Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 19 November 2014

Satu Indonesia Tetap Merdeka

Kepalkan tinju kecilmu
taruh lekat-lekat di dada
teriaklah selantang-lantangnya
getarkan bumi dengan nyanyian kita
nyanyian budak-budak terjajah
nyanyian petani yang tak punya tanah
nyanyian buruh yang berupah serapah
kita......
bukan bocah ingusan yang menulis dengan tinta;
dan kebanyakan tentang cinta
kita....
adalah kaum terbuang yang menulis dengan darah dan merahnya amarah

kepalkan tinju kecilmu
taruh lekat-lekat di dada
negeri ini dibangun di atas genangan darah
dan tumpukan mayat para pejuang
negeri ini tak dibangun diatas kata-kata
Merdeka!!!
air mata kami darah dan haru menyentak rongga dada kala meneriakkannya
di perut-perut kosong kami
di ratap bayi-bayi kami yang kekurangan gizi
di tangis para petani yang tanahnya dirampasi
di jerit para buruh yang gajinya dikebiri
dan di gubuk-gubuk reot kami
sedikitpun tak terdengar pekik merdeka itu

kepalkan tinju kecilmu
taruh lekat-lekat di dada
sudah cukup mereka berkata-kata
giliran mereka sekarang mendengar suara kita
tak sudi kita berkompromi dengan model-model kolonial
tak sudi kita diperbudak di atas tanah sendiri
tak sudi kita menghambakan diri pada tirani
kepalkan tinju kecilmu
taruh lekat-lekat di dada
satukan cita-cita
SATU INDONESIA, TETAP MERDEKA.

Sabtu, 09 Februari 2013

Puisi Asalan

menjemur bantal di bawah hujan; tak pernah kering
parasit dan jamur berlonjakan, seperti menari
mimpi-mimpi seperti daftar menu
bisa dipesan menurut selera

menjemur bantal di bawah hujan; tak kering meski telah berminggu
robek semakin lebar, jamur tumbuh kian subur
serupa kita yang mengecil di saat yang lain menjelma raksasa
ternyata kita masih serigala yang sama
bantal-bantal semakin rusak
dan kita masih terbuai dalam kebinantangan yang sama.

Sabtu, 26 Januari 2013

Aku Bunga Rumput Liar


kebodohan serupa bunga batu
takkan mekar meski disirami
malah retak dan berlumut
pecah menjelang fajar
lalu kita memungutinya
sedikit menitikkan air mata, lantas
keping-keping pecahannya
kita hunjamkan telak-telak ke ulu hati kita

selalu kita berputar-putar dalam cerita yang sama
menjadi contoh siklus kebodohan yang paling sempurna
yang di Jakarta
selalu membual mampu menyelesaikan masalah banjir yang saban penghujan menjadi head line media massa
lantas, ketika banjir berulang mereka berdalih ini adalah siklus tahunan, limatahunan bahkan seratus tahunan
dan kalian yang telah memilihnya pun maklum
sebab memang banjir telah menjadi kesehariaan saban penghujan
setiap lima tahun kalian tak pernah bosan didongengi cerita yang itu-itu juga

kebodohan seruap bunga batu
takkan mekar meski disirami
saban lima tahun kita disuguhi hidangan basi, dan
cerita yang itu-itu juga
memilih para badut untuk kencing di atas kepala kita sendiri
cerita pemberantasan korupsi dan kemiskinan menjadi dagangan yang paling sexy
dan kalian yang telah memilih mereka pun maklum
kalau mereka juga menipu seperti yang sudah-sudah
kalian merasa terbiasa dikibuli dan ditipu

aku adalah bunga rumput liar
belajar tumbuh di antara semak duri
meski kecil dan tak terawat
tapi aku berakar pada bumi
aku mekar jika hujan menyirami.

Kamis, 02 Desember 2010

Mengurai Benang Kusut Kemiskinan Akut di Indonesia

Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia dengan letak geografis yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan militer. Dengan luas daratan mencatai 199 juta Ha dan luas lautan dua kali luas daratannya. Tanah Indonesia sangat subur secara alamiah dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman pangan dan berbagai jenis kayu yang selain bernilai jual tinggi juga sangat berguna bagi kehidupan karena hutan hujan trpois Indonesia adalah hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia setelah Amazon.
Dari keseluruhan luas daratan Indonesia, sekitar 45,034 juta Ha dipergunakan untuk lahan pertanian atau 23,46% dari seluruh luas daratan. Lainnya dipergunakan untuk pertambangan besar dan padang savanna. Bagian terbesar dari lahan pertanian diperuntukkan sebagai lahan perkebunan yang mencapai 16,5 juta Ha (dan terus akan bertambah), sementara untuk persawahan yang dikhususkan untuk lahan penanaman padi hanya sekitar 8,5 juta Ha (dan terus akan berkurang. Hal inilah yang memicu terjadinya kerawanan pangan nasional. Nanti di belakang akan dijelaskan mengapa lahan untuk perkebunan terus meningkat sementara lahan untuk pertanian semakin berkurang). Lahan pertambangan dipergunakan untuk penambangan nikel, timah, Bijih besi, emas, minyak bumi, gas, batubara, pasir, dan berbagai sumber daya mineral lainnya. Singkatnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa besarnya, baik yang meliputi sumber daya alam di atas permukaan bumi (berbagai jenis kayu khas hutan hujan tropis yang bernilai jual tinggi), di dalam perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas.
Menurut data statistik terakhir, penduduk Indonesia telah mencapai angka kurang lebih 240 juta jiwa dan sebagian terbesar hidup di daerah pedesaan yang tersebar luas. Secara turun-menurun mereka mewarisi keahlian bertani, beternak, menjadi nelayan, menjadi tukang kerajinan dari para leluhurnya. Dahulu kala, keahlian tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsisten). Hampir 108 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia adalah dari kalangan usia produktif, sungguh sebuah potensi yang luar biasa bila dipergunakan secara bijak dan benar. Akan tetapi, letak geografis, besaran jumlah penduduk yang hampir separuhnya adalah tenaga kerja usia produktif, sumber daya alam yang berlimpah sama sekali tidak berguna bagi peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan. Hal ini disebabkan oleh hubungan produksi semi feodal yang dijaga dengan penuh kekerasan oleh sistem semi kolonial dengan mesin politik dan budaya untuk kepentingan imperialis dan klas berkuasa dan klas reaksioner dalam negeri.
Sungguh ironis, memiliki wilayah teritorial (lautan dan daratan ditambah zona ekonomi ekslusif) yang demikian luas, sumber daya alam yang begitu berlimpah dan jumlah penduduk yang demikian besar tetapi terbelakang secara ekonomi, politik dan budaya. Tahu kah kita bahwa PT. Freeport Indonesia di Timika sana, sama sekali tidak membayar royalti sebagai tanda kepemilikan kita atas bijih emas pasir yang mereka tambang di bumi cendrawasih sana? PT. Freeport Indonesia yang telah menjelma menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Negara Amerika hanya membayar PPN sebesar 1% saja. Bandingkan dengan kita, para anak negeri yang harus menanggung PPN sebesar 10% setiap kali kita menginap di hotel atau makan di restaurant di tempat tujuan wisata. Kenyataan tersebut memaksa kita untuk berpikir kembali. Sudah cukup bijak kah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kita yang melepaskan kekayaan alam kepada pihak asing tanpa mendapatkan share keuntungan ataupun hak royalty dari kekayaan kita tersebut? Tentu tidak sulit menjawab pertanyaan tersebut, bukan? PT. Freeport menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Amerika, sementara kita, Negara pemilik bijih emas yang mereka tambang mendapatkan devisa terbesar dari para TKI. Memalukan.
Sejak konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag pada 27 Desember 1949, kekuatan imperialis, terutama Amerika telah memperkuat kedudukannya di Indonesia dan berhasil mendirikan Negara yang sepenuhnya reaksioner sejak jatuhnya Soekarno dan berkuasanya rejim militeris-fasis Soeharto pada tahun 1966. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia yang semi feodal telah sempurna berada dalam dominasi negeri imperialis baik secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, yaitu sistem semi kolonial (inilah sebabnya mengapa saya selalu menekankan bahwa hal yang paling penting ditelusuri dari persitiwa September 1965 bukan pada polemik tentang siapa sesungguhnya pelaku coup de etate karena kalau kita sepakat bahwa September 1965 adalah titik balik kemenangan kapital dan bedil di Indonesia maka dengan sendirinya, pertanyaan tersebut sudah terjawab. Siapapun pelaku kejahatan kemanusiaan 1965 adalah mereka-mereka yang memiliki kepentingan dan kedekatan dengan kapitalisme global).
Cengkeraman kapitalisme global yang telah menggurita menyebabkan Indonesia berkembang menjadi negeri reaksioner yang bergantung dengan sangat hebatnya pada sistem produksi semi feodal, yaitu hidup dari sistem pertanian terbelakang yang memproduksi bahan mentah bertujuan ekspor dengan mengandalkan monopoli tanah yang amat luas di pedesaan dan daerah pinggiran kota, penguasaan atas tanah ulayat adat dan hutan rakyat. Karena Negara reaksioner ini hanya menghasilkan bahan mentah bertujuan ekspor, maka dengan sendirinya akan sangat bergantung dari impor kapital (investasi dan pinjaman), aneka barang jadi (consumer goods) dan tak jarang mengimpor bahan pangan dari negeri imperialis (karena sebagian besar penduduk perkotaan sudah mengikuti tren dan gaya hidup western, terutama dalam hal pola makannya).
Pabrik-pabrik yang ada di Indonesia adalah pabrik setengah jadi (semi prosessing) dan industri ringan (subpirming) milik imperialis yang bergantung pada bahan baku impor untuk menguasai pasar domestik. Tidak ada industri berat yang memproduksi mesin, bahan kimia dasar dan semi-konduktor untuk memungkinkan Indonesia menjadi Negara industri. Industri milik borjuasi kecil lapisan atas dan borjuasi nasional tidak dapat tumbuh dan mengakumulasi kapital akibat dominasi pasar atas bahan mentah, tenaga kerja, dan limpahan barang impor milik imperialis yang membanjiri pasar dalam negeri (hal inilah yang menyebabkan bangkrutnya pabrik-pabrik gula dalam negeri dan contoh terbaru adalah gulung tikarnya para petani garam tradisional, padahal kita mempunyai laut yang luasnya 2 kali lipat lebih besar daripada daratan). Alhasil, mereka tidak dapat mengembangkan kapital secara mandiri dan dipaksa bergantung pada system oligharki finansial.
System produksi semi feodal mengandalkan monopoli tanah dan senantiasa melaksanakan penambahan luas lahan untuk dikuasi sebagai jalan utama untuk meningkatkan produktifitas (di depan tadi saya telah mengatakan bahwa lahan perkebunan akan terus melebar sementara lahan pertanian rakyat, terutama yang diperuntukkan untuk persawahan menanam padi akan terus berkurang. Inilah penjelasan atas pernyataan di atas tadi). Keuntungan dari produksi di atas tanah yang lama diperoleh dengan mengandalkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata. Sebagian besar keuntungan tidak diinvestasikan kembali untuk memodernkan alat kerja dan melatih buruh untuk meningkatkan produktifitas.
Sistem semi feodal adalah karang raksasa penahan laju lahirnya industri dan industrialisasi Indonesia. Perkembangan tenaga kerja mengalami stagnasi. Pengetahuan dan kapasitas pekerja dibelenggu alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan tenaga kerja terampil dan berpengetahuan, lebih dari itu, produksi pertanian dan industri semacam itu hanya mampu menampung tenaga kerja dalam jumlah yang terbatas sehingga akan mempertajam persaingan antar tenaga kerja untuk mendapatkan kesempatan kerja yang amat terbatas dan sangat birokratis tersebut. Keadaan ini, secara sistematis akan menekan tingkat pendapatan (besaran upah) buruh tani di pedesaan dan buruh pekerja di perkotaan dan pinggiran kota.
Monopoli atas tanah menyebabkan semakin terkonsentrasinya tanah di segelintir tuan tanah besar yang akan terus melancarkan perampasan tanah, teristimewa dalam situasi krisis imperialis yang memuncak. Akibatnya kaum tani yang kehilangan tanah dan yang hidup dari tanah seadanya semakin banyak jumlahnya di pedesaan dan daerah pinggiran kota. Keadaan ini dimanfaatkan dengan kejam oleh para tuan tanah untuk melipatgandakan keuntungannya dengan mempraktikkan sewa tanah yang mencekik, peribaan dengan bunga tinggi, upah buruh tani yang sangat rendah dan tengkulakisme yang semakin merajalela.
Sistem semi feodal ini sangat menguntungkan bagi imperialis dan klas reaksioner dalam negeri. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga dan penuh kekerasan mereka akan mempertahankannya. Pasca perang dunia ke-2 imperialisme telah memperkenalkan sistem semi kolonial untuk menjaga dan mempertahankan sistem semi feodal dari kemungkinan perlawanan yang dilancarkan oelh seluruh klas terhisap dan tertindas. Mesin politik dan kebudayaan dibangun dan terus diperkuat dengan satu tujuan melindungi sistem semi feodal dan semua aset dan kepentingan kaum imperialis dengan cara menindas kekuatan potensial perlawanan rakyat dan klas buruh, kaum tani dan mahasiswa yang berontak terhadap sistem jahanam tersebut.
Mesin utama dari negeri reaksioner Indonesia adalah pemerintahan boneka (SBY-Boediono) yang pro imperialisme dan kapitalisme. Pemerintah boneka bertugas untuk membuat undang-undang dan atau kebijakan-kebijakan sesat demi dan untuk kepentingan imperialisme belaka. Di tengah penderitaan rakyat yang terus menderas, pemerintah boneka hanya dapat memerintah apabila dilengkapi dengan instrument penindas yang spesial, yaitu setan hijau dan setan coklat (TNI-Polri) serta laskar-laskar sipil yang terlatih dan dipelihara oleh pemerintah boneka tersebut (itulah sebabnya di Indonesia ini banyak sekali laskar-laskar tidak jelas dan sangat reaksioner dan menjadi kekuatan potensial yang selalu saja berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah boneka untuk menghabisi gerakan-gerakan ataupun organisasi yang mengambil sikat berseberangan dengan penguasa. Biasanya golongan ini berasal dari kalangan agamis yang kelewat fanatik dan kolot. Agaknya penguasa berhasil dengan baik memanfaatkan pertentangan antara kaum Islam dan Katholik binaan Pastor Beek di satu pihak dengan kekuatan ideologi kiri di pihak lain, dan belakangan bertambah dari barisan Kristen Protestan kharismatik yang berkembang dari Amerika dan Inggris).
Pemerintahan boneka terus-menerus berusaha menyempurnakan instrumen “Demokrasi” nya sebagai topeng untuk menipu dan mempermainkan aspirasi rakyat. Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, MA, Jaksa Agung, kabinet dan berbagai macam komisi dan badan pengawasan serta auditor-auditor dibentuk dalam kerangka tersebut. Demikian juga halnya dengan General Election (PEMILU). Sistem politik Amerika yang dijalankan oleh borjuasi besar monopoli adalah rujukannya yang paling utama, tentu saja dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan gaya dan selera borjuasi nasional.
Dominasi politik saja tidak cukup (karena sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kekalahan politik tidak berarti kekalahan budaya, tetapi kekalahan budaya pastilah berarti kekalahan politik dan akan berimbas pada kekalahan ekonomi dan kekalahan di segala sendi kehidupan), maka untuk memastikan kekuasaannya berlangsung dalam waktu yang panjang (Seperti Soeharto), maka dominasi kebudayaan, terutama di bidang pendidikan dan pengetahuan harus dilaksanakan (maka jangan pernah heran mengapa biaya pendidikan begitu besar di negeri Indonesia ini, agar para peserta didik lebih fokus pada usaha menyelesaikan pendidikannya ketimbang belajar hukum dan politik). Sekolah, Universitas, media massa (yang seharusnya mencerminkan realitas malah mendistorsi realitas itu sendiri), berbagai jenis kesenian, gaya hidup, makanan dan sebagainya harus dibuat dan dikendalikan oleh mereka agar rakyat bersedia mengabdi pada imperialisme, sekaligus mengeliminir potensi resistensi rakyat.
Imperialisme dan rejim bonekanya memiliki begitu banyak mesin untuk menindas sekaligus memiskinkan rakyat secara sistematis. Coba kita sama berpikir. Sesungguhnya, bila seluruh sumber daya alam, baik yang berada di atas permukaan bumi, di bawah perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas ini tidak dikelola dalam sistem produksi lama sisa feodalisme dan tidak di bawah control imperialisme, maka akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita dan membangun industri nasional dan tidak perlu mengharapkan inventasi maupun segala macam bentuk pinjaman luar negeri.
Bila anda tidak sepakat dengan apa yang saya tuliskan ini, tolong berikan alasan dan penjelasan anda. Karena di atas saya telah memaparkan bahwa Indonesia ini sama sekali tidak mempunyai alasan dan prasyarat untuk menjadi Negara miskin. Lalu mengapa Indonesia kita ini menderita kemiskinan yang demikian akut?

Selasa, 16 November 2010

Pantai, Pasir dan Angin

dipantai....
gerimis mengarsir matahari terbenam
tak ada burung camar bersahutan
hanya aku, sebotol bir hitam
dan bayangmu yang timbul tenggelam dalam buaian ombak, yang
bergulung menghantarkan rindu yang membuih

dipasir....
kulukis resah
aku tak mau seperti karang
perlahan terkikis menuju ketiadaan
aku ingin seperti angin
semakin dihajar; semakin tegar
semakin dihadang; semakin kencang.

Bukan Sajak Romantis

kita terlalu sabar

selalu diam ketika dikhianati

dan, mereka semakin liar menari

di atas genangan darah anak negeri

melawan kepal tangan dengan senapan

melawan spanduk dengan peluru tajam



hiraukah?

ketika kekayaan negeri diperkosa, dan

dinikmati rakyat negeri raksasa nun jauh di sana?

ini bukan sajak mendayu

sebab sejak lama petani menanam di petak-petak harap yang sekarat

ini bukan sajak romantis

sebab sejak lama kita berpeluh dan berupah serapah



sejenak,

lupakan sketsa estetika kata, dan

standar baku sajak gaya penguasa

gunakan darah dan air mata sebagai tinta.

Jogja Java Carnival 2010

Hmmmmm....Pertanda apa ini? hari ini aku kembali duduk di tempat ini bersama 4 orang teman yang semuanya perempuan, tepat di depan mirota batik Jl. Malioboro. ah...sudahlah, aku tidak mau berpikir macam-macam atau bermain-main dengan masa lalu, yang belum sepenuhnya mampu kubunuh dari ingatan.


Ribuan orang tumpah ruah di Malioboro, menunggu karnaval yang ternyata membosankan. tepat di sini, di tempat aku dan teman-temanku berdiri sekarang, suatu hari di masa yang telah lewat, ada pentas musik dan aku tepat berdiri disini menyaksikan penampilan kawan-kawan pengamen jalanan yang diberi kesempatan untuk unjuk kebolehan.

Lagi-lagi aku tidak mau larut dalam cerita yang telah lewat itu, dan aku enggan menyebutnya kenangan. Biarlah semua mengalir menuju muaranya masing-masing dengan kehendaknya masing-masing karena Sang Empunya hidup tentu sudah membuatkan skenario takdir yang harus dijalani oelh setiap ciptaannya. Relakanlah...bathinku sambil mengelus dada dan sesekali menghembuskan asap rokok yang pekat dan berbau laknat.


*Yogyakarta Mei 2004: Sore hari seorang teman berinisial "D" menelephone dan meminta aku menemani dia melihat pesta kembang api di alun-alun utara setelah acara penutupan 'SEKATEN' dan aku bersedia menemani dia. sembari menunggu digelarnya pesta kembang api itu, ada sepenggal percakapan diselingi semangkok ronde panas yang terpaksa dibagi berdua, bukan karena ingin romantis-romantisan, tapi karena status sebagai anak kost memaksa kita untuk berhemat. hahahahaha..hihihihihihi...percakapan yang renyah dan mengalir. saling menatap, lalu tertunduk malu dan kemudian tertawa lagi.

Karena pesta kembang api yang ditunggu-tunggu belum juga dimulai, kami beranjak dari alun-alun Utara menuju jl. Malioboro, kebetulan beberapa teman dari komunitas "Seni Jalanan" membuat pentas musik anak jalanan, tepat di tempat kami berdiri menyaksikan karnaval tadi. Percakapan di alun-alun Utara tadi tidak terbawa sampai ke tempat ini karena suasana yang tiba-tiba tegang. Mirota Batik Jl. Malioboro tiba-tiba terbakar. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke alun-alun Utara untuk melihat pesta kembang api penutupan Sekaten. sayang seribu kali sayang, dari panitia pelaksana kami mendengar bahwa pesta kembang api dibatalkan. Dongkol setengah mati rasanya, bukannya menyaksikan pesta kembang api yang mewah, malah melihat kebakaran yang tragis. Di perjalanan pulang praktis tak ada percakapan di antara kami, mungkin karena capek, kesal dan dongkol karena yang ditunggu-tunggu malah dibatalkan. Entahlah di mana kini kau berada, tapi aku tahu kau pasti sedang berbahagia dalam pelukan dia yang sangat mencintaimu dan yang kau cintai setengah mati.*


Tadi, kami harus pulang jalan kaki karena tak ada taksi yang kosong akibat berjubelnya manusia yang berebut kendaraan pulang. sampai di depan gedung BI ada kembang api dari arah perempatan Malioboro yang berterbangan ke angkasa, semakin lama semakin besar dan banyak, warna-warni dan terus membesar. Bangsat!! akhirnya aku larut juga dalam jerat masa lalu yang berakhir tidak indah antara kita. Kembang api sialan, tak ditunggu kehadiranmu tapi kau datang menghajar ingatan dan melemparkan aku jauh ke suatu malam enam tahun yang lalu. sesekali aku melihat ke belakang, dan sengaja berjalan di belakang. tiba-tiba saja kelopak mataku panas, ada dua manik mengembang di sana, dan tiba-tiba saja dada menyesak dan nafas tertahan di tenggorokan. seketika haru yang teramat sangat membuat rongga dada terasa sempit. ah....masa lalu yang selalu saja tak mampu kubunuh sepenuhnya.

Sengaja kutinggalkan langkahku di belakang teman-teman yang lain. aku tak mau terlihat terpukul, dengan alasan melihat kembang api yang seakan mengejekku itu aku menghapus air mata sialan yang tak mampu kubendung lagi. di sayidan, kami berhenti. membuat beberapa photo. tapi aku merasa sendiri, tiba-tiba.


*Yogyakarta September 2003, Kita bertukar buku saat detik-detik menjelang perpisahan, sama-sama berurai air mata, berpelukan erat. Di sampul belakang The Book of Laughing and Forgetting nya Milan Kundera yang kuberikan kepadamu aku menulis, "Kita adalah sepenggal kisah tentang kebesaran hati dan kerelaan. Memilih untuk berpisah untuk mematangkan pemaknaan terhadap kehidupan. Aku bersyukur karena tak setitik noda pun pernah kutitipkan padamu." dan di sampul belakang L'Immortalite nya Milan Kundera yang kau berikan kepadaku kau menulis, "Biarlah segenap alam raya dan isinya mengatakan kita berpisah, tapi kita tahu bahwa semua yang terjadi di antara kita hanya karena waktu dan takdir tidak berpihak kepada kita." dan kita pun melemparkan sim card kita berdua ke dalam kali dari jembatan sayidan dan sepakat untuk tidak akan mencari keberadaan masing-masing, kita akan saling menghapus kenangan. Kalau pun kelak kita akan bertemu kembali, biarlah takdir yang akan mempertemukan kita, bukan kehendak dan keinginan kita. Kau menstarter sepeda motormu menuju malioboro dan aku memacu sepeda motor (pinjaman) ku menuju Kusuma Negara. Sungguh indah, dua gerak berlawanan terjadi sekaligus dalam waktu yang bersamaan.*


Melanjutkan perjalanan menuju Taman Siswa dengan rasa yang semakin bercampur aduk. Sesampainya di Taman Siswa aku memilih langsung pulang, tapi begitu taksi sampai di pertigaan kusuma negara aku minta ke pak sopir untuk kembali ke sayidan. menghabiskan sebatang rokok dan kulemparkan puntung laknak itu ke dalam sungai seperti saat kami melemparkan simcard untuk menghapus jejak kedekatan yang telah sempat kami bina. lalu melaju menuju block O. aku ingin jatuh dalam pelukan tidur yang nyaman. tapi, sulit untuk mengajak mata terpejam. masa lalu itu terlalu berat menghajarku. Damailah kiranya hidupmu dan hendaknya segala kebaikan hidup selalu berpihak kepadamu.


Tadi, aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan tempatku berdiri enam tahun yang lalu, entah pertanda apa semua ini?