Blogroll

Minggu, 16 Agustus 2009


REFLEKSI KEMERDEKAAN
Feri Suranta Ginting*
Tadi siang, ketika saya berangkat ke warnet untuk menyelesaikan tulisan ini, saya melihat seorang bocah laki-laki berlari-lari di tengah hujan lebat. Bocah itu tidak mengenakan selembar pakaian pun di tubuhnya yang ringkih. Di tangan kirinya dia memegang 1 sachet shampoo. Dia berlari-lari kian kemari dengan riangnya. Hampir di setiap pancuran talang air dia berhenti sejenak, membiarkan tubuhnya dibasahi oleh air hujan yang mungkin akan membuatnya demam nantinya. Dia begitu gembira bermandikan air hujan, dia merasa lepas dan bebas, aku dapat merasakan kegembiraan yang teramat sangat dari sorot matanya yang jenaka dan senyum lebar pada bibirnya. Begitu gembiranya si bocah yang telanjang bermandikan air hujan itu, hingga dia lupa akan hukuman apa yang akan dia dapatkan nanti bila kedua orang tuanya mengetahui perbuatan yang sedang ia lakukan sekarang ini. Mungkin si bocah akan mendapatkan 2 sampai 3 pukulan rotan pada betisnya. Ia tidak peduli, yang ada dikepalanya saat ini hanyalah kebahagiaan dan kebebasan yang jarang ia dapatkan.
16 Agustus 2009, besok, ya besok pagi kita akan merayakan hari kemerdekaan kita yang ke-64 kalinya. Sudah sejauh itu perjalanan Negara-Bangsa ini dalam udara kemerdekaan. Tadi Pagi salah seorang teman menuliskan bahwa PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 08 1945 TIDAK LEBIH DARI SEREMONI "PEMINDAHAN KEKUASAAN" BELAKA. Mungkin yang dimaksud oleh kawan itu adalah bahwa peristiwa proklamasi 1945 itu hanyalah pemindahan tangan kekuasaan dari kolonialis dan borjuasi asing kepada borjuasi nasional yang pada prinsipnya sama saja ganas dan rakusnya dengan penguasa kolonial. Sebagian kelompok lagi memaknai bahwa kemerdekaan yang kita raih ini adalah buah dari perjuangan dan bukan hadiah dari bangsa manapun. Saya tidak mau terjebak dalam polemik dan perdebatan semacam itu. Terserah, bagaimanapun kita memaknai Proklamasi kemerdekaan tersebut. Saya hanya ingin mengkaji makna "MERDEKA" itu sendiri.
Proklamasi kemerdekaan 1945 (Terlepas dari bagaimana cara kita memaknainya) adalah sebuah pijakan awal dalam perjalanan Bangsa ini. Pada paragraph awal tulisan ini saya bercerita tentang seorang bocah laki-laki yang bebas berlarian mandi air hujan, tak ada yang melarang, tidak ada yang mengekang. Begitu bebas dan bahagianya sibocah itu. Tidak usah terlalu akademis dan tinggi obrolan tentang makna Merdeka itu, kita maknai saja secara sederhana dan ringan. Menurut saya, dan mungkin menurut semua manusia yang berpikir merdeka itu pastilah berbicara tentang kebebasan, tanpa kekangan, tanpa campur tangan dan intervensi pihak asing. Sebuah Negara dapat dikatakan merdeka bila Negara tersebut sudah berhak menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangganya sendiri baik yang menyangkut tentang kebijaksanaan politik dalam negeri dan pergaulan internasionalnya.
Sejak berdirinya Bangsa-Negara ini sebagai sebuah Negara yang berdaulat, kita tidak pernah lepas dari intervensi dan campur tangan pihak asing. 3 tahun sejak peristiwa Proklamasi kemerdekaan, tepatnya Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militernya untuk merongrong kedaulatan Republik tercinta ini. Pasca Konfrensi Meja Bundar yang difasilitasi Amerika konflik antara Indonesia dan Belanda mereda dengan satu kerugian besar dipihak kita, karena salah satu butir konfrensi meja bundar adalah bahwa seluruh hutang luar negeri Negara Hindia Belanda ditanggung oleh Republik Indonesia serikat. Lalu, Amerika dengan cerdik memanfaatkan ketidak puasan beberapa petinggi militer di daerah yang kecewa terhadap para petinggi militer di Ibu Kota (baca : Pulau Jawa), Amerika memfassilitasi para petinggi militer di daerah-daerah untuk melancarkan pemberontakan. Karena menurut logika mereka lebih baik Indonesia tercerai-berai dan hancur tapi mereka mendapatkan sedikit wilayah yang berpihak kepada blok barat. Mereka agaknya trauma dengan kejadian di China sana, mereka tetap ingin mempertahankan keutuhan China. Mereka memang berhasil mempertahankan keutuhan wilayah China, tapi kemudian China malah berpihak ke blok timurnya Soviet. Seandainya mereka memfasilitasi perjuangan Sun Yat Sen mungkin China akan terbelah menjadi dua bagian, seperti yang terjadi atas Seoul dan Pyong yang. Belum Lagi kasus pemberontakan petinggi militer di daerah berhasil dipadamkam, Inggris pun tidak ketinggalan memprovokasi Republik tercinta ini dengan Memerdekakan Malaya (Malaysia) yang menurut Soekarno masih merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Presiden Soekarno marah dan mengeluarkan kebijakan ganyang Malaysia. Kembali, perpecahan di tubuh militer terjadi, Sebagian besar petinggi angkatan perang tidak setuju untuk mengganyang Malaysia, karena mereka insyaf bahwa militer kita pasti akan berhadapan dengan armada perang Inggris yang bukan main perkasanya di lautan. Soekarno kecewa dengan sifat pengecut para petinggi angkatan perangnya, maka mulailah Soekarno mendekati PKI partai yang memiliki massa paling besar pada masa itu, kebetulan PKI pada saat itu tengah terjepit posisinya. PKI mendukung kebijakan Ganyang Malaysia. Akibat kebijakan tersebut Republik Indonesia dikeluarkan dari PBB, tentu hal ini akan berdampak pada melemahnya posisi tawar dan loby-loby kita di tingkat internasional.
Pasca Krisis Moneter 1998, lembaga moneter internasional (Internatinal Monetery Fund, World Bank, Asian Development Bank) semakin dalam mengintervensi kebijakan-kebijakan penguasa lokal (presiden) bukan hanya mengintervensi kebijakan yang berhubungan dengan kebijakan fiscal dan moneter, tapi juga menjalar kebidang-bidang yang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan fiscal dan moneter. Wajar memang, mereka telah menyalurkan bantuan yang jumlahnya tidak sedikit, maka intervensi kebijakan tersebut dianggap sebagai balas jasa yang setimpal.
Dari Intervensi asing kita beralih kepada penguasa lokal. Di negeri yang sudah mencecap alam kemerdekaan 64 tahun lamanya ini rakyat demikian tidak berdayanya. Segala keputusan atau kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa sama sekali tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil. Undang-undang ketenagakerjaan yang seharusnya berpihak kepada para buruh justru berpihak kepada para penyelenggara kerja (artinya pemilik modal, pemilik pabrik, pemilik perusahaan), Undang-undang pendidikan yang seharusnya berpihak kepada para peserta didik (Baca: Siswa dan Mahasiswa) malah berpihak kepada lembaga / institusi penyelenggara pendidikan (Baca : Yayasan), Undang-undang pertanian yang semestinya berpihak kepada para petani dan buruh tani malah berpihak kepada pihak perkebunan yang membawa kita kembali kepada model-model penjajahan. Rakyat yang seharusnya dilibatkan di dalam proses pembuatan keputusan karena merekalah obyek yang paling merasakan dampak dari kebijakan tersebut justru ditempatkan di wilayah yang paling marginal.
Sudah 64 tahun kita merdeka (katanya) tapi mengapa selalu saja kita belum bisa lepas dan bebas dari campur tangan asing yang memegang rotan di tangan kanannya untuk melibas betis kita, yang tidak akan pernah membiarkan kita bebas menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangga kita sendiri sebebas bocah laki-laki yang begitu lepasnya mandi air hujan.
Agaknya, pendapat seorang teman yang menuliskan bahwa proklamasi kemerdekaan 1945 hanyalah sebuah prosesi pemindatangan kekuasaan dari penguasa kolonial kepada para penguasa pribumi yang sama saja ganas dan rakusnya dengan penguasa kolonial dan mereka tetap bekerja sama untuk menentukan arah perjalanan Bangsa yang (katanya) sudah merdeka ini ada benarnya.
Jadi, sudahkah kita merdeka? Sudahkah kita berdaulat dan berhak menentukan arah kebijakan dan mengatur rumah tangga kita sendiri baik menyangkut kehidupan dalam negeri maupun pergaulan internasional? Dengan berat hati saya terpaksa mengatakan, kita pernah merdeka. Ya kita pernah merdeka. Dulu….dulu sekali….M…E….R….D…E….K….A.....(KAN INDONESIA SEUTUHNYA).

*Feri Suranta Ginting adalah seorang penulis jenaka yang
Memiliki selera humor yang kelewatan. Mengemas tulisannya
Dengan gaya yang ringan, lugas dan santai.

0 komentar:

Posting Komentar