Entah
Cerpen: Feri Suranta Ginting
Djakarta 2018
Entah mengapa, setiap kali memandang semburat-semburat cahaya senja pikiran dan perasaanku bagai terbang ke suatu temapat yang tak bernama. Sering kucoba mereka-reka dan menata sebentuk rupa. Pertama aku menggambar sepasang alis di atas bola mata yang sipit, lalu hidung yang samar-samar, bibir yang juga samar-samar, kemudian sedikit demi sedikit mengabur, kian kabur, meruap dan hilang. Aku tak pernah berhasil mendapatkan citra dan penggambaran yang jelas tentang sosok perempuan yang tak pernah aku lihat itu.
Di atas nisan yang hampir rubuh itu ada tertulis Lie San Wa, sisanya adalah aksara China yang tak kuketahui bagaimana membacanya. Hanya Lie San Wa itulah yang dapat kubaca, aku tak tahu artinya apa, tapi aku yakin bahwa itu adalah sebuah nama. Wajah orang yang dikubur di bawah gundukan tanah hitam inilah yang selalu aku reka-reka di dalam imaji setiap kali cahaya senja memandikan pucuk-pucuk daun dengan cahaya keemasan. Dia adalah ibuku, ibu yang melahirkan aku, yang menitipkan aku pada Mbah Kromo ketika aku masih berusia tiga hari.
Aku mencintai ibuku, wanita yang tak pernah kulihat wajahnya itu dengan segenap hatiku . tapi sayang, dia tak meninggalkan selembar photo pun untuk aku pandangi .
“Mungkihkah seorang anak lahir tanpa seorang Bapak?” Suatu kali pernah aku bertanya kepada Mbah Kromo.
“ Bapakmu adalah keentahan.” Jawab Mbah kromo ketika itu. Sejak saat itu aku pun tidak pernah bertanya apa-apa lagi tentang bapak. Siapapun dia, dia pastilah seorang laki-laki yang pernah hidup dan mewujud di muka bumi ini. Mungkin bapak meninggalkan ibuku ketika ibu sedang mengandung aku, sehingga Mbah Kromo sangat membenci bapak, dan aku cukup puas dengan kesimpulan yang kubuat sendiri itu.
Suatu senja yang tak berbeda dengan senja-senja sebelumnya, aku kembali mencoba mereka-reka wajah ibuku. Aku marah, kecewa, sedih, karena masih saja gagal menggambarkan wajah wanita itu di dalam imajiku. Aku menangis sambil berlari mendapatkan Mbah Kromo yang sedang memasak di dapur. Aku lengsung menubruk tubuh perempuan tua yang telah merawatku selama dua puluh tahun itu. Aku menangis, menumpahkan air mataku di atas pangkuannya.
“Duh..Cah bagus, ana apa tho? Wis jaka kok isih nangis, isin gus, isin.” Katanya sambil mengelus-elus anak rambutku dengan penuh kelembutan.
“Aku kangen sama ibu, Mbah.” Kataku di sela-sela tangisku.
“Ana-ana wae.Masak bias kangen sama orang yang tak pernah kau lihat wujudnya. Sudah, pergi nyekar sana!”
Seperti itulah, setiap kali semburat senja merona di ufuk Barat, aku melukis wajah ibu di dalam imajiku, seketika semacam perasaan haru yang sesak mendesak di dalam dada membuat nafas seakan tercekat di tenggorokan dan kelopak mata terasa panas.Bila sudah begitu, aku selalu berlari dan menangis dipangkuan Mbah Kromo. Hampir selalu, Mbah Kromo menyuruh aku nyekar, menabur kembang tujuh rupa di atas pusara ibu bila ia sudah kehabisan akal untuk menghentikan tangisku.
Senja ini , sebuah keingintahuan dating menghampiriku. Aku sangat ingin tahu tentang ibu dan bapakku. Matahari berwarna merah saga, bundar, tidak pecah membentuk garis-garis panjang berwarna merah keemasan.
“Mbah……..Mbah…” Panggilku
“Ana apa?” Kali ini Mbah Kromolah yang gopah-gopoh berlari mendapatkanku.
“Aku hampir dapat melukis wajah ibu.”
“Bocah gendeng.” Maki Mbah Kromo
“Bener mbah.”
“Wis tho le, ra usah keakehan ngayal.”
“Mbah.”
“Apa maneh?”
“Ceritai aku tentang ibu mbah.”
Mbah Kromo memangdangku dengan tatapn mengambang, seakan dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Ayo mbah, ceritai aku tentang ibu.”
“Untuk Apa?”
“Aku perlu tahu.”
Mbah Kromo nampak sedang bertimbang-timban. Akhirnya,
“Baiklah, aku akan bercerita.”
Dari cerita Mbah Kromo akhirnya aku tahu bahwa Lie San Wa, ibuku dulu tinggal di rumah kontrakan di depan rumah Mbah Kromo. Setiap pagi sebelum berangkat bekerja ibuku selelu merapikan diri di depan cermin. Kebetulan, kamar ibuku tepat berhadapan dengan kamar mas Jonter, anak Mbah Kromo. Mas Jonter ini pun selalu merapikan diri di depan cermin sebelum berangkat kuliah. Jadilah, setiap pagi mas Jonter dan ibuku saling menatap dari balik jendela mereka masing-masing. Rasa cinta yang mendalam dan tulus mulai tumbuh di relung jiwa mereka berdua. Mas Jonter ini adalah seorang tokoh aktivis gerakan mahasiswa di kampusnya.
Mas Jonter pernah meminta Mbah Kromo untuk meminang Lie San Wa, ibuku dan Mbah Kromo pun melakukannya. Berhubung Lie San Wa sudah tidak memiliki orang tua lagi, maka pinangan itu langsung disampaikan oleh Mbah Kromo kepada Lie San Wa. Kata Mbah Kromo, saat itu ibuku hanya mampu mengangguk-anggukkan kepala disela-sela isak tangis dan rasa harunya.
“Jadi, mas Jonter adalah bapakku?”
“Bukankah sudah pernah kukatakan bahwa bapakmu adalah keentahan?” Mbah Kromo memandangku dengan tajam.
“Jadi, ibuku mengandunga aku begitu saja dan melahirkan aku begitu saja tanpa suatu sebab? Seperti Siti Maryam atau Bunda Maria melahirkan Isa atau Yesus? Aku Janoko mbah, bukan Isa atau Yesus.”
“Memang bukan. Kau lahir secara wajar cah bagus. Sama seperti orang lain, kau lahir akibat pembuahan sperma terhadap sel telur ibumu.”
“Kalau begitu, siapa sesungguhnya bapakku?”
Mbah Kromo diam seperti patung, seakan-akan lidahnya kelu dan mulutnya terpatri. Wajahnya terlihat mengeras, sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mbah, sepertinya ada sesuatu yang mbah sembunyikan.”
Wajah Mbah Kromo kembali melunak, tetapi ia masih terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya,
“Ah…kau cah bagus. Tidakkah cukup bagimu kasih saying dan cinta yang kuberikan selama dua puluh tahun ini? Bapakmu adalah keentahan. Tidakkan itu cukup untuk kau ketahui?”
“Apakah keentahan itu bernama Jonter?”
“Aku berharap seperti itu, juga Jonter dan Lie San Wa. Tapi ternyata bukan. Jonter bukan bapakmu cah bagus.”
“Kalau begitu, ceritakan padaku, siapa sesungguhnya bapakku.”
“Hal itu hanya akan membuatku menderita dan aku takut kau akan membenci dirimu sendiri karenanya.”
“Aku pasti kuat menerimanya mbah. Bukankah selama ini kita hidup bersama-sama dengan penderitaan?”
Setelah bertimbang-timbang beberapa saat, akhirnya Mbah Kromo pun bercerita.
Tahun 1998 saat itu. Dimana-mana terjadi kerusuhan di Jakarta. Penjarahan, pembakaran dan kebrutalan massa berkobar di segala penjuru. Rakyat, terutama kaum minoritas seperti ibuku dicekam ketakutan yang teramat sangat. Semua rumah dan toko yang berada di pinggir jalan ditempeli plakat yang berbunyi “MILIK PRIBUMI” oleh pemiliknya, termasuk toko tempat ibuku bekerja. Malang bagi Lie San Wa, ibuku. Plakat yang berbunyi “MILIK PRIBUMI” itu tak mampu menyembunyikan kulitnya yang seputih pualam dan matanya yang sipit. Entah siapa yang memulai, tanpa dikomando, puluhan pemuda menerkam ibuku dengan rakus. Mereka menggerayanginya beramai-ramai, mencabik-cabik pakaiannya dan bagai binatang purba mereka saling berebut untuk memperkosai ibuku. Kata Mbah Kromo , puluhan bahkan ratusan perempuan bermata sipit bernasib sama seperti ibuku.
Mbah Kromo masih terus melanjutkan ceritanya. Pada suatu malam, datang tiga orang pemuda ke rumahnya , mereka mencari mas Jonter yang aktivis itu. Mereka mengambil mas Jonter dengan paksa. Sejak saat itu sampai sekarang mas Jonter tidak diketahui keberadaannya. Entah masih hidup, entah sudah mati, tidak ada yang tahu. Dua puluh tahun sudah berlalu.
Mbah Kromo terlihat tegar ketika bercerita, ia kelihatan tabah dan nrimo, tak ada nada getir dan dendam yang terkandung di dalam suaranya. Hanya saja matanya tampak berkaca-kaca, kangen mungkin.
“Terjadilah apa yang harus terjadi cah bagus. Relakan saja. Dulu, Mbah Kakungmu juga diambil secara paksa dan disekap selama dua puluh tahun tanpa proses peradilan. Mbah Kakungmu dulu suka menari, karena itulah dia diambil secara paksa, hanya karena dia suka menari. Tabah ya cah bagus, tabah.”
Kupandangi wajah perempuan tua yang luar biasa itu. Ia terlihat seperti sedang mengenangkan sesuatu di masa yang telah lewat.
“Ibuku, mengapa dia meninggal mbah?”
“Entahlah. Tak ada yang tahu pasti. Sehari setelah ia menitipkan engkau kepadaku, ia ditemukan tewas di pasar, dadanya berlubang diterjang peluru panas. Mungkin karena dia terlalu ngotot mencari tahu keberadaan mas Jonter.”
Di ujung senja, aku melihat sebentuk wajah cantik berkulit halus dengan mata sipit tersenyum manis kepadaku. Lama kami saling berpandangan, kemudian dia melambaikan tangan dan menghilang di keremangan senja. Aku yakin dia ibuku, dia sedang menabur benih-benih cinta diantara cahaya senja.
Buru-buru aku berlari ke makam ibu, menaburkan kembang tujuh rupa, tujuh warna, tujuh aroma. Inilah aku ibu, inilah aku, Janoko, anakmu yang tak pernah melihat wajahmu dan tak sempat meminum air susumu, inilah aku ibu. Aku mencintaimu.
Mbah kromo benar, bapakku adalah keentahan. Aku adalah anak jaman.
Kamis, 26 Februari 2009
Entah
2/26/2009 09:01:00 PM
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar