Perusahaan minyak raksasa di beberapa Negara di dunia telah menjadikan 3,5 miliar rakyat di Negara pemilik sumberdaya mineral tersebut justru melarat. Negara maju hanya menginginkan Negara berkembang membuka pasar bagi produk-produk mereka, sementara di sisi lain mereka menutup pasar mereka dari komoditas andalan Negara-negara berkembang.”
Dalam pertemuan World Trade Organisation (WTO) tahun 2003 di Cancun, Mexico, Negara-negara maju bersikeras untuk mempertahankan politik proteksionismenya. Bersamaan dengan itu, mereka menuntut supaya Negara-negara dunia ketiga membuka lebar-lebar pasar dalam negeri bagi produksi pangan negeri-negeri imperialis yang berlebihan, dengan harga lebih murah dari pada produksi dalam negeri. Tentu saja hal itu telah menghancurkan kehidupan kaum tani di negeri-negeri berkembang.
Beberapa bulan yang lalu, saya terkejut membaca status salah seorang teman kuliah dulu di facebook, dia menulis seperti ini, “Baru tahu saya, ternyata laut Indonesia sudah tidak asin lagi, pemerintah telah mengimpor garam senilai 900 Miliar Rupiah.” Sepintas lalu, tulisan itu terkesan ringan dan agak berolok-olok tapi sesungguhnya bisa menjadi masalah yang sangat serius dan berdampak buruk bagi kehidupan nasional. Kita perlu tahu bahwa pabrik gula di dalam negeri telah ambruk oleh kebijakan pemerintah yang mengimpor gula dari Thailand, petani tebu dalam negeri gulung tikar. Tindakan mengimpor produk yang sebenarnya diproduksi oleh produsen dalam negeri bukanlah tindakan yang bijaksana, karena tindakan tersebut berakibat pada menumpuknya kapital di luar negeri, bila kapital menumpuk, maka akan diupayakan peningkatan jumlah produksi. Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan jumlah produksi, yang pertama adalah menambah jam kerja dan menaikkan gaji karyawan, dan yang kedua adalah ekspansi atau perluasan perusahaan yang artinya membuka kesempatan kerja terhadap tenaga kerja usia produktif yang masih menganggur. Kenaikan upah bagi para karyawan dan penambahan insentif dari penambahan jam kerja (lembur) serta terbukanya kesempatan kerja akan membawa sebuah konsekuensi logis, yaitu naiknya tingkat kemakmuran. Dampak dari naiknya tingkat kemakmuran itu adalah meningkatnya daya beli rakyat, bila daya beli rakyat naik, maka beban Negara berupa subsidi untuk beberapa komoditi dapat diminimalisir. Ibarat pedang bermata dua. Tindakan mengimpor barang yang sesungguhnya diproduksi oleh produsen dalam negeri akan berdampak positif bagi Negara pengekspor dan di sisi lain berdampak buruk terhadap produsen dalam negeri dan mempersempit kesempatan kerja terhadap tenaga kerja usia produktif di dalam negeri, sehingga tidak heran bila arus tenaga kerja Indonesia untuk mengais rejeki di negeri orang terus mengalir dan bertambah dari tahun ke tahun.
Regulasi dan mekanisme pasar dunia yang diatur oleh lembaga-lembaga imperialis internasional di jaman modern ini sama saja polanya seperti di jaman kolonial. Dimasa pendudukan Belanda, sebagian besar Pulau Jawa disulap menjadi ladang tebu raksasa yang luar biasa luasnya. Rakyat dipaksa menyewakan tanah mereka kepada pihak perkebunan (VOC) dan mereka didaulat menjadi buruh di atas tanah milik mereka sendiri. Ada sebuah system yang memaksa rakyat untuk tunduk terhadap kemauan pemerintah colonial. Rakyat yang membangkang, tidak mau menyewakan tanahnya kepada pihak perkebunan akan mendapat tekanan dari penguasa local. Rakyat yang membangkang akan dikenai pajak (upeti) yang tinggi, melebihi hasil panennya. Bila si petani sudah tidak sanggup lagi membayarkan upeti maka lahan pertaniannya akan diambil secara paksa, atau dipaksa menandatangani perjanjian kontrak dengan pihak perkebunan. Pabrik-pabrik gula di pulau jawa tersebut menghasilkan keuntungan jutaan Gulden bagi Negara Belanda. Dari dulu hingga sekarang, Negara-negara maju menempatkan Negara-negara dunia ketiga sebagai basis untuk mendapatkan sumber bahan mentah dan tenaga kerja yang murah serta sebagai basis pasar yang cukup potensial untuk memasarkan produk-produk mereka.
Negara-negara maju terus saja menyalurkan bantuan ekonomi kepada Negara-negara berkembang, akan tetapi, rakyat di Negara-negara dunia ketiga tidak akan bias mengembangkan ekonomi nasional mereka dengan menerima segala bentuk bantuan ekonomi tersebut, karena bantuan yang disalurkan melalui lembaga-lembaga imperialis seperti World Bank, International Monetery Fund, dan lain sebagainya, hakekatnya hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengembalikan hutang dan bunganya, yang sebetulnya sampai kapanpun tidak akan pernah bias terlunasi.
Pinjaman atau bantuan itu hanya ditujukan untuk membangun jalan, membangun jembatan, membangun hotel-hotel untuk pariwisata, membangun gedung-gedung megah, artinya bukan untuk proyek-proyek produktif dan mempunyai andil terhadap kemajuan dan perkembvangan ekonomi nasional. Di samping itu, bantuan tidak akan pernah diberikan tanpa syarat atau ikatan baik ikatan politik maupun ekonomi yang pada hakekatnya selalu menguntungkan Negara-negara imperialis. Singkatnya, dibalik pemberian bantuan ekonomi tersebut, selalu terselip pesan ideology dari lembaga pemberi bantuan tersebut. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan menggunakan uangnya untuk mendidik calon-calon pemikir dan pengkritik politik ekonomi dan kebijakan moneter maupun fiskal yang sedang dan akan diparktikkan oleh World Bank, International Monetery Fund (IMF), World Trade Organisation (WTO).
2010 sudah tinggal hitungan bulan saja. Bila saat itu tiba, siap tidak siap kita harus menyambut kedatangan era perdagangan bebas. Saat itu pajak ataupun bea masuk barang-barang impor adalah 0%. Artinya semua barang-barang impor yang selama ini dikenakan bea masuk sebesar 20% akan dibebaskan dari kutipan apapun. Pada era perdagangan bebas itu nanti, pemerintah tidak akan dapat melakukan apapun untuk memproteksi produsen dalam negeri yang selama ini dilakukan dengan pembatasan quota barang-barang import dan mengenakan bea masuk sebesar 20%. Mungkinkah Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang akan mengubahnya menjadi macan industru baru dan memberinya satu taraf hidup setara dengan rakyat di Eropa Barat sana melalui jalan kapitalisme? Satu pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin saya jawab karena jawaban pastinya adalah tidak.
Satu-satunya jalan yang memungkinkan Negara-negara dunia ketiga lepas dari jeratan kaum imperialis adalah meningkatkan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Rayat di Negara-negara berkembang harus belajar untuk memproduksi segala macam kebutuhan, termasuk yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Saya pernah berandai-andai, apa yang akan terjadi bila rakyat dan pemerintah hanya membeli produksi dalam negeri dan hanya membeli produk impor yang produk sejenisnya tidak dihasilkan oleh produsen dalam negeri. Berapa juta tenaga kerja usia produktif yang dapat dipekerjakan, sehingga arus pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Negara lain bisa diminimalisir. Sudah begitu hambarkah air laut Indonesia sehingga pemerintah merasa perlu untuk mengimpor garam senilai 900 miliar Rupiah? Sudah begitu rendahnyakah kandungan Vitamin C jeruk Indonesia sehingga orang-orang merasa perlu untuk membeli jeruk hongkong? Sudah begitu busuknyakah apel batu, Malang sehingga kita terus saja membeli Red Delicious?
Menurut saya, hal yang paling mendasar yang harus dilakukan untuk keluar dari segala krisis yang disebabkan oleh lembaga dan Negara-negara imperialis tersebut adalah reindoktrinasi wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan sekilas pandang hampir sama dengan wawasan Nusantara, tapi pada dasarnya sangat berbeda. Wawasan Nusantara ciptaan rejim Militeris-fasis Soeharto menitik beratkan tujuannya kepada keutuhan wilayah. Cara apapun akan ditempuh, termasuk jalan kekerasan seperti yang dipraktikkan pada tahun 1965-1998 untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia, sementara wawasan kebangsaan lebih menitikberatkan tujuannya pada kesatuan ide, kesatuan tujuan, kesatuan tekad, kesatuan rasa bahwa kita adalah satu, Indonesia. Wawasan kebangsaan bergerak untuk memperbaharui mental dan menciptakan manusia-manusia patriot yang mau melakukan apapun demi kemajuan Negara. Inilah masalah terbesar negeri ini. Praktik kapitalisme dan serangan pasar yang gila-gilaan telah membuat rakyat Indonesia cenderung bersifat konsumeris, individualis dan apatis.
Melalui konsep wawasan kebangsaan tersebut, maka rakyat Indonesia akan kembali tumbuh kecintaanya terhadap segala hal yang berbau keindonesiaan. Bila sudah tumbuh kecintaan terhadap segala hal yang berbau keindonesiaan kita akan mempercepat produksi dalam negeri dan berusaha untuk memproduksi sendiri segala macam kebutuhan hidup dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap produk impor yang nyata-nyata telah membunuh produksi dalam negeri dan menutup rapat-rapat kesempatan kerja bagi tenaga kerja usia produktif. Jadi, kalau ada semacam anggapan bahwa kecintaan terhadap Negara tidak akan berdampak apa-apa terhadap produksi dalam negeri dan tidak mempunyai andil dalam peningkatan tingkat pendapatan rakyat, maka inilah antitesis dari anggapan yang tersebut itu.
Tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga telah memanggil saya untuk kembali ke dunia kerja. Seorang klien datang dengan konsep-konsep advertisingnya meminta saya untuk membuatkan desain brosur dan pamphlet. Maaf, saya harus mengakhiri tulisan yang masih kurang sempurna ini. Salam.
Jumat, 01 Januari 2010
Membangun Kekuatan Ekonomi Melalui Konsep Wawasan Kebangsaan
1/01/2010 06:20:00 AM
2 comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
reh dahin e mis tadingken tulisen ari hahahaha
BalasHapusise ka kin e?
BalasHapus