Di bagian pertama dari tulisan ini telah dipaparkan secara garis besar tentang Pemilu yang ternyata belum dapat menjadi sebuah pijakan awal bagi terbangunnya sebuah kondisi kultural munculnya seorang pemimpin yang benar-benar disetujui oleh mayoritas rakyat. di bagian ini akan kita kupas lebih dalam tentang mengapa pemilu selama ini gagal menghasilkan pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Dijaman ORde BAru, wacana soal calon presiden selalu sepi dari pemberitaan karena hampir selalu hanya ada calon tunggal. Memang, sempat beberapa kali ada pahlawan kesiangan yang sok aksi, demi gagah-gagahan atau demi legalitas kekuasaan Soeharto ada yang mencalonkan diri menjadi presiden. Boleh jadi para calon yang mencalonkan diri sebagai presiden tersebut memang berniat serius untuk bertarung dengan Soeharto, tapi di tingkat massa rakyat pencalonan itu hanyalah rekayasa penguasa belaka, karena selalu saja Soeharto yang memenangkan pertarungan tersebut. Pencalonan beberapa orang seperti yang telah ditulis di atas hanyalah sebagai topeng bagi penguasa agar pemilihan presiden yang dilakukan di tingkat DPR-MPR terkesan murni dan dilaksanakan berdasarkan asas Demokrasi. Pada masa ORde BAru, pemilihan Presiden dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan yang terhormat, kita tahu, mayoritas anggota legislatif adalah orang Golkar, hanya segelintir yang berasal dari PDI dan PPP itupun belum dihitung anggota dewan dari PDI dan PPP yang membelot atau seide dengan anggota dewan mayoritas. Rakyat tidak pernah tahu bagaimana mekanisme pemilihan Presiden tersebut dijalankan oleh dewan legislatif. Apakah mekanisme pemilihannya secara aklamasi, voting, musyawarah atau mekanisme yang lain. bila mekanisme pemilihan yang dijalankan adalah mekanisme voting, apakah kemudian prinsip mekanisme voting tersebut one parti one vote atau one man one vote? bila yang dipilih adalah prinsip one man one vote maka menjadi wajar kalau kemudian Soeharto selalu berhasil memenangkan pemilihan presiden di tingkat DPR-MPR. Rakyat tidak pernah tahu mekanisme apa yang diambil dalam menentukan keputusan yang sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya adalah, sekian lama kehendak rakyat diingkari oleh para wakil yang mereka pilih sendiri dan mereka percayai sebagai corong untuk menyuarakan kehendak mereka.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, rakyat tidak hanya memilih para wakil yang akan duduk di gedung dewan, tapi untuk pertama kali mereka juga harus memilih Presiden dan Wakil Presiden mereka sendiri. Banyak yang berharap bahwa roda demokrasi sedang menggelinding ke arah yang lebih baik. memang benar dan harus kita akui bahwa praktik demokrasi setingkat lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. tapi kita juga harus mengakui bahwa praktik demokrasi yang sedang kita jalankan ini belumlah sempurna. Hampir setiap kali pemilu para petinggi partai sibuk kesana-kemari, konsolidasi kiri-kanan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain baik yang segaris, seide, sealiran (satu ideologi) maupun yang berlainan sama sekali ideologinya. Kalau memang harus berkoalisi untuk menggalang kekuatan yang lebih besar, kenapa tidak digabungkan saja partainya? Mengapa harus ada demikian banyak partai? itu kan pemborosan namanya, pemborosan anggaran pemilu karena begitu banyak partai sehingga ukuran kertas suara pun menjadi boros, gambar-gambar partia politik, itu kan banyak makan tinta cetak, belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk menyelenggarakan pemilu (dengar-dengar anggaran untuk pemilu 2009 memakan dana 7,2 T) 7,2 T itu tujuh ribu dua ratus milyard rupiah. Kalau mau tahu angka jutanya kalikan saja angka tujuh ribu dua ratus itu dengan angka seribu (wah, uang sebanyak itu kalau buat beli kerupuk dapat berapa kapal ya). Bayangkan bila semua partai yang berkoalisi tersebut digabung menjadi satu partai saja, mungkin dalam pemilu depan kita hanya akan memiliki tujuh sampai sepuluh partai politik saja.
Praktik koalisi antara beberapa partai belumlah begitu parah, meskipun jelas-jelas negara harus mengeluarkan uang lebih banyak akibat begitu banyaknya partai politik padahal toh harus berkoalisi juga, yang paling gawat adalah praktik loby yang dijalankan oleh para elit di tingkat atas. mereka seakan-akan berhak untuk memindahtangankan suara yang diberikan oleh massa pemilih, padahal prinsipnya kan seharusnya suara yang diberikan oleh pemilih itu bersifat tetap, tak tergantikan, tak terwakilkan dan tidak bisa dipindah tangankan. tidak perlu koalisi-koalisian, tidak perlu loby-loby an. Berapapun Jumlah suara yang didapat oleh seorang calon presiden, bila itu suara terbanyak dialah yang akan duduk sebagai presiden. Dengan begitu legalitas, keabsahan dan kemurnian hasil pemilu benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya sekedar data-data statistik belaka. Rakyat harus tahu mekanisme yang jelas tentang pemilihan presiden, quota suara, Koalisi beberapa partai dan pengalihan suara, loby-loby di tingkat elit hanya membingungkan rakyat belaka. Biarlah semua berjalan apa adanya, tanpa rekayasa, maka apa yang kita harapkan melalui pemilu akan segera tercapai dan bila ada kegagalan nantinya, maka kegagalan tersebut adalah kegagalan kita bersama dan harus kita pertanggungjawabkan secara bersama-sama pula. Dengan begitu pencederaan atas kepercayaan rakyat pada lembaga pemilu yang dilakukan oleh para elit politik tidak akan pernah terjadi lagi.
0 komentar:
Posting Komentar