diatas ranjang jaman, yang kuberi nama waktu, kurebahkan sejuta puisi yang kuhidupi dengan hembusan nafas seribu dewa yang kutawan di penjara kata. puisiku tersayat, terajang, tercabik-cabik berserakan oleh keangkuhan tatapmu yang kau namai cinta. seekor binatang melata menjulurkan lidah yang bercabang dua menari atas kepalamu, aku namai itu kelicikan tapi kau menamainya kasih sayang, ah..... kasih sayang yang menipu kataku.
Mengapa sepedih ini? lebih pedih dari sayatan silet di kulit wajah para jenderal di lubang buaya yang sampai sekarang tak jelas siapa pelakunya. puisiku terjerang hingga melampaui titik didih, kau rebus baur dengan segala kecurangan angin kemarau yang berat dan kering, membawa-bawa debu mengotori mata hatiku hingga yang bisa kulihat hanyalah kekotoran yang itu-itu juga.
Di utara musim semi mulai menumbuhkan pucuk-pucuk muda daun pohon willow, kembang-kembang yang menggigil semasa butir-butir salju berguguran menutupi ranting-ranting kecil yang gemetaran kini mulai bersemi, merekah menebar jutaan aroma yang tak terdeskripsikan, hanya indera penciuman yang mampu menjabarkan segala macam bau-bauan yang lewat melalui sistem sensornya. tapi puisiku tetap terebus bersama debu dan kotoran yang sengaja kau tebarkan di atas masakan yang rasanya pasti sudah tidak enak lagi.
Lelahnya, aku harus berpura-pura hitam ketika kau hitam dan berlagak suci ketika kau berubah putih, perubahan yang sama sekali tak pernah kuharapkan dan kuinginkan, tapi atas nama cinta kau bebas membuat semuanya ternoda dan mengendarai hati, jiwa dan pikiranku ke tempat parkir yang kau kehendaki.
Di sinilah aku sekarang, di atas ketinggian kata-kata jiwa yang selama ini terbungkam paksa. lalu sejuta puisiku jaga dari tidurnya yang sebenarnya tidak nyenyak dan dia berkata kepadaku Padove ti puerta il cuero, pergilah ke mana hati membawamu.
Kamis, 23 April 2009
4/23/2009 01:19:00 AM
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar