Jalan Gejayan, dua tiga puluh dinihari. Seekor anjing lepas dari rantainya, bebas berlarian sambil sesekali menyalak kegirangan, lepas sudah belenggu yang selama ini merenggut kebebasannya. Satu satu, sepeda motor, mobil, becak, taksi berlari dalam lengang dengan kecepatan sedang dan datar. Betapa damai, hilang sudah jejak-jejak riuh siang tadi. Selokan Mataram mengalir dari Kulon Progo sampai ke Timur sana mengairi persawahan petani, sebuah jejak sejarah sisa-sisa masa romusha. Aku berjalan sendiri, menghitung berapa juta jejak kakiku yang masih membekas dan berceceran di sepanjang jalan ini. Se per empat usiaku tumpah di kota ini, se per empat bagian diriku tercipta di kota ini dan setengah dari se per empat itu aku habiskan di jalan ini. Ufffffffffffhh…..betapa laju masa muda itu berlari meninggalkan tubuh yang mulai renta ini.
Ini hari terakhirku di kota yang sudah mulai sangat aku cintai ini. Besok aku harus pulang ke kampung halaman, ke tempat di mana tiga per empat bagian diriku tercipta. Berat rasanya harus berpisah dengan semua hal yang pernah kusentuh, kulihat, kubaui di kota ini. Berat rasanya meninggalkan semua cerita yang pernah kulakoni di kota ini. Wahai, betapa hidup mampu membelokkan arah dan tujuan yang dulu pernah kutata. Hidup membelokkan arah dan tujuanku ke arah yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Jalan Gejayan sepi. Tinggal dua warung angkringan yang masih setia menunggu pelanggan yang tidurnya sedikit terganggu, abang-abang becak tidur di becaknya. Aku berjalan sendiri menghitung berapa langkah panjang jalan Gejayan. Sesekali aku tersenyum getir kala tiba-tiba saja dalam pedalaman memoryku aku mengingat Wiwik Wulandari. Kami pernah berjalan berdua di jalan ini, dia berjalan di seberang sana dan aku di seberang yang lain. Kami harus berteriak-teriak, berbicara sambil berjalan karena suara kami hilang tertelan deru mesin sepeda motor dan mobil yang seharusnya sudah memasuki usia pensiun. Betapa konyol, pikirku.
Jogja, mungkin tetaplah Jogja, mungkin suatu saat nanti aku bisa kembali ke kota ini. Mungkin sekali. Tapi aku yakin bahwa semua tidak akan pernah sama lagi. Malioboro tetaplah Malioboro, Parang Tritis masih tetap angker dengan ombak besarnya, Jalan Gejayan mungkin masih akan tetap bernama Jalan Gejayan, Mritjan Baru tetaplah Mrutjan Baru, tetapi semua cerita yang penah kualami dan kulakoni di semua tempat itu takkan pernah berulang lagi. Aku hanya akan menjiarahi tempat dan nama-nama tanpa pelakon cerita.
Betapa singkat dan semua berlalu. Celakanya semua cerita yang pernah kulakoni tersebut terjadi begitu saja tanpa diikuti oleh tindakan berpikir terlebih dahulu. Dan nyatanya, semua peristiwa yang seakan-akan terjadi begitu saja mampu menjungkirbalikkan hidupku sedemikian rupa. Aku telah salah langkah, salah arah. Betapa jejak-jejak masa muda itu tetap mengikuti langkahku. Mungkin segala akubatnya akan aku tanggungkan seumur hidupku. Mungkin.
Jumat, 06 Maret 2009
Semacam Keluh Kesah
3/06/2009 09:14:00 PM
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar