatuh
di sana kudirikan altar pemujaan
dan kubakar dupa aroma jasmine kesukaanmu
tiga kali sehari
seperti makan obat
kau kusembah sedemikian rupa
padahal takkan hapus luka yang kucipta di dinding kegadisanmu
meskipun aku menyembahmu serupa berhala
tapi terus kulakukan demi mengingatkan jiwaku bahwa aku pernah berbuat kesalahan

Selasa, 28 Juli 2009

untitled

ketika kita berbicara tentang salju dan anak-anak panda yang lahap menyantap pucuk-pucuk bambu muda, kulihat ada semacam gairah di matamu yang bundar dan lebar, kulit pipimu merona dan snyum yang kau kulum pun merekah. Betapa bersemangatnya kau bercerita, padahal kita tak pernah berkunjung ke negeri china sana, tapi entah mengapa kau begitu menyukai panda dan rumpun-rumpun bambu.

Aku bercerita tentang kemiskinan, rumah-rumah kardus dan kebodohan yang begitu akut di atas negeri yang demikian kaya ini. Hoaaaaaaaaaaaa....mmmmmmmmm.....mm kau mengulum bibir dan suaramu. Aku tak tahu apakah kau sedang berusaha menunjukkan kesopananmu dengan sedapat mungkin berusaha untuk tidak menguap atau karena kau belum sikat gigi sehingga kau malu untuk menguap karena takut nafasmu yang bau tercium olehku. Aku tidak tahu, tapi satu hal yang kutahu pasti. Kau bosan mendengar ceritaku yang itu-itu juga, sama seperti aku yang sudah bosan mendengar cerita tentang panda-panda bodohmu yang itu-itu juga.

"Tidak bisakah kita berhenti berbicara tentang kemiskinan yang selalu saja kau ulang-ulang itu?" tanyamu pada suatu waktu

""Baiklah. Kita akan berhenti berbicara tentang kemiskinan itu, tapi kita juga harus berhenti berbicara tentang panda-panda bodohmu."

Kau berbalik memunggungiku dan berjalan ke arah yang tak pernah kuharapkan. Aku kesal, lalu aku berjalan kearah yang bertolak belakang dengan arah yang kau tempuh. Sungguh indah, dua gerak berlawanan terjadi sekaligus dalam waktu yang bersamaan. sama seperti gerak matahari senja dan tiang-tiang listrik yang berbaris beraturan. Semakin jauh matahari senja bergerak ke ufuk barat, semakin panjang pula bayangan tiang listrik memanjang ke arah timur, kemudian keduanya mengabur, meruap dan hilang. Kita pun akan saling melupakan dan menindas memori yang mungkin tersimpan. Kau akan kawin dan beranak pinak dengan orang yang dengan sabar mendengar cerita tentang panda-panda tololmu, dan aku akan memenuhi bumi dengan keturunanku, karena aku pun akan kawin dengan seorang perempuan yang mau mendengar cerita tentang kemiskinan dan rumah-rumah kardusku.Mungkinkah suatu waktu nanti aku akan mencintai panda, atau sebaliknya, mungkinkah pada suatu waktu nanti kau akan mempunyai kepedulian terhadap masalah kemiskinan? Ah......itu pertanyaan kanak-kanak, terlalu dangkal dan terlalu umum. tidak ada hubungan yang mempersatukan keduanya, kalaupun ada, itu hanyalah keterkaitan yang dibuat-buat saja.

Panda-panda bodohmu adanya di kebun-kebun binatang dan taman-taman nasional yang dilindungi oleh pemerintah. orang-orang miskin, gelandangan dan anak-anak yang tidak sekolah milikku adanya di emperan toko, dikolong jembatan dan di desa-desa tertinggal sama sekali tidak mendapat perlindungan dari pemerintah dan sistem perundang-undangan. Panda-panda gendutmu ditanami pohon-pohon bambunya, sementara orang-orang miskinku dirampas hak-haknya sebagai warga negara, digusur tempat usahanya, dicabuti tanaman singkongnya dan dirampasi tanahnya. Kau berbicara tentang kemewahan dan aku selalu berbicara tentang perlawanan.

Yogyakarta 2003, lepas senja gerimis menyiram tanah sampai basah. Kurasa kita tak perlu berusaha untuk saling memahami dan mempersatukan dua hal yang tak dapat dipersatukan.Marilah saling menjauhi dan melupakan. Dekaplah panda-panda bodohmu dalam khayal dan aku akan memperjuangkan kemiskinanku dalam kenyataan. Tapi jujur, rasa itu memang pernah ada, hanya saja aku menganggapnya tak pernah ada.

Selasa, 21 Juli 2009

lantai dansa demokrasi

sinar purnama jatuh berserakan di rumpun bambu
seekor anak burung jatuh terkena anak panah
hembus angin kemarau kering dan berat
seberat harap yang sekarat
sekering asap rokok berbau laknat
kegelisahan bukan lagi milik mereka
sejak bangkai perjuangan massa tak lagi dihidupi
kini mereka bebas menari
dilantai dansa demokrasi
demokrasi karya imajinasi mereka sendiri

Kamis, 28 Mei 2009

gado-gado menggoda

UU ketenagakerjaan yang mestinya berpihak kepada pekerja (baca: Buruh) justru memihak kepada para pengusaha, UU Pendidikan yang semestinya berpihak kepada para peserta didik (baca: Siswa dan Mahasiswa) malah berpihak kepada lembaga penyelenggara pendidikan (yayasan), UU pertanian yang seharusnya berpihak kepada para petani dan buruh tani, terutama dalam pengadaan akses menuju areal pertanian (jalan) dan penyaluran pupuk serta irigasi justru malah berpihak kepada kaum pemilik modal yang menjadikan petani begitu sulit menjangkau pasar dari daerah pertaniannya, membuat petani begitu sulit mendapatkan pupuk dan begitu susah mengairi sawahnya, yang terakhir ini adalah sektor yang paling vital bagi pertanian.

ada sebuah kesalahan fatal yang sudah teramat akut di sini, di mana rakyat kecil dijadikan menjadi korban dari produk perundang-undangan, menjadi sangat ironis kemudian kalau kita kembali mengkaji makna sebuah negara. Negara dibentuk berdasarkan kontrak ataupun kesepakatan demi kemakmuran dan keterjaminan hidup bersama. Artinya, sudah semestinya semua produk perundang-undangan berpihak kepada massa rakyatnya, bukannya justru menempatkan rakyatnya di wilayah yang paling margin dan paling menderita akibat segala macam perundang-undangan tersebut.

di masa kampanye pemilihan presiden nanti, saya yakin bahwa kemiskinan dan penderitaan rakyat akan menjadi jualan para kandidat presiden-wakil presiden yang paling seksi dan paling banyak tersentuh dalam pembicaraan. sangat ironis memang, di satu sisi massa rakyat dimiskinkan secara sistematis oleh sebuah lembaga yang bernama negara melalui oknum-oknum penguasa dan kemudian kemiskinan itu akan terus didengung-dengungkan di masa kampanye demi untuk menarik simpati rakyat yang sayangnya tak pernah sadar kalau kemiskinan yang mereka derita sebenarnya adalah tanggung jawab para kandidat tersebut, rakyat tetap saja berhasil diperdaya dengan mulut manis para penguasa. Dalam praktik bernegara dan berdemokrasi tak pernah ada peraturan perundang-undangan yang benar-benar berpihak kepada rakyat, seperti yang telah dipaparkan dalam alinea pertama tulisan ini. UU dibuat hanya untuk melindungi aset dan kepentingan pemilik modal.

Jumat, 24 April 2009

Catatan Seputar Pilpres

Penguasa dinegara manapun dan dengan sistem pemerintahan apapun di dunia ini mempunyai kecenderungan ubtuk mempertahankan status quo demi mengamankan dan melangggengkan kekuasaannya. Dalam Konteks Indonesia praktik tersebut sudah mulai berjalan sejak jaman kerajaan-kerajaan Nusantara, ORde Lama, ORde BAru, sampai sekarang jaman orde yang paling baru.

Presiden Soekarno, Bapak bangsa mengintervensi parlemen sehingga muncullah wacana tentang Presiden seumur hidup, sehingga seolah-olah wacana tentang Presiden seumur hidup itu murni muncul dari Parlemen. Di tingkat massa rakyat wacana itu kemudian menjadi sebuah hal yang bisa diterima, lagipula Soekarno masih disepakati oleh mayoritas rakyat untuk tetap memegang kendali Negara yang sedang be-revolusi.

Sampailah kita pada era pemerintahan Soeharto. Inilah fase tergelap dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Depolitisasi dan demobilisasi massa dipraktikkan secara besar-besaran dan gila-gilaan. Semua kekuatan kritis massa diberantas sampai ke akar-akarnya, oraganisasi, lembaga maupun individu yang berseberangan jalan dengan penguasa dinamai sebagai OTB, KOMUNIS dan “cap” yang terkesan seram, maklumlah ketakutan terhadap faham komunisme (komunisto phobia) telah begitu dalam merasuk ke dalam jiwa rakyat Indonesia. Menggunakan sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan ideologi developmentalismenya Soeharto berhasil memenangkan pemilihan presiden selama 6 periode berturut-turut. Sungguh rakyat tidak pernah tahu bagaimana regulasi dan mekanisme pemilihan presiden selama 6 periode tersebut karena pemilihan presiden dilaksanakan di tingkat parlemen dan bersifat elitis. Bukankah MPR adalah lembaga tertinggi Negara dan merupakan manifestasi perwakilan rakyat, jadi kalaupun pemilihan presiden tersebut dilaksanakan oleh anggota DPR-MPR bukankah itu merupakan cerminan dari kehendak rakyat? Selama 32 tahun kita hidup dalam logika yang demikian itu. Selama 32 tahun praktik berdemokrasi ala Soeharto begitu lekat dengan rakyat Indonesia hingga akhirnya rakyat lupa akan hak-haknya di wilayah politik, hukum, Budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan seperti yang termaktub di dalam UUD 1945.

Pemilihan Umum (singakatan ORde BAru: PEMILU) 1999 pun tiba, langkah Megawati Soekarno Putri menuju Singgasana Kepresidenan terjegal oleh kelompok yang menamai dirinya poros tengah yang dikomandoi oleh Amien Rais (Katanya sih Bapak Reformasi), Megawati yang mendapatkan simpati massa akibat tekanan dari penguasa dan massa pro Soerjadi pada tahun 1996 Dengan PDI Perjuangannya b erhasil mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilihan umum 1999, tapi langkahnya menuju singgasana kepresidenan harus tertunda karena yang berhasil mendudukinya adalah Abdurrahman Wahid, Sementara Megawati hanya berhasil menjadi wapres. Tapi akhirnya Gus Dur pun harus tergusur dari kursi empuknya. Megawati pun secara otomatis naik menjadi Presiden setelah menunggu selama 3 tahun. Karena trauma dengan kenyataan pahit pada pemilu 1999, Megawati pun mulai membuat movement-movement politik. Agaknya Megawati ingin mendapatkan simpati pemuda revolusioner, hal ini dapat dilihat melalui pembebasan Tapol semacam Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, Dita Indah Sari dan pembersihan nama mantan anggota PKI serta pembelian pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Lalu, movement politiknya Megawati memunculkan wacana pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Megawati cukup percaya diri dengan popularitasnya di tingkat massa akar rumput, tapi apa yang terjadi? Megawati kembali gagal, kali ini yang menggagalkan ambisinya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Agaknya lagu Iwan Fals yang liriknya berbunyi “Tak peduli perwira, Bintara atau Tamtama, serdadu, tetap sedadu,” tidak hanya berlaku bagi tentara tapi bagi penguasa juga. Semua penguasa tetap sama. Jauh-jauh hari sebelum pemilu 2009 lembaga penyelenggara Pemilu menetapkan Electoral Threshold dan parliamentanyary Threshold (jujur, sebenernya aku gak mudeng artinya ini apa) dan persyaratan 25 % persen perolehan suara bagi partai yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres. Syarat-syarat ini mungkin terlalu berat untuk dipenuhi oleh partai politik karena harus bertarung dengan 43 partai lainnya. Bila melihat kondisi sekarang ini, Selain Partai Demokrat (PD) belum ada parpol yang berhasil mengumpulkan suara sebanyak 25 persen itu. Artinya apa? Artinya adalah, mungkin hanya akan ada satu pasangan tunggal yang berhak maju dalam pemilihan pilpres mendatang. Inilah wacana yang kemudian muncul setelah melihat hasil perolehan sementara yang dikeluarkan oleh KPU. Wacana ini tak pernah terpikirkan (sebenarnya sih terpikirkan oleh mereka) untuk diantisipasi sebelumnya karena baik di dalam UUD 1945 maupun UU Pilpres hanya mengatur tentang pemilihan Presiden yang diikuti oleh minimal dua (2) pasangan capres-cawapres.
Tentu saja wacana tentang calon tunggal ini akan mengundang polemic yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mencapai kata sepakat dari partai-partai peserta pemilu. Bila situasi tersebut terjadi, maka akan ada kekosongan kekuasaan. Tentu saja situasi ini tidak boleh terjadi. Tidak boleh ada kekosongan kekuasaan satu detikpun. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka bila wacana pasangan tunggal tersebut tidak bisa diterima oleh Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU) maka telah terpenuhi sebuah prasyarat konstitusional tentang kegentingan yang memaksa yang diisyaratkan UUD 1945 untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Entah disengaja atau tidak, tapi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dan harus dipenuhi oleh sebuah partai politik agar dapat mengajukan calon di pilpres mendatang, nyata-nyata menguntungkan penguasa. Karena, celah ini bisa dimanfaatkan untuk melegalisasi wacana pasangan (calon) tunggal dalam pilpres 2009 melalui perppu tersebut. Tapi, mari kita berharap, semoga saja kewenangan penguasa (baca presiden) untuk mengeluarkan perppu dipakai bukan untuk melegalisasi pasangan tunggal tersebut, tetapi dipakai untuk merevisi UU Pilpres itu sendiri, misalnya, semua parpol yang lolos dan memenuhi Parliamentary Threshold diperbolehkan untuk mengajukan pasangan capres-cawapres.

Kamis, 23 April 2009

diatas ranjang jaman, yang kuberi nama waktu, kurebahkan sejuta puisi yang kuhidupi dengan hembusan nafas seribu dewa yang kutawan di penjara kata. puisiku tersayat, terajang, tercabik-cabik berserakan oleh keangkuhan tatapmu yang kau namai cinta. seekor binatang melata menjulurkan lidah yang bercabang dua menari atas kepalamu, aku namai itu kelicikan tapi kau menamainya kasih sayang, ah..... kasih sayang yang menipu kataku.
Mengapa sepedih ini? lebih pedih dari sayatan silet di kulit wajah para jenderal di lubang buaya yang sampai sekarang tak jelas siapa pelakunya. puisiku terjerang hingga melampaui titik didih, kau rebus baur dengan segala kecurangan angin kemarau yang berat dan kering, membawa-bawa debu mengotori mata hatiku hingga yang bisa kulihat hanyalah kekotoran yang itu-itu juga.
Di utara musim semi mulai menumbuhkan pucuk-pucuk muda daun pohon willow, kembang-kembang yang menggigil semasa butir-butir salju berguguran menutupi ranting-ranting kecil yang gemetaran kini mulai bersemi, merekah menebar jutaan aroma yang tak terdeskripsikan, hanya indera penciuman yang mampu menjabarkan segala macam bau-bauan yang lewat melalui sistem sensornya. tapi puisiku tetap terebus bersama debu dan kotoran yang sengaja kau tebarkan di atas masakan yang rasanya pasti sudah tidak enak lagi.
Lelahnya, aku harus berpura-pura hitam ketika kau hitam dan berlagak suci ketika kau berubah putih, perubahan yang sama sekali tak pernah kuharapkan dan kuinginkan, tapi atas nama cinta kau bebas membuat semuanya ternoda dan mengendarai hati, jiwa dan pikiranku ke tempat parkir yang kau kehendaki.
Di sinilah aku sekarang, di atas ketinggian kata-kata jiwa yang selama ini terbungkam paksa. lalu sejuta puisiku jaga dari tidurnya yang sebenarnya tidak nyenyak dan dia berkata kepadaku Padove ti puerta il cuero, pergilah ke mana hati membawamu.

Senin, 13 April 2009

Senja Jingga di Atas Langit Jakarta


Senja jingga memerah saga
Menyemburat, bentuk rupa-rupa
Tak cukup sejuta sajak dituliskan
Mengenang mereka yang terlumpuhkan paksa

Senja jingga di atas langit Jakarta
Satu cita-cita, satu Indonesia
Satu jiwa, satu Bangsa
Senja jingga mengelam dalam kepulan asap bakaran ban bekas
Senja jingga mengelam dalam serbuan gas air mata
Yang terhadang meradang
Yang tertembak tak sempat mengerang
Tangan kiri terkepal di dada
Seakan berkata, “Aku cinta Indonesia”

Senja jingga memerah saga
Kita punya cita-cita
Satu Indonesia, tetap merdeka
Tak ada tirani, tak ada tangan besi
Satu jiwa, satu Bangsa
Tak ada senjata terarah pada anak negeri

Senja jingga di atas langit Jakarta
Hiruk-pikuk peristiwa tercecer di kolom surat kabar
Semacam cerita pelengkap secangkir kopi di minggu pagi
Wahai…
Betapa laju menit berlari menyelinap ke dalam pedalaman lupa
Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan
Seakan tak pernah ada dalam penanggalan
Hilang meruap serupa angin
Seperti pemuda yang belum dipulangkan
Betapa laju menit berlari menyelinap kedalam pedalaman lupa
Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan
Tak ada lagi dalam penanggalan
Tak ada lagi dalam kenangan
Hanya senja jingga di atas langit Jakarta yang semakin kelam
Mengepul dalam asap bakaran ban bekas
Membias dalam serbuan gas air mata
Sisanya hanyalah luka sejarah yang tetap nganga
Bagi mereka yang tahu arti titik darah dan air mata

Senja jingga di atas langit Jakarta
Menyemburat, membentuk rupa-rupa
Betapa laju menit berlari menyelinap kedalam pedalaman lupa

Kamis, 19 Maret 2009

Di bagian pertama dari tulisan ini telah dipaparkan secara garis besar tentang Pemilu yang ternyata belum dapat menjadi sebuah pijakan awal bagi terbangunnya sebuah kondisi kultural munculnya seorang pemimpin yang benar-benar disetujui oleh mayoritas rakyat. di bagian ini akan kita kupas lebih dalam tentang mengapa pemilu selama ini gagal menghasilkan pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Dijaman ORde BAru, wacana soal calon presiden selalu sepi dari pemberitaan karena hampir selalu hanya ada calon tunggal. Memang, sempat beberapa kali ada pahlawan kesiangan yang sok aksi, demi gagah-gagahan atau demi legalitas kekuasaan Soeharto ada yang mencalonkan diri menjadi presiden. Boleh jadi para calon yang mencalonkan diri sebagai presiden tersebut memang berniat serius untuk bertarung dengan Soeharto, tapi di tingkat massa rakyat pencalonan itu hanyalah rekayasa penguasa belaka, karena selalu saja Soeharto yang memenangkan pertarungan tersebut. Pencalonan beberapa orang seperti yang telah ditulis di atas hanyalah sebagai topeng bagi penguasa agar pemilihan presiden yang dilakukan di tingkat DPR-MPR terkesan murni dan dilaksanakan berdasarkan asas Demokrasi. Pada masa ORde BAru, pemilihan Presiden dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan yang terhormat, kita tahu, mayoritas anggota legislatif adalah orang Golkar, hanya segelintir yang berasal dari PDI dan PPP itupun belum dihitung anggota dewan dari PDI dan PPP yang membelot atau seide dengan anggota dewan mayoritas. Rakyat tidak pernah tahu bagaimana mekanisme pemilihan Presiden tersebut dijalankan oleh dewan legislatif. Apakah mekanisme pemilihannya secara aklamasi, voting, musyawarah atau mekanisme yang lain. bila mekanisme pemilihan yang dijalankan adalah mekanisme voting, apakah kemudian prinsip mekanisme voting tersebut one parti one vote atau one man one vote? bila yang dipilih adalah prinsip one man one vote maka menjadi wajar kalau kemudian Soeharto selalu berhasil memenangkan pemilihan presiden di tingkat DPR-MPR. Rakyat tidak pernah tahu mekanisme apa yang diambil dalam menentukan keputusan yang sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya adalah, sekian lama kehendak rakyat diingkari oleh para wakil yang mereka pilih sendiri dan mereka percayai sebagai corong untuk menyuarakan kehendak mereka.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, rakyat tidak hanya memilih para wakil yang akan duduk di gedung dewan, tapi untuk pertama kali mereka juga harus memilih Presiden dan Wakil Presiden mereka sendiri. Banyak yang berharap bahwa roda demokrasi sedang menggelinding ke arah yang lebih baik. memang benar dan harus kita akui bahwa praktik demokrasi setingkat lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. tapi kita juga harus mengakui bahwa praktik demokrasi yang sedang kita jalankan ini belumlah sempurna. Hampir setiap kali pemilu para petinggi partai sibuk kesana-kemari, konsolidasi kiri-kanan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain baik yang segaris, seide, sealiran (satu ideologi) maupun yang berlainan sama sekali ideologinya. Kalau memang harus berkoalisi untuk menggalang kekuatan yang lebih besar, kenapa tidak digabungkan saja partainya? Mengapa harus ada demikian banyak partai? itu kan pemborosan namanya, pemborosan anggaran pemilu karena begitu banyak partai sehingga ukuran kertas suara pun menjadi boros, gambar-gambar partia politik, itu kan banyak makan tinta cetak, belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk menyelenggarakan pemilu (dengar-dengar anggaran untuk pemilu 2009 memakan dana 7,2 T) 7,2 T itu tujuh ribu dua ratus milyard rupiah. Kalau mau tahu angka jutanya kalikan saja angka tujuh ribu dua ratus itu dengan angka seribu (wah, uang sebanyak itu kalau buat beli kerupuk dapat berapa kapal ya). Bayangkan bila semua partai yang berkoalisi tersebut digabung menjadi satu partai saja, mungkin dalam pemilu depan kita hanya akan memiliki tujuh sampai sepuluh partai politik saja.
Praktik koalisi antara beberapa partai belumlah begitu parah, meskipun jelas-jelas negara harus mengeluarkan uang lebih banyak akibat begitu banyaknya partai politik padahal toh harus berkoalisi juga, yang paling gawat adalah praktik loby yang dijalankan oleh para elit di tingkat atas. mereka seakan-akan berhak untuk memindahtangankan suara yang diberikan oleh massa pemilih, padahal prinsipnya kan seharusnya suara yang diberikan oleh pemilih itu bersifat tetap, tak tergantikan, tak terwakilkan dan tidak bisa dipindah tangankan. tidak perlu koalisi-koalisian, tidak perlu loby-loby an. Berapapun Jumlah suara yang didapat oleh seorang calon presiden, bila itu suara terbanyak dialah yang akan duduk sebagai presiden. Dengan begitu legalitas, keabsahan dan kemurnian hasil pemilu benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya sekedar data-data statistik belaka. Rakyat harus tahu mekanisme yang jelas tentang pemilihan presiden, quota suara, Koalisi beberapa partai dan pengalihan suara, loby-loby di tingkat elit hanya membingungkan rakyat belaka. Biarlah semua berjalan apa adanya, tanpa rekayasa, maka apa yang kita harapkan melalui pemilu akan segera tercapai dan bila ada kegagalan nantinya, maka kegagalan tersebut adalah kegagalan kita bersama dan harus kita pertanggungjawabkan secara bersama-sama pula. Dengan begitu pencederaan atas kepercayaan rakyat pada lembaga pemilu yang dilakukan oleh para elit politik tidak akan pernah terjadi lagi.

Senin, 16 Maret 2009

Catatan Seputar Pemilu

Kelahiran seorang pemimpin secara kultural sangat dipengaruhi oleh situasi jaman. Sejarah revolusi Perancis yang meletus pada pertengahan abad-18 merupakan peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan. Kekuasaan raja yang tidak terbatas , tanpa sistem kontrol serta berpusat pada satu tangan telah mengakibatkan penderitaan yang gila-gilaan di tingkat massa rakyat. Kemiskinan dan kemelaratan yang menjamur diseluruh negeri tersebut akhirnya menimbulkan perlawanan yang semakin lama semakin resistant di tingkat massa rakyat. Perlawanan rakyat tersebut akhirnya mampu menyeret sang penguasa ke tiang penggantungan. Peristiwa yang sangat terkenal itu merupakan cikal bakal permunculan sistem demokrasi yang dipelopori oleh Robespiere. Revolusi tersebut mampu menumbangkan sistem pemerintahan yang bersifat Absolute Monarchy dan menggantinya dengan konsep baru sehingga berdirilah Negara Perancis yang berbentuk Republik.
Revolusi Perancis mampu memunculkan sebuah sistem pemerintahan baru yang dibelakangan hari kita sebut sebagai demokrasi. Coba kita komparasikan dengan peristiwa 1998. Mengapa Reformasi 1998 tidak menghasilkan apa-apa? Ada sebuah kesalahan fatal yang terjadi di sini. Reformasi 1998 sama sekali tidak menghasilkan apa-apa karena peristiwa reformasi 1998 gagal melahirkan pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia karena suksesi yang tidak sempurna. Benar bahwa Reformasi 1998 mampu menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan, akan tetapi tahta itu kemudian diwarisi oleh B.J Habibie murid sekaligus pengikut Soeharto yang paling loyal, dan kesalahan terbesar justru terletak pada diri pelaku Reformasi itu sendiri. Pelaku reformasi 1998 tidak memiliki konsep atau gagasan yang jelas, yang dapat memberikan solusi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Platform reformasi yang diusung tidak jelas, tidak ada sistem yang ditawarkan, larut dalam euphoria atas lengsernya presiden Soeharto. Menjadi wajar kalau kemudian peristiwa reformasi 1998 tidak mampu menghasilkan seorang pemimpin yang memiliki otoritas yang menjadi panutan bangsa ini. Peristiwa Reformasi 1998 hanya menghasilkan pemimpin gadungan, advonturir dan oportunis yang pintar memanfaatkan celah untuk mencari popularitas.
Pemilihan Umum (singakatan ORde BAru: PEMILU) 2004 adalah sebuah pijakan awal bagi kebangkitan negeri ini. Untuk pertama kalinya massa rakyat diberikan kesempatan untuk memilih presidennya sendiri. Susilo Bambang Yudhoyono (karena budaya singkat menyingkat ORde BAru belum bisa dihilangkan maka kemudian disingkat menjadi SBY) Akhirnya marak menjadi Presiden Republik tercinta ini. Apakah kemudian Presiden SBY berhasil menjadi seorang pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara langsung. Tapi, marilah kita sejenak berputar-putar untuk menemukan jawabannya. Dulu, di jaman ORde BAru, Golkar (yang saat itu tidak mau disebut sebagai partai) selalu berhasil memenangkan PEMILU (Singkatan ciptaan ORde BAru) dan menduduki sebagian besar kursi DPR-MPR selalu berhasil mendudukkan Soeharto menjadi Presiden, sehingga menjadi sebuah rahasia umum bahwa partai politik yang memenangkan pemilu secara otomatis akan mendudukkan calonnya di singgasana kepresidenan. Tiga puluh dua tahun kondisi ini berjalan dengan mulus sehingga pada Pemilu 1999 massa rakyat di tingkat bawah begitu shock dengan apa yang terjadi. PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri keluar sebagai pengumpul suara terbanyak tetapi tidak berhasil secara otomatis mendudukkan Megawati sebagai Presiden. Loby-loby politik di tingkatan elit, koalisi dari beberapa partai akhirnya mengangkat Abdurahman Wahid (Gus Dur) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi Presiden Ke-3 Republik ini. Betapa Shock massa Megawati menerima kenyataan baru ini karena menurut kacamata mereka bahwa partai pemenang pemilu secara otomatis akan duduk menjadi presiden seperti yang terjadi selama 32 tahun ini. Kenyataan tersebut sedikit mengikis kepercayaan massa rakyat terhadap lembaga pemilu.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, untuk pertama kalinya rakyat memilih sendiri presidennya. Kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu kembali pulih. Terbertik sebuhah harapan, semoga kali ini pemilu mampu melahirkan seorang pemimpin yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Massa rakyat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara dengan sebuah harapan besar menggantung di dadanya. Kembali loby-loby di tingkatan elit bermain dan koalisi antara beberapa partai mengotori lajunya roda demokrasi, mencederai kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu. Ketidak percayaan rakyat terhadap lembaga pemilu menjadi lebih parah dari sebelumnya. Massa rakyat menjadi apatis, karena logika massa di tingkat akar rumput, apa yang mereka pilih adalah yang terbaik buat mereka, dan suara yang mereka berikan bersifat tidak tergantikan dan tidak terwakilkan. Belakangan hari, setelah pemungutan suara selesai barulah mereka sadar, bahwa suara yang mereka berikan bisa dipindah tangankan dan diputarbalikkan seenaknya oleh pemain politik di tingkat elit melalui loby-loby dan koalisi beberapa partai.
Kepercayaan massa di tingkat akar rumput semakin tercederai oleh sistem dan mekanisme pemungutan suara itu sendiri karena sistem dan mekanisme pemungutan suara diatur oleh penguasa yang sedang berkuasa, sehingga segala regulasi maupun peraturan yang dikeluarkan sedikit banyaknya menguntungkan mereka karena mereka dapat menyingkirkan lawan-lawan politik yang berpotensi menganggu gugat kelanggengan kekuasaan mereka. Dalam bahasa sederhananya, mereka berhak membuat peraturan ataupun kriteria-kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah partai politik agar mereka layak mengikuti pemilu. Itulah sebabnya setiap kali pemilu akan muncul aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan baru. Tidak bisakah kalau misalnya dirancang sebuah perundang-undangan yang fix (tetap) tak berubah-ubah dan tidak bisa dibelokkan dengan semena-mena oleh penguasa?
Pencederaan atas kepercayaan rakyat yang dilakukan oleh para elit politik melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai (yang jelas-jelas ideologinya berbeda), peraturan dan sistem pemilu yang dirancang oleh penguasa yang sedang berkuasa yang sedikit banyak menguntungkan mereka dan di sisi lain berperan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik mereka yang berpotensi untuk mengganggu kelangsungan kekuasaan mereka. Semua kenyataan tersebut membuat massa rakyat menjadi semakin apatis dengan lembaga pemilu, berkembang sebuah pemikiran di tingkat massa akar rumput bahwa, suara yang mereka berikan tidak mempunyai arti apa-apa dan perubahan yang mereka harapkan melalui pemilu hanyalah dongengan belaka. Sistem dan mekanisme pemungutan suara hanyalah formalitas belaka (kalau tidak bisa dikatakan justifikasi kekuasaan belaka), Public Election (pemilihan umum) hanyalah sebuah pesta yang berbiaya milyaran rupiah. Sementara para pelakunya tidak pernah memikirkan apapun untuk rakyat (kalau berpikir saja sudah tidak, mana mungkin melakukan sesuatu untuk rakyat). Sebagian lagi mulai bermain kritis-kritisan, kalau memang para pelaku pemilu tersebut benar-benar berpihak kepada rakyat, ke mana saja mereka selama ini? Di mana mereka ketika rakyat berkeluh kesah tentang biaya hidup yang mahal, tentang rumah sakit yang menolak pasien miskin untuk berobat, ketika mereka berkeluh kesah tentang mahalnya biaya pendidikan di sebuah Negeri yang bernama Indonesia ini. Sekarang tiba-tiba saja mereka muncul dengan janji membela kepentingan rakyat, memperjuangkan nasib rakyat, berpihak terhadap rakyat. Kemana saja mereka selama ini? Ada sebagian yang lebih kritis lagi. Golongan ini mulai bertanya, kalau memang para pelaku pemilu tersebut memang berpihak kepada rakyat, kami mau bertanya rakyat yang mana yang mereka bela? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menggusur pedagang kaki lima demi keindahan kota, padahal pedagang kaki lima tersebut menjadi pedagang kaki lima karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan kepada mereka. Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya membakar kios-kios pedagang di pasar-pasar tradisional karena pusat-pusat perbelanjaan modern (Plaza, mall, supermarket) membayar pajak untuk setiap potong produk yang mereka jual sedangkan pedagang tradisional hanya membayar restribusi? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menebangi hutan Negara tidak saja untuk dijual kayunya, tetapi kemudian menjual tanahnya kepada pihak swasta/asing untuk kemudian dijadikan lapangan golf dan hotel berbintang?
Praktik-praktik pencederaan terhadap demokrasi dan kepercayaan rakyat yang dijalankan oleh para pemain politik di tingkat elit selama ini telah membuat massa di tingkat akar rumput menjadi apatis dan alergi dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan politik, sehingga sebagian besar dari mereka datang ke bilik pemungutan suara hanya karena mereka diupah, artinya mereka mau memberikan suaranya hanya karena mereka telah menerima imbalan berupa uang, pakaian, dan makanan oleh salah satu partai politik tertentu dan atau calon anggota legislatif. Mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang mempertaruhkan masa depan mereka, tidak hanya untuk lima tahun ke depan, mereka sangat sadar dengan kondisi tersebut. Tetapi mereka sudah terlanjur apatis,. Toh lembaga pemilihan umum tidak pernah berhasil menghasilkan seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Transparansi dan keabsahan (legalitas) hasil pemilu hanyalah sebuah data-data statistik belaka, bukan hasil yang sebenarnya, karena hasil yang sebenarnya telah tercederai oleh praktik loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai yang menurut lembaga pemilu dan para pelakunya adalah sebuah kewajaran.
Apakah loby-loby politik di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai politik tersebut adalah sebuah hal yang wajar? Mari kita kupas hal ini lebih dalam lagi, saya tidak berhak mengatakan ‘tidak’ atau ‘ya’. Biarlah kita yang menjawabnya bersama-sama. Negara Ini bernama Republik Indonesia (RI). Artinya, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, lembaga tertinggi Negara dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanyalah sebagai mandataris (pemegang mandat) belaka. Segala kebijakan politik eksekutif (eksekusi, pembuat keputusan, presiden) sebelum diundangkan terlebih dahulu harus disampaikan oleh legislatif kepada rakyat yang mereka wakili, baru setelah mendapat persetujuan dari sebagian besar rakyat kebijakan (policy) tersebut di legalisir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk kemudian diundangkan oleh eksekutif. Apakah selama ini massa rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan? Tidak. Alasannya karena suara rakyat sudah terwakili oleh suara dewan legislatif sebagai perpanjangan lidah rakyat. Hingga kemudian logika tersebut dibawa ke tingkat pemilihan umum, loby-loby politik dan koalisi antara beberapa partai yang kemudian mereka anggap sebagai sebuah kewajaran itu terus-menerus dipraktikkan sampai pada tingkat yang paling parah. Suara rakyat yang seharusnya tidak bisa dipindahtangankan, tidak tergantikan, dan tidak dapat diwakilkan tersebut diperkosa sedemikian rupa demi menggoalkan seorang calon presiden menjadi presiden. Tidak pernah elit-elit politik bertanya terlebih dahulu kepada massa pemilihnya apakah mereka setuju bila suara yang mereka berikan dialihkan pada seorang calon presiden atau tidak. Massa pemilih dikondisikan hanya sebuah obyek yang tidak mengetahui apa-apa, massa pemilih hanya dianggap sebagai sapi perahan penghasil suara yang dapat mereka beli setiap lima tahun sekali.
Dalam hal ini, menurut apa yang telah dipaparkan di atas, sesungguhnya partai politik dan anggota legislatif yang duduk di gedung dewan sama sekali tidak berhak memindahtangankan suara yang telah diberikan oleh massa rakyat dengan alasan apapun juga. Bila kita sudah sampai pada tahap ini, maka kelahiran seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia melalui lembaga pemilu niscaya akan menjadi kenyataan. Bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran bahwa suara yang diberikan oleh massa rakyat melalui Pemilu tidak dapat dipindahtangankan, tidak terwakilkan dan tidak tergantikan melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai, bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran yang memposisikan massa pemilih sebagai subyek penggerak dan penentu arah demokrasi, bukan sekedar sapi perahan penghasil suara lima tahunan , niscaya akan lahir seorang pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia yang bekerja untuk dan di dalam pengawasan rakyat sehingga fungsi kontrol legislatif benar-benar berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Tulisan ini dibuat tidak untuk mengajak massa rakyat untuk memboikot pemilu, bukan pula untuk mengajak bergolput ria. Tulisan ini dibuat untuk mengajak kita sama-sama berpikir demi kemajuan negeri kita tercinta ini. Menarik untuk dicermati, ke arah mana roda demokrasi menggelinding di pemilihan umum 2009 ini, apakah ke arah perbaikan atau kemunduran. Tapi apapun nanti hasilnya, ke manapun roda demokrasi menggelinding tak perlu pesimis. Toh semua kesalahan itu nantinya bila dievaluasi akan membawa kita selangkah lebih dekat ke arah perubahan. Semoga pemilu 2009 ini bisa menjadi pijakan awal terciptanya kultur berpolitik yang baru, yang lebih sehat, terarah, tepat sasaran dan murni, yang benar-benar mencerminkan kehendak massa rakyat di tingkat akar rumput, bukan mencerminkan kehendak para elit politik di tingkat atas.

Selasa, 10 Maret 2009

sebentuk rembulan
melingkar atas kepalamu
memburam dalam tikaman bedak
yang sekian tahun menambal kepura-puraan
bercak darah, lendir berceceran
membunuh rerumputan yang rebah tertindih
tubuh-tubuh durhaka, binatang purba
mengangkang dan tertawa

sebentuk rembulan
melingkar atas kepalamu
memburam dalam tikaman bedak
yang sejak kekal menambal kerut-kerut tebal
bercak darah, lendir berceceran
membunuh rerumputan, tertindih
tubuhmu yang rebah
hening
diam
tak bernyawa
tinggal nama
menuju kekekalan

Minggu, 08 Maret 2009

entahlah, terkadang kerinduan untuk ngobrol lebih lama lagi muncul begitu tiba-tiba. menemukan dirimu ternyata tak semudah memasukkan nama atau kata ke search engine. tinggal tekan enter maka langsung ketemu. Kau...ah...begitu misteriusnya, datang dan pergi sesuka hatimu, seenak perutmu sendiri. tapi sudahlah. diantara kita pernah terjalin semacam kesepakatan bahwa tidak akan ada pemaksaan kehendak.

hanya saja, menemukan dirimu bagai mencari sesuatu yang tak diketahui terletak di mana, lebih sering ada di lipatan memory saraf otak kecil ketimbang berada di nyata. kau........ah............demikian misteriusnya. this is a real life...or this is just fantasy.....????

Jumat, 06 Maret 2009

Semacam Keluh Kesah

Jalan Gejayan, dua tiga puluh dinihari. Seekor anjing lepas dari rantainya, bebas berlarian sambil sesekali menyalak kegirangan, lepas sudah belenggu yang selama ini merenggut kebebasannya. Satu satu, sepeda motor, mobil, becak, taksi berlari dalam lengang dengan kecepatan sedang dan datar. Betapa damai, hilang sudah jejak-jejak riuh siang tadi. Selokan Mataram mengalir dari Kulon Progo sampai ke Timur sana mengairi persawahan petani, sebuah jejak sejarah sisa-sisa masa romusha. Aku berjalan sendiri, menghitung berapa juta jejak kakiku yang masih membekas dan berceceran di sepanjang jalan ini. Se per empat usiaku tumpah di kota ini, se per empat bagian diriku tercipta di kota ini dan setengah dari se per empat itu aku habiskan di jalan ini. Ufffffffffffhh…..betapa laju masa muda itu berlari meninggalkan tubuh yang mulai renta ini.
Ini hari terakhirku di kota yang sudah mulai sangat aku cintai ini. Besok aku harus pulang ke kampung halaman, ke tempat di mana tiga per empat bagian diriku tercipta. Berat rasanya harus berpisah dengan semua hal yang pernah kusentuh, kulihat, kubaui di kota ini. Berat rasanya meninggalkan semua cerita yang pernah kulakoni di kota ini. Wahai, betapa hidup mampu membelokkan arah dan tujuan yang dulu pernah kutata. Hidup membelokkan arah dan tujuanku ke arah yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Jalan Gejayan sepi. Tinggal dua warung angkringan yang masih setia menunggu pelanggan yang tidurnya sedikit terganggu, abang-abang becak tidur di becaknya. Aku berjalan sendiri menghitung berapa langkah panjang jalan Gejayan. Sesekali aku tersenyum getir kala tiba-tiba saja dalam pedalaman memoryku aku mengingat Wiwik Wulandari. Kami pernah berjalan berdua di jalan ini, dia berjalan di seberang sana dan aku di seberang yang lain. Kami harus berteriak-teriak, berbicara sambil berjalan karena suara kami hilang tertelan deru mesin sepeda motor dan mobil yang seharusnya sudah memasuki usia pensiun. Betapa konyol, pikirku.
Jogja, mungkin tetaplah Jogja, mungkin suatu saat nanti aku bisa kembali ke kota ini. Mungkin sekali. Tapi aku yakin bahwa semua tidak akan pernah sama lagi. Malioboro tetaplah Malioboro, Parang Tritis masih tetap angker dengan ombak besarnya, Jalan Gejayan mungkin masih akan tetap bernama Jalan Gejayan, Mritjan Baru tetaplah Mrutjan Baru, tetapi semua cerita yang penah kualami dan kulakoni di semua tempat itu takkan pernah berulang lagi. Aku hanya akan menjiarahi tempat dan nama-nama tanpa pelakon cerita.
Betapa singkat dan semua berlalu. Celakanya semua cerita yang pernah kulakoni tersebut terjadi begitu saja tanpa diikuti oleh tindakan berpikir terlebih dahulu. Dan nyatanya, semua peristiwa yang seakan-akan terjadi begitu saja mampu menjungkirbalikkan hidupku sedemikian rupa. Aku telah salah langkah, salah arah. Betapa jejak-jejak masa muda itu tetap mengikuti langkahku. Mungkin segala akubatnya akan aku tanggungkan seumur hidupku. Mungkin.

Selasa, 03 Maret 2009

Siang ini, betapa gamang. Sialan. dua langkah yang sangat mematikan, klik kanan pada mouse dan entry nama pada sebuah mesin pencari lalu klik ok. sebaris kata, sebentuk rupa memunculkan kalimat dan beberapa gambar. hanya teks dan image memang, tapi teks dan image itu menyeret ingatan pada suatu masa, berpuluh tahun lalu. seketika, jalan Gejayan, klebengan, selokan mataram, mrican, tamansari, malioboro, samirono dengan kencang dan bertubi-tubi, tanpa ampun menghajar ingatanku.
Lupakanlah semua hal yang harus dilupakan dan kenangkanlah hal-hal yang pantas untuk dikenang, dulu kataku seperti itu. nyatanya? menghapus ingatan dan kenangan tak semudah Select all, dan delete. tak semudah itu. Tidak akan pernah semudah itu, tak akan pernah. Seperempat umurku kuhabis kan di lorong-lorong kota ini, mengakrabi kehidupan yang selalu saja mampu menimbulkan gairah untuk hidup lebih lama lagi. Obrolan di angkriangn pak De Narto, warung kerai dengan gulai ayamnya yang sangat enak bila dikomparasikan dengan harganya yang murah, Mbak Minuk dan gondrong yang sangat terkenal di kalangan pecinta mansion house vodka. Begitu banyak waktu-waktu mudaku berceceren di segala penjuru kota ini. Femiadi sicerdas yang brilian dan absofungkinglutely unique, Tyas Ing Kalbu si pendiam, idealis, tak banyak berbicara, terlalu banyak mikir dan selalu tenang menghadapi apapun, Bagus Dwi Danto si aneh tapi hidup selalu tumbuh ide-ide segar dan gila di kepalanya, dia adalah teman terbaik yang aku punya selama hidupku, pernah aku harus melepaskan rambutnya yang mulai menggimbal sendiri akibat jarang disisir, tahu alat apa yang aku pakai buat melepas rambutnya yang gimbal? aku memakai obeng, ya obeng, drei kata orang jawa, dia temanku berbagi tempat tidur, berbagi makanan, rokok dan kopi, saling tukar celana dalam, baju, buku dan ide. Untung saja kami tidak pernah bertukar pacar, karena kebetulan aku payah dalam bidang itu, Danto selalu mendapatkan wanita-wanita cantik yang ia suka, tapi aku tidak pernah mendapatkan seorang wanitapun untuk aku tiduri (wakakakakakaka, sepertinya Danto pun tidak pernah melakukannya. buat apa pacaran coba kalau tidak berhasil mengajaknya ke tempat tidur....). Pak Kanis Ehak Wain, si cerdas, terlalu banyak bicara dan mempunyai selera humor yang keterlaluan. Tidak pernah tersinggung, dan rela menyebut dirinya sendiri sebagai pemuja keindahan DADA Bertha (teman seangkatan, satu kelas) yang memang nggilani ukurannya (sorry Ber, kami terlalu sering membicarakan hal ini dengan pak Kanis). Pernah suatu waktu Pintu kamar Kost pak Kanis Hilang, waktu itu dia bilang sama aku, "penk, kau tendang saja pintunya sudah, biar pintunya bisa terbuka." Benar...Pintunya terbuka, tapi sialnya pintu itu tak bisa lagi ditutup karena pintu itu lepas dari kosennya. Pak Kanis pun kemudian diusir oleh ibu kost karena telah merusak pintu.
Eva, Amy, Lily, Theodora yang semula tak pernah aku kenal dan tak pernah kuinginkan menjadi sahabatku ternyata di belakang hari justru menjadi sahabat terbaik yang pernah kupunya setelah Danto. Mereka kemudian aku anggap sebagai adikku. duh...senangnya bisa punya adik yang cantik-cantik, manis-manis, lucu-lucu. Pernah, pada suatu waktu, ketika Mrican Post hampir dead line, kami kerja di ruang BPM FISIP yang lama, di sudut gedung kampus, kami terjebak di sana karena hujan turun dengan derasnya. Akhirnya, karena lapar kami beli nasi di angkringan pak de Narto lengkap dengan gorengan dan teh hangatnya. gila, si eva, amy, dan Lily ternyata makannya banyak juga alias tidak sesuai dengan ukuran badan. Kalau si theo aku maklum makannya pasti banyak.
siang ini, berjuta kenangan yang hampir terselip dipedalaman lupaku tiba-tiba saja bangkit serupa hantu dari kubur. tertawa, haru, air mata, nafas menyesak, ah...perasaan yang tak terdeskripsikan, begitu campur aduknya. betapa laju hidup membawaku ke arah ini, ke arah yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku berada jauh dari tempat kenanganku berada berikut dengan orang-orangnya, Danto, eva, Amy hanya mereka yang tersisa, hanya mereka yang bisa aku hubungi di saat ada rindu seperti sekarang ini menyerbu. Sisanya hanyalah harap, berharap suatu saat di waktu yang tak tentu, tiba-tiba saja bisa bertemu Femiadi Soempeno, Tyas Ing Kalbu, Pak Kanis Ehak Wain, Theodora, Zumro Tulayli, atau tanpa sengaja bisa mendapatkan kontak mereka dari suatu hal yang tak pernah terduga. Semoga.

Jumat, 27 Februari 2009

Sajak Riuh dan Lapar

Jalan raya, mobil, sepeda motor, asap kotor
Betapa riuh
Semua menggelinding menuju sesuatu yang tak kutahu
Upil menghitam oleh debu
Ada yang datang, ada yang pergi
Di rumah kardus aku hampir mati
Perut menagih janji yang dari kemarin tak dapat jatah nasi
Sumuk, sumpek, lapar, apek
Apes, tak ada orang tertabrak, lalu mati, dan
Ada duit tujuh ratus juta di sakunya

Daun-daun hitam, langit hitam
Kalau besok aku belum makan juga
Akan kutulis surat buat Presiden, Kapolri, Komnas HAM
Akan kutulis surat buat para menteri dan DPR
Akan kuminta mereka patungan, satu juta satu orang
Coba hitung
Berapa milyar akan kudapatkan

Jalan raya = neraka
Mobil dan sepeda motor = kendaraan neraka
Asap kotor = mesin produksi upil hitam
Aku = orang yang mengharap ada pria berperut gendut terkapar di jalan raya karena tertabrak mobil dan di sakunya ada duit tujuh ratus juta
Aku = orang yang mendapat dana urunan dari pak Presiden, Kapolri, Komnas HAM, pak Menteri dan DPR RI
Asik kan?
Jangan ngiri!
Makanya tulis puisi

Jalan raya, mobil, sepeda motor, asap kotor
Betapa riuh..
Tak ada yang berhenti sekedar mengatakan “hai”
Semuanya melaju, menggelinding pasti
Jadi orang kaya saja sombong
Aku saja yang selalu bergulat dengan kerasnya hidup, dan
Masih bertahan hidup ngga’ sombong-sombong amat
Memang aku miskin, tapi tak pernah mencoba bunuh diri
Aku hanya lapar sekarang
Kau kenyang dan kelebihan uang, bagi dong
Aku tak pernah dapat kesempatan
Boro-boro mau sekolah, makan saja susah

Jalan raya, mobil, sepeda motor, asap kotor
Betapa riuh
Keriuhan yang semakin dalam menikam laparku

penari senja

Penari Senja

Kenakanlah kaca mata hitam
Agar gelap lebih hitam dari biasanya
Ini saatnya melepas lelah, menutup diri dari keramaian
Kepadamu akan datang seorang lelaki, yang
Berpendaran dalam cahaya lampu senter
Mengajakmu menari
Mereguk ekstase merah-hitam kenangan
Menjilati jejak masa muda
Yang begitu laju berlari menyelinap ke pedalaman lupa
Reguklah anggur jitam senja
Menari sampai trance
Hingga kau pecah
Seperti vas bunga yang jatuh dari sudut meja makan
Dan, fajar akan merapikanmu kembali
Seperti perawan yang bangun sedikit kesiangan

Kamis, 26 Februari 2009

Requim Cleopatra

Requim Cleopatra
(semacam sajak cinta)

Aku tak tahu luka Romawi sedalam apa
Aku adalah daratan Mesir yang tak jatuh di kakinya
Coba kau tanyakan pada kumpulan awan, atau
Pada jejak-jejak yang lupa kau sapa
Mengapa si gagah berurai air mata

Jangan tanyakan luka Romawi sedalam apa
Jiwaku mabuk anggur kemenangan; tak mampu menilai air mata
Cleopatra….Cleopatra…..
Kau tundukkan si penahluk diantara kedua pahamu
Segala suka cita menari atasmu
Cleopatra….Cleopatra…..
Aku tak melulu padang pasir jiwamu yang renta
Cleopatra….Cleopatra…..
Aku adalah wilayah imajinasi langkahmu yang lunta

Entah

Entah
Cerpen: Feri Suranta Ginting


Djakarta 2018

Entah mengapa, setiap kali memandang semburat-semburat cahaya senja pikiran dan perasaanku bagai terbang ke suatu temapat yang tak bernama. Sering kucoba mereka-reka dan menata sebentuk rupa. Pertama aku menggambar sepasang alis di atas bola mata yang sipit, lalu hidung yang samar-samar, bibir yang juga samar-samar, kemudian sedikit demi sedikit mengabur, kian kabur, meruap dan hilang. Aku tak pernah berhasil mendapatkan citra dan penggambaran yang jelas tentang sosok perempuan yang tak pernah aku lihat itu.
Di atas nisan yang hampir rubuh itu ada tertulis Lie San Wa, sisanya adalah aksara China yang tak kuketahui bagaimana membacanya. Hanya Lie San Wa itulah yang dapat kubaca, aku tak tahu artinya apa, tapi aku yakin bahwa itu adalah sebuah nama. Wajah orang yang dikubur di bawah gundukan tanah hitam inilah yang selalu aku reka-reka di dalam imaji setiap kali cahaya senja memandikan pucuk-pucuk daun dengan cahaya keemasan. Dia adalah ibuku, ibu yang melahirkan aku, yang menitipkan aku pada Mbah Kromo ketika aku masih berusia tiga hari.
Aku mencintai ibuku, wanita yang tak pernah kulihat wajahnya itu dengan segenap hatiku . tapi sayang, dia tak meninggalkan selembar photo pun untuk aku pandangi .
“Mungkihkah seorang anak lahir tanpa seorang Bapak?” Suatu kali pernah aku bertanya kepada Mbah Kromo.
“ Bapakmu adalah keentahan.” Jawab Mbah kromo ketika itu. Sejak saat itu aku pun tidak pernah bertanya apa-apa lagi tentang bapak. Siapapun dia, dia pastilah seorang laki-laki yang pernah hidup dan mewujud di muka bumi ini. Mungkin bapak meninggalkan ibuku ketika ibu sedang mengandung aku, sehingga Mbah Kromo sangat membenci bapak, dan aku cukup puas dengan kesimpulan yang kubuat sendiri itu.
Suatu senja yang tak berbeda dengan senja-senja sebelumnya, aku kembali mencoba mereka-reka wajah ibuku. Aku marah, kecewa, sedih, karena masih saja gagal menggambarkan wajah wanita itu di dalam imajiku. Aku menangis sambil berlari mendapatkan Mbah Kromo yang sedang memasak di dapur. Aku lengsung menubruk tubuh perempuan tua yang telah merawatku selama dua puluh tahun itu. Aku menangis, menumpahkan air mataku di atas pangkuannya.
“Duh..Cah bagus, ana apa tho? Wis jaka kok isih nangis, isin gus, isin.” Katanya sambil mengelus-elus anak rambutku dengan penuh kelembutan.
“Aku kangen sama ibu, Mbah.” Kataku di sela-sela tangisku.
“Ana-ana wae.Masak bias kangen sama orang yang tak pernah kau lihat wujudnya. Sudah, pergi nyekar sana!”
Seperti itulah, setiap kali semburat senja merona di ufuk Barat, aku melukis wajah ibu di dalam imajiku, seketika semacam perasaan haru yang sesak mendesak di dalam dada membuat nafas seakan tercekat di tenggorokan dan kelopak mata terasa panas.Bila sudah begitu, aku selalu berlari dan menangis dipangkuan Mbah Kromo. Hampir selalu, Mbah Kromo menyuruh aku nyekar, menabur kembang tujuh rupa di atas pusara ibu bila ia sudah kehabisan akal untuk menghentikan tangisku.
Senja ini , sebuah keingintahuan dating menghampiriku. Aku sangat ingin tahu tentang ibu dan bapakku. Matahari berwarna merah saga, bundar, tidak pecah membentuk garis-garis panjang berwarna merah keemasan.
“Mbah……..Mbah…” Panggilku
“Ana apa?” Kali ini Mbah Kromolah yang gopah-gopoh berlari mendapatkanku.
“Aku hampir dapat melukis wajah ibu.”
“Bocah gendeng.” Maki Mbah Kromo
“Bener mbah.”
“Wis tho le, ra usah keakehan ngayal.”
“Mbah.”
“Apa maneh?”
“Ceritai aku tentang ibu mbah.”
Mbah Kromo memangdangku dengan tatapn mengambang, seakan dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Ayo mbah, ceritai aku tentang ibu.”
“Untuk Apa?”
“Aku perlu tahu.”
Mbah Kromo nampak sedang bertimbang-timban. Akhirnya,
“Baiklah, aku akan bercerita.”
Dari cerita Mbah Kromo akhirnya aku tahu bahwa Lie San Wa, ibuku dulu tinggal di rumah kontrakan di depan rumah Mbah Kromo. Setiap pagi sebelum berangkat bekerja ibuku selelu merapikan diri di depan cermin. Kebetulan, kamar ibuku tepat berhadapan dengan kamar mas Jonter, anak Mbah Kromo. Mas Jonter ini pun selalu merapikan diri di depan cermin sebelum berangkat kuliah. Jadilah, setiap pagi mas Jonter dan ibuku saling menatap dari balik jendela mereka masing-masing. Rasa cinta yang mendalam dan tulus mulai tumbuh di relung jiwa mereka berdua. Mas Jonter ini adalah seorang tokoh aktivis gerakan mahasiswa di kampusnya.
Mas Jonter pernah meminta Mbah Kromo untuk meminang Lie San Wa, ibuku dan Mbah Kromo pun melakukannya. Berhubung Lie San Wa sudah tidak memiliki orang tua lagi, maka pinangan itu langsung disampaikan oleh Mbah Kromo kepada Lie San Wa. Kata Mbah Kromo, saat itu ibuku hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala disela-sela isak tangis dan rasa harunya.
“Jadi, mas Jonter adalah bapakku?”
“Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa bapakmu adalah keentahan?” Mbah Kromo memandangku dengan tajam.
“Jadi, ibuku mengandunga aku begitu saja dan melahirkan aku begitu saja tanpa suatu sebab? Seperti Siti Maryam atau Bunda Maria melahirkan Isa atau Yesus? Aku Janoko mbah, bukan Isa atau Yesus.”
“Memang bukan. Kau lahir secara wajar cah bagus. Sama seperti orang lain, kau lahir akibat pembuahan sperma terhadap sel telur ibumu.”
“Kalau begitu, siapa sesungguhnya bapakku?”
Mbah Kromo diam seperti patung, seakan-akan lidahnya kelu dan mulutnya terpatri. Wajahnya terlihat mengeras, sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mbah, sepertinya ada sesuatu yang mbah sembunyikan.”
Wajah Mbah Kromo kembali melunak, tetapi ia masih terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya,
“Ah…kau cah bagus. Tidakkah cukup bagimu kasih saying dan cinta yang kuberikan selama dua puluh tahun ini? Bapakmu adalah keentahan. Tidakkan itu cukup untuk kau ketahui?”
“Apakah keentahan itu bernama Jonter?”
“Aku berharap seperti itu, juga Jonter dan Lie San Wa. Tapi ternyata bukan. Jonter bukan bapakmu cah bagus.”
“Kalau begitu, ceritakan padaku, siapa sesungguhnya bapakku.”
“Hal itu hanya akan membuatku menderita dan aku takut kau akan membenci dirimu sendiri karenanya.”
“Aku pasti kuat menerimanya mbah. Bukankah selama ini kita hidup bersama-sama dengan penderitaan?”
Setelah bertimbang-timbang beberapa saat, akhirnya Mbah Kromo pun bercerita.
Tahun 1998 saat itu. Dimana-mana terjadi kerusuhan di Jakarta. Penjarahan, pembakaran dan kebrutalan massa berkobar di segala penjuru. Rakyat, terutama kaum minoritas seperti ibuku dicekam ketakutan yang teramat sangat. Semua rumah dan toko yang berada di pinggir jalan ditempeli plakat yang berbunyi “MILIK PRIBUMI” oleh pemiliknya, termasuk toko tempat ibuku bekerja. Malang bagi Lie San Wa, ibuku. Plakat yang berbunyi “MILIK PRIBUMI” itu tak mampu menyembunyikan kulitnya yang seputih pualam dan matanya yang sipit. Entah siapa yang memulai, tanpa dikomando, puluhan pemuda menerkam ibuku dengan rakus. Mereka menggerayanginya beramai-ramai, mencabik-cabik pakaiannya dan bagai binatang purba mereka saling berebut untuk memperkosai ibuku. Kata Mbah Kromo , puluhan bahkan ratusan perempuan bermata sipit bernasib sama seperti ibuku.
Mbah Kromo masih terus melanjutkan ceritanya. Pada suatu malam, datang tiga orang pemuda ke rumahnya , mereka mencari mas Jonter yang aktivis itu. Mereka mengambil mas Jonter dengan paksa. Sejak saat itu sampai sekarang mas Jonter tidak diketahui keberadaannya. Entah masih hidup, entah sudah mati, tidak ada yang tahu. Dua puluh tahun sudah berlalu.
Mbah Kromo terlihat tegar ketika bercerita, ia kelihatan tabah dan nrimo, tak ada nada getir dan dendam yang terkandung di dalam suaranya. Hanya saja matanya tampak berkaca-kaca, kangen mungkin.
“Terjadilah apa yang harus terjadi cah bagus. Relakan saja. Dulu, Mbah Kakungmu juga diambil secara paksa dan disekap selama dua puluh tahun tanpa proses peradilan. Mbah Kakungmu dulu suka menari, karena itulah dia diambil secara paksa, hanya karena dia suka menari. Tabah ya cah bagus, tabah.”
Kupandangi wajah perempuan tua yang luar biasa itu. Ia terlihat seperti sedang mengenangkan sesuatu di masa yang telah lewat.
“Ibuku, mengapa dia meninggal mbah?”
“Entahlah. Tak ada yang tahu pasti. Sehari setelah ia menitipkan engkau kepadaku, ia ditemukan tewas di pasar, dadanya berlubang diterjang peluru panas. Mungkin karena dia terlalu ngotot mencari tahu keberadaan mas Jonter.”
Di ujung senja, aku melihat sebentuk wajah cantik berkulit halus dengan mata sipit tersenyum manis kepadaku. Lama kami saling berpandangan, kemudian dia melambaikan tangan dan menghilang di keremangan senja. Aku yakin dia ibuku, dia sedang menabur benih-benih cinta diantara cahaya senja.
Buru-buru aku berlari ke makam ibu, menaburkan kembang tujuh rupa, tujuh warna, tujuh aroma. Inilah aku ibu, inilah aku, Janoko, anakmu yang tak pernah melihat wajahmu dan tak sempat meminum air susumu, inilah aku ibu. Aku mencintaimu.
Mbah kromo benar, bapakku adalah keentahan. Aku adalah anak jaman.