Kelahiran seorang pemimpin secara kultural sangat dipengaruhi oleh situasi jaman. Sejarah revolusi Perancis yang meletus pada pertengahan abad-18 merupakan peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan. Kekuasaan raja yang tidak terbatas , tanpa sistem kontrol serta berpusat pada satu tangan telah mengakibatkan penderitaan yang gila-gilaan di tingkat massa rakyat. Kemiskinan dan kemelaratan yang menjamur diseluruh negeri tersebut akhirnya menimbulkan perlawanan yang semakin lama semakin resistant di tingkat massa rakyat. Perlawanan rakyat tersebut akhirnya mampu menyeret sang penguasa ke tiang penggantungan. Peristiwa yang sangat terkenal itu merupakan cikal bakal permunculan sistem demokrasi yang dipelopori oleh Robespiere. Revolusi tersebut mampu menumbangkan sistem pemerintahan yang bersifat Absolute Monarchy dan menggantinya dengan konsep baru sehingga berdirilah Negara Perancis yang berbentuk Republik.
Revolusi Perancis mampu memunculkan sebuah sistem pemerintahan baru yang dibelakangan hari kita sebut sebagai demokrasi. Coba kita komparasikan dengan peristiwa 1998. Mengapa Reformasi 1998 tidak menghasilkan apa-apa? Ada sebuah kesalahan fatal yang terjadi di sini. Reformasi 1998 sama sekali tidak menghasilkan apa-apa karena peristiwa reformasi 1998 gagal melahirkan pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia karena suksesi yang tidak sempurna. Benar bahwa Reformasi 1998 mampu menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan, akan tetapi tahta itu kemudian diwarisi oleh B.J Habibie murid sekaligus pengikut Soeharto yang paling loyal, dan kesalahan terbesar justru terletak pada diri pelaku Reformasi itu sendiri. Pelaku reformasi 1998 tidak memiliki konsep atau gagasan yang jelas, yang dapat memberikan solusi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Platform reformasi yang diusung tidak jelas, tidak ada sistem yang ditawarkan, larut dalam euphoria atas lengsernya presiden Soeharto. Menjadi wajar kalau kemudian peristiwa reformasi 1998 tidak mampu menghasilkan seorang pemimpin yang memiliki otoritas yang menjadi panutan bangsa ini. Peristiwa Reformasi 1998 hanya menghasilkan pemimpin gadungan, advonturir dan oportunis yang pintar memanfaatkan celah untuk mencari popularitas.
Pemilihan Umum (singakatan ORde BAru: PEMILU) 2004 adalah sebuah pijakan awal bagi kebangkitan negeri ini. Untuk pertama kalinya massa rakyat diberikan kesempatan untuk memilih presidennya sendiri. Susilo Bambang Yudhoyono (karena budaya singkat menyingkat ORde BAru belum bisa dihilangkan maka kemudian disingkat menjadi SBY) Akhirnya marak menjadi Presiden Republik tercinta ini. Apakah kemudian Presiden SBY berhasil menjadi seorang pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara langsung. Tapi, marilah kita sejenak berputar-putar untuk menemukan jawabannya. Dulu, di jaman ORde BAru, Golkar (yang saat itu tidak mau disebut sebagai partai) selalu berhasil memenangkan PEMILU (Singkatan ciptaan ORde BAru) dan menduduki sebagian besar kursi DPR-MPR selalu berhasil mendudukkan Soeharto menjadi Presiden, sehingga menjadi sebuah rahasia umum bahwa partai politik yang memenangkan pemilu secara otomatis akan mendudukkan calonnya di singgasana kepresidenan. Tiga puluh dua tahun kondisi ini berjalan dengan mulus sehingga pada Pemilu 1999 massa rakyat di tingkat bawah begitu shock dengan apa yang terjadi. PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri keluar sebagai pengumpul suara terbanyak tetapi tidak berhasil secara otomatis mendudukkan Megawati sebagai Presiden. Loby-loby politik di tingkatan elit, koalisi dari beberapa partai akhirnya mengangkat Abdurahman Wahid (Gus Dur) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi Presiden Ke-3 Republik ini. Betapa Shock massa Megawati menerima kenyataan baru ini karena menurut kacamata mereka bahwa partai pemenang pemilu secara otomatis akan duduk menjadi presiden seperti yang terjadi selama 32 tahun ini. Kenyataan tersebut sedikit mengikis kepercayaan massa rakyat terhadap lembaga pemilu.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, untuk pertama kalinya rakyat memilih sendiri presidennya. Kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu kembali pulih. Terbertik sebuhah harapan, semoga kali ini pemilu mampu melahirkan seorang pemimpin yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Massa rakyat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara dengan sebuah harapan besar menggantung di dadanya. Kembali loby-loby di tingkatan elit bermain dan koalisi antara beberapa partai mengotori lajunya roda demokrasi, mencederai kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu. Ketidak percayaan rakyat terhadap lembaga pemilu menjadi lebih parah dari sebelumnya. Massa rakyat menjadi apatis, karena logika massa di tingkat akar rumput, apa yang mereka pilih adalah yang terbaik buat mereka, dan suara yang mereka berikan bersifat tidak tergantikan dan tidak terwakilkan. Belakangan hari, setelah pemungutan suara selesai barulah mereka sadar, bahwa suara yang mereka berikan bisa dipindah tangankan dan diputarbalikkan seenaknya oleh pemain politik di tingkat elit melalui loby-loby dan koalisi beberapa partai.
Kepercayaan massa di tingkat akar rumput semakin tercederai oleh sistem dan mekanisme pemungutan suara itu sendiri karena sistem dan mekanisme pemungutan suara diatur oleh penguasa yang sedang berkuasa, sehingga segala regulasi maupun peraturan yang dikeluarkan sedikit banyaknya menguntungkan mereka karena mereka dapat menyingkirkan lawan-lawan politik yang berpotensi menganggu gugat kelanggengan kekuasaan mereka. Dalam bahasa sederhananya, mereka berhak membuat peraturan ataupun kriteria-kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah partai politik agar mereka layak mengikuti pemilu. Itulah sebabnya setiap kali pemilu akan muncul aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan baru. Tidak bisakah kalau misalnya dirancang sebuah perundang-undangan yang fix (tetap) tak berubah-ubah dan tidak bisa dibelokkan dengan semena-mena oleh penguasa?
Pencederaan atas kepercayaan rakyat yang dilakukan oleh para elit politik melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai (yang jelas-jelas ideologinya berbeda), peraturan dan sistem pemilu yang dirancang oleh penguasa yang sedang berkuasa yang sedikit banyak menguntungkan mereka dan di sisi lain berperan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik mereka yang berpotensi untuk mengganggu kelangsungan kekuasaan mereka. Semua kenyataan tersebut membuat massa rakyat menjadi semakin apatis dengan lembaga pemilu, berkembang sebuah pemikiran di tingkat massa akar rumput bahwa, suara yang mereka berikan tidak mempunyai arti apa-apa dan perubahan yang mereka harapkan melalui pemilu hanyalah dongengan belaka. Sistem dan mekanisme pemungutan suara hanyalah formalitas belaka (kalau tidak bisa dikatakan justifikasi kekuasaan belaka), Public Election (pemilihan umum) hanyalah sebuah pesta yang berbiaya milyaran rupiah. Sementara para pelakunya tidak pernah memikirkan apapun untuk rakyat (kalau berpikir saja sudah tidak, mana mungkin melakukan sesuatu untuk rakyat). Sebagian lagi mulai bermain kritis-kritisan, kalau memang para pelaku pemilu tersebut benar-benar berpihak kepada rakyat, ke mana saja mereka selama ini? Di mana mereka ketika rakyat berkeluh kesah tentang biaya hidup yang mahal, tentang rumah sakit yang menolak pasien miskin untuk berobat, ketika mereka berkeluh kesah tentang mahalnya biaya pendidikan di sebuah Negeri yang bernama Indonesia ini. Sekarang tiba-tiba saja mereka muncul dengan janji membela kepentingan rakyat, memperjuangkan nasib rakyat, berpihak terhadap rakyat. Kemana saja mereka selama ini? Ada sebagian yang lebih kritis lagi. Golongan ini mulai bertanya, kalau memang para pelaku pemilu tersebut memang berpihak kepada rakyat, kami mau bertanya rakyat yang mana yang mereka bela? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menggusur pedagang kaki lima demi keindahan kota, padahal pedagang kaki lima tersebut menjadi pedagang kaki lima karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan kepada mereka. Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya membakar kios-kios pedagang di pasar-pasar tradisional karena pusat-pusat perbelanjaan modern (Plaza, mall, supermarket) membayar pajak untuk setiap potong produk yang mereka jual sedangkan pedagang tradisional hanya membayar restribusi? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menebangi hutan Negara tidak saja untuk dijual kayunya, tetapi kemudian menjual tanahnya kepada pihak swasta/asing untuk kemudian dijadikan lapangan golf dan hotel berbintang?
Praktik-praktik pencederaan terhadap demokrasi dan kepercayaan rakyat yang dijalankan oleh para pemain politik di tingkat elit selama ini telah membuat massa di tingkat akar rumput menjadi apatis dan alergi dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan politik, sehingga sebagian besar dari mereka datang ke bilik pemungutan suara hanya karena mereka diupah, artinya mereka mau memberikan suaranya hanya karena mereka telah menerima imbalan berupa uang, pakaian, dan makanan oleh salah satu partai politik tertentu dan atau calon anggota legislatif. Mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang mempertaruhkan masa depan mereka, tidak hanya untuk lima tahun ke depan, mereka sangat sadar dengan kondisi tersebut. Tetapi mereka sudah terlanjur apatis,. Toh lembaga pemilihan umum tidak pernah berhasil menghasilkan seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Transparansi dan keabsahan (legalitas) hasil pemilu hanyalah sebuah data-data statistik belaka, bukan hasil yang sebenarnya, karena hasil yang sebenarnya telah tercederai oleh praktik loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai yang menurut lembaga pemilu dan para pelakunya adalah sebuah kewajaran.
Apakah loby-loby politik di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai politik tersebut adalah sebuah hal yang wajar? Mari kita kupas hal ini lebih dalam lagi, saya tidak berhak mengatakan ‘tidak’ atau ‘ya’. Biarlah kita yang menjawabnya bersama-sama. Negara Ini bernama Republik Indonesia (RI). Artinya, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, lembaga tertinggi Negara dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanyalah sebagai mandataris (pemegang mandat) belaka. Segala kebijakan politik eksekutif (eksekusi, pembuat keputusan, presiden) sebelum diundangkan terlebih dahulu harus disampaikan oleh legislatif kepada rakyat yang mereka wakili, baru setelah mendapat persetujuan dari sebagian besar rakyat kebijakan (policy) tersebut di legalisir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk kemudian diundangkan oleh eksekutif. Apakah selama ini massa rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan? Tidak. Alasannya karena suara rakyat sudah terwakili oleh suara dewan legislatif sebagai perpanjangan lidah rakyat. Hingga kemudian logika tersebut dibawa ke tingkat pemilihan umum, loby-loby politik dan koalisi antara beberapa partai yang kemudian mereka anggap sebagai sebuah kewajaran itu terus-menerus dipraktikkan sampai pada tingkat yang paling parah. Suara rakyat yang seharusnya tidak bisa dipindahtangankan, tidak tergantikan, dan tidak dapat diwakilkan tersebut diperkosa sedemikian rupa demi menggoalkan seorang calon presiden menjadi presiden. Tidak pernah elit-elit politik bertanya terlebih dahulu kepada massa pemilihnya apakah mereka setuju bila suara yang mereka berikan dialihkan pada seorang calon presiden atau tidak. Massa pemilih dikondisikan hanya sebuah obyek yang tidak mengetahui apa-apa, massa pemilih hanya dianggap sebagai sapi perahan penghasil suara yang dapat mereka beli setiap lima tahun sekali.
Dalam hal ini, menurut apa yang telah dipaparkan di atas, sesungguhnya partai politik dan anggota legislatif yang duduk di gedung dewan sama sekali tidak berhak memindahtangankan suara yang telah diberikan oleh massa rakyat dengan alasan apapun juga. Bila kita sudah sampai pada tahap ini, maka kelahiran seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia melalui lembaga pemilu niscaya akan menjadi kenyataan. Bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran bahwa suara yang diberikan oleh massa rakyat melalui Pemilu tidak dapat dipindahtangankan, tidak terwakilkan dan tidak tergantikan melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai, bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran yang memposisikan massa pemilih sebagai subyek penggerak dan penentu arah demokrasi, bukan sekedar sapi perahan penghasil suara lima tahunan , niscaya akan lahir seorang pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia yang bekerja untuk dan di dalam pengawasan rakyat sehingga fungsi kontrol legislatif benar-benar berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Tulisan ini dibuat tidak untuk mengajak massa rakyat untuk memboikot pemilu, bukan pula untuk mengajak bergolput ria. Tulisan ini dibuat untuk mengajak kita sama-sama berpikir demi kemajuan negeri kita tercinta ini. Menarik untuk dicermati, ke arah mana roda demokrasi menggelinding di pemilihan umum 2009 ini, apakah ke arah perbaikan atau kemunduran. Tapi apapun nanti hasilnya, ke manapun roda demokrasi menggelinding tak perlu pesimis. Toh semua kesalahan itu nantinya bila dievaluasi akan membawa kita selangkah lebih dekat ke arah perubahan. Semoga pemilu 2009 ini bisa menjadi pijakan awal terciptanya kultur berpolitik yang baru, yang lebih sehat, terarah, tepat sasaran dan murni, yang benar-benar mencerminkan kehendak massa rakyat di tingkat akar rumput, bukan mencerminkan kehendak para elit politik di tingkat atas.
Senin, 16 Maret 2009
Catatan Seputar Pemilu
3/16/2009 09:40:00 PM
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar