Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 19 Maret 2009

Di bagian pertama dari tulisan ini telah dipaparkan secara garis besar tentang Pemilu yang ternyata belum dapat menjadi sebuah pijakan awal bagi terbangunnya sebuah kondisi kultural munculnya seorang pemimpin yang benar-benar disetujui oleh mayoritas rakyat. di bagian ini akan kita kupas lebih dalam tentang mengapa pemilu selama ini gagal menghasilkan pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Dijaman ORde BAru, wacana soal calon presiden selalu sepi dari pemberitaan karena hampir selalu hanya ada calon tunggal. Memang, sempat beberapa kali ada pahlawan kesiangan yang sok aksi, demi gagah-gagahan atau demi legalitas kekuasaan Soeharto ada yang mencalonkan diri menjadi presiden. Boleh jadi para calon yang mencalonkan diri sebagai presiden tersebut memang berniat serius untuk bertarung dengan Soeharto, tapi di tingkat massa rakyat pencalonan itu hanyalah rekayasa penguasa belaka, karena selalu saja Soeharto yang memenangkan pertarungan tersebut. Pencalonan beberapa orang seperti yang telah ditulis di atas hanyalah sebagai topeng bagi penguasa agar pemilihan presiden yang dilakukan di tingkat DPR-MPR terkesan murni dan dilaksanakan berdasarkan asas Demokrasi. Pada masa ORde BAru, pemilihan Presiden dilakukan oleh para wakil rakyat yang duduk di gedung dewan yang terhormat, kita tahu, mayoritas anggota legislatif adalah orang Golkar, hanya segelintir yang berasal dari PDI dan PPP itupun belum dihitung anggota dewan dari PDI dan PPP yang membelot atau seide dengan anggota dewan mayoritas. Rakyat tidak pernah tahu bagaimana mekanisme pemilihan Presiden tersebut dijalankan oleh dewan legislatif. Apakah mekanisme pemilihannya secara aklamasi, voting, musyawarah atau mekanisme yang lain. bila mekanisme pemilihan yang dijalankan adalah mekanisme voting, apakah kemudian prinsip mekanisme voting tersebut one parti one vote atau one man one vote? bila yang dipilih adalah prinsip one man one vote maka menjadi wajar kalau kemudian Soeharto selalu berhasil memenangkan pemilihan presiden di tingkat DPR-MPR. Rakyat tidak pernah tahu mekanisme apa yang diambil dalam menentukan keputusan yang sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya adalah, sekian lama kehendak rakyat diingkari oleh para wakil yang mereka pilih sendiri dan mereka percayai sebagai corong untuk menyuarakan kehendak mereka.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, rakyat tidak hanya memilih para wakil yang akan duduk di gedung dewan, tapi untuk pertama kali mereka juga harus memilih Presiden dan Wakil Presiden mereka sendiri. Banyak yang berharap bahwa roda demokrasi sedang menggelinding ke arah yang lebih baik. memang benar dan harus kita akui bahwa praktik demokrasi setingkat lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya. tapi kita juga harus mengakui bahwa praktik demokrasi yang sedang kita jalankan ini belumlah sempurna. Hampir setiap kali pemilu para petinggi partai sibuk kesana-kemari, konsolidasi kiri-kanan untuk berkoalisi dengan partai-partai lain baik yang segaris, seide, sealiran (satu ideologi) maupun yang berlainan sama sekali ideologinya. Kalau memang harus berkoalisi untuk menggalang kekuatan yang lebih besar, kenapa tidak digabungkan saja partainya? Mengapa harus ada demikian banyak partai? itu kan pemborosan namanya, pemborosan anggaran pemilu karena begitu banyak partai sehingga ukuran kertas suara pun menjadi boros, gambar-gambar partia politik, itu kan banyak makan tinta cetak, belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan negara untuk menyelenggarakan pemilu (dengar-dengar anggaran untuk pemilu 2009 memakan dana 7,2 T) 7,2 T itu tujuh ribu dua ratus milyard rupiah. Kalau mau tahu angka jutanya kalikan saja angka tujuh ribu dua ratus itu dengan angka seribu (wah, uang sebanyak itu kalau buat beli kerupuk dapat berapa kapal ya). Bayangkan bila semua partai yang berkoalisi tersebut digabung menjadi satu partai saja, mungkin dalam pemilu depan kita hanya akan memiliki tujuh sampai sepuluh partai politik saja.
Praktik koalisi antara beberapa partai belumlah begitu parah, meskipun jelas-jelas negara harus mengeluarkan uang lebih banyak akibat begitu banyaknya partai politik padahal toh harus berkoalisi juga, yang paling gawat adalah praktik loby yang dijalankan oleh para elit di tingkat atas. mereka seakan-akan berhak untuk memindahtangankan suara yang diberikan oleh massa pemilih, padahal prinsipnya kan seharusnya suara yang diberikan oleh pemilih itu bersifat tetap, tak tergantikan, tak terwakilkan dan tidak bisa dipindah tangankan. tidak perlu koalisi-koalisian, tidak perlu loby-loby an. Berapapun Jumlah suara yang didapat oleh seorang calon presiden, bila itu suara terbanyak dialah yang akan duduk sebagai presiden. Dengan begitu legalitas, keabsahan dan kemurnian hasil pemilu benar-benar bisa dipertanggungjawabkan dan bukan hanya sekedar data-data statistik belaka. Rakyat harus tahu mekanisme yang jelas tentang pemilihan presiden, quota suara, Koalisi beberapa partai dan pengalihan suara, loby-loby di tingkat elit hanya membingungkan rakyat belaka. Biarlah semua berjalan apa adanya, tanpa rekayasa, maka apa yang kita harapkan melalui pemilu akan segera tercapai dan bila ada kegagalan nantinya, maka kegagalan tersebut adalah kegagalan kita bersama dan harus kita pertanggungjawabkan secara bersama-sama pula. Dengan begitu pencederaan atas kepercayaan rakyat pada lembaga pemilu yang dilakukan oleh para elit politik tidak akan pernah terjadi lagi.

Senin, 16 Maret 2009

Catatan Seputar Pemilu

Kelahiran seorang pemimpin secara kultural sangat dipengaruhi oleh situasi jaman. Sejarah revolusi Perancis yang meletus pada pertengahan abad-18 merupakan peristiwa sejarah yang tidak boleh dilupakan. Kekuasaan raja yang tidak terbatas , tanpa sistem kontrol serta berpusat pada satu tangan telah mengakibatkan penderitaan yang gila-gilaan di tingkat massa rakyat. Kemiskinan dan kemelaratan yang menjamur diseluruh negeri tersebut akhirnya menimbulkan perlawanan yang semakin lama semakin resistant di tingkat massa rakyat. Perlawanan rakyat tersebut akhirnya mampu menyeret sang penguasa ke tiang penggantungan. Peristiwa yang sangat terkenal itu merupakan cikal bakal permunculan sistem demokrasi yang dipelopori oleh Robespiere. Revolusi tersebut mampu menumbangkan sistem pemerintahan yang bersifat Absolute Monarchy dan menggantinya dengan konsep baru sehingga berdirilah Negara Perancis yang berbentuk Republik.
Revolusi Perancis mampu memunculkan sebuah sistem pemerintahan baru yang dibelakangan hari kita sebut sebagai demokrasi. Coba kita komparasikan dengan peristiwa 1998. Mengapa Reformasi 1998 tidak menghasilkan apa-apa? Ada sebuah kesalahan fatal yang terjadi di sini. Reformasi 1998 sama sekali tidak menghasilkan apa-apa karena peristiwa reformasi 1998 gagal melahirkan pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia karena suksesi yang tidak sempurna. Benar bahwa Reformasi 1998 mampu menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan, akan tetapi tahta itu kemudian diwarisi oleh B.J Habibie murid sekaligus pengikut Soeharto yang paling loyal, dan kesalahan terbesar justru terletak pada diri pelaku Reformasi itu sendiri. Pelaku reformasi 1998 tidak memiliki konsep atau gagasan yang jelas, yang dapat memberikan solusi politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Platform reformasi yang diusung tidak jelas, tidak ada sistem yang ditawarkan, larut dalam euphoria atas lengsernya presiden Soeharto. Menjadi wajar kalau kemudian peristiwa reformasi 1998 tidak mampu menghasilkan seorang pemimpin yang memiliki otoritas yang menjadi panutan bangsa ini. Peristiwa Reformasi 1998 hanya menghasilkan pemimpin gadungan, advonturir dan oportunis yang pintar memanfaatkan celah untuk mencari popularitas.
Pemilihan Umum (singakatan ORde BAru: PEMILU) 2004 adalah sebuah pijakan awal bagi kebangkitan negeri ini. Untuk pertama kalinya massa rakyat diberikan kesempatan untuk memilih presidennya sendiri. Susilo Bambang Yudhoyono (karena budaya singkat menyingkat ORde BAru belum bisa dihilangkan maka kemudian disingkat menjadi SBY) Akhirnya marak menjadi Presiden Republik tercinta ini. Apakah kemudian Presiden SBY berhasil menjadi seorang pemimpin yang disepakati oleh sebagian besar rakyat? Sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara langsung. Tapi, marilah kita sejenak berputar-putar untuk menemukan jawabannya. Dulu, di jaman ORde BAru, Golkar (yang saat itu tidak mau disebut sebagai partai) selalu berhasil memenangkan PEMILU (Singkatan ciptaan ORde BAru) dan menduduki sebagian besar kursi DPR-MPR selalu berhasil mendudukkan Soeharto menjadi Presiden, sehingga menjadi sebuah rahasia umum bahwa partai politik yang memenangkan pemilu secara otomatis akan mendudukkan calonnya di singgasana kepresidenan. Tiga puluh dua tahun kondisi ini berjalan dengan mulus sehingga pada Pemilu 1999 massa rakyat di tingkat bawah begitu shock dengan apa yang terjadi. PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri keluar sebagai pengumpul suara terbanyak tetapi tidak berhasil secara otomatis mendudukkan Megawati sebagai Presiden. Loby-loby politik di tingkatan elit, koalisi dari beberapa partai akhirnya mengangkat Abdurahman Wahid (Gus Dur) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi Presiden Ke-3 Republik ini. Betapa Shock massa Megawati menerima kenyataan baru ini karena menurut kacamata mereka bahwa partai pemenang pemilu secara otomatis akan duduk menjadi presiden seperti yang terjadi selama 32 tahun ini. Kenyataan tersebut sedikit mengikis kepercayaan massa rakyat terhadap lembaga pemilu.
Pemilihan umum 2004 pun tiba, untuk pertama kalinya rakyat memilih sendiri presidennya. Kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu kembali pulih. Terbertik sebuhah harapan, semoga kali ini pemilu mampu melahirkan seorang pemimpin yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Massa rakyat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara dengan sebuah harapan besar menggantung di dadanya. Kembali loby-loby di tingkatan elit bermain dan koalisi antara beberapa partai mengotori lajunya roda demokrasi, mencederai kepercayaan rakyat terhadap lembaga pemilu. Ketidak percayaan rakyat terhadap lembaga pemilu menjadi lebih parah dari sebelumnya. Massa rakyat menjadi apatis, karena logika massa di tingkat akar rumput, apa yang mereka pilih adalah yang terbaik buat mereka, dan suara yang mereka berikan bersifat tidak tergantikan dan tidak terwakilkan. Belakangan hari, setelah pemungutan suara selesai barulah mereka sadar, bahwa suara yang mereka berikan bisa dipindah tangankan dan diputarbalikkan seenaknya oleh pemain politik di tingkat elit melalui loby-loby dan koalisi beberapa partai.
Kepercayaan massa di tingkat akar rumput semakin tercederai oleh sistem dan mekanisme pemungutan suara itu sendiri karena sistem dan mekanisme pemungutan suara diatur oleh penguasa yang sedang berkuasa, sehingga segala regulasi maupun peraturan yang dikeluarkan sedikit banyaknya menguntungkan mereka karena mereka dapat menyingkirkan lawan-lawan politik yang berpotensi menganggu gugat kelanggengan kekuasaan mereka. Dalam bahasa sederhananya, mereka berhak membuat peraturan ataupun kriteria-kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sebuah partai politik agar mereka layak mengikuti pemilu. Itulah sebabnya setiap kali pemilu akan muncul aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan baru. Tidak bisakah kalau misalnya dirancang sebuah perundang-undangan yang fix (tetap) tak berubah-ubah dan tidak bisa dibelokkan dengan semena-mena oleh penguasa?
Pencederaan atas kepercayaan rakyat yang dilakukan oleh para elit politik melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai (yang jelas-jelas ideologinya berbeda), peraturan dan sistem pemilu yang dirancang oleh penguasa yang sedang berkuasa yang sedikit banyak menguntungkan mereka dan di sisi lain berperan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik mereka yang berpotensi untuk mengganggu kelangsungan kekuasaan mereka. Semua kenyataan tersebut membuat massa rakyat menjadi semakin apatis dengan lembaga pemilu, berkembang sebuah pemikiran di tingkat massa akar rumput bahwa, suara yang mereka berikan tidak mempunyai arti apa-apa dan perubahan yang mereka harapkan melalui pemilu hanyalah dongengan belaka. Sistem dan mekanisme pemungutan suara hanyalah formalitas belaka (kalau tidak bisa dikatakan justifikasi kekuasaan belaka), Public Election (pemilihan umum) hanyalah sebuah pesta yang berbiaya milyaran rupiah. Sementara para pelakunya tidak pernah memikirkan apapun untuk rakyat (kalau berpikir saja sudah tidak, mana mungkin melakukan sesuatu untuk rakyat). Sebagian lagi mulai bermain kritis-kritisan, kalau memang para pelaku pemilu tersebut benar-benar berpihak kepada rakyat, ke mana saja mereka selama ini? Di mana mereka ketika rakyat berkeluh kesah tentang biaya hidup yang mahal, tentang rumah sakit yang menolak pasien miskin untuk berobat, ketika mereka berkeluh kesah tentang mahalnya biaya pendidikan di sebuah Negeri yang bernama Indonesia ini. Sekarang tiba-tiba saja mereka muncul dengan janji membela kepentingan rakyat, memperjuangkan nasib rakyat, berpihak terhadap rakyat. Kemana saja mereka selama ini? Ada sebagian yang lebih kritis lagi. Golongan ini mulai bertanya, kalau memang para pelaku pemilu tersebut memang berpihak kepada rakyat, kami mau bertanya rakyat yang mana yang mereka bela? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menggusur pedagang kaki lima demi keindahan kota, padahal pedagang kaki lima tersebut menjadi pedagang kaki lima karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan kepada mereka. Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya membakar kios-kios pedagang di pasar-pasar tradisional karena pusat-pusat perbelanjaan modern (Plaza, mall, supermarket) membayar pajak untuk setiap potong produk yang mereka jual sedangkan pedagang tradisional hanya membayar restribusi? Apakah mereka akan berpihak kepada rakyat yang dengan seenaknya menebangi hutan Negara tidak saja untuk dijual kayunya, tetapi kemudian menjual tanahnya kepada pihak swasta/asing untuk kemudian dijadikan lapangan golf dan hotel berbintang?
Praktik-praktik pencederaan terhadap demokrasi dan kepercayaan rakyat yang dijalankan oleh para pemain politik di tingkat elit selama ini telah membuat massa di tingkat akar rumput menjadi apatis dan alergi dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan politik, sehingga sebagian besar dari mereka datang ke bilik pemungutan suara hanya karena mereka diupah, artinya mereka mau memberikan suaranya hanya karena mereka telah menerima imbalan berupa uang, pakaian, dan makanan oleh salah satu partai politik tertentu dan atau calon anggota legislatif. Mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka sedang mempertaruhkan masa depan mereka, tidak hanya untuk lima tahun ke depan, mereka sangat sadar dengan kondisi tersebut. Tetapi mereka sudah terlanjur apatis,. Toh lembaga pemilihan umum tidak pernah berhasil menghasilkan seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Transparansi dan keabsahan (legalitas) hasil pemilu hanyalah sebuah data-data statistik belaka, bukan hasil yang sebenarnya, karena hasil yang sebenarnya telah tercederai oleh praktik loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai yang menurut lembaga pemilu dan para pelakunya adalah sebuah kewajaran.
Apakah loby-loby politik di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai politik tersebut adalah sebuah hal yang wajar? Mari kita kupas hal ini lebih dalam lagi, saya tidak berhak mengatakan ‘tidak’ atau ‘ya’. Biarlah kita yang menjawabnya bersama-sama. Negara Ini bernama Republik Indonesia (RI). Artinya, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, lembaga tertinggi Negara dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanyalah sebagai mandataris (pemegang mandat) belaka. Segala kebijakan politik eksekutif (eksekusi, pembuat keputusan, presiden) sebelum diundangkan terlebih dahulu harus disampaikan oleh legislatif kepada rakyat yang mereka wakili, baru setelah mendapat persetujuan dari sebagian besar rakyat kebijakan (policy) tersebut di legalisir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk kemudian diundangkan oleh eksekutif. Apakah selama ini massa rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan? Tidak. Alasannya karena suara rakyat sudah terwakili oleh suara dewan legislatif sebagai perpanjangan lidah rakyat. Hingga kemudian logika tersebut dibawa ke tingkat pemilihan umum, loby-loby politik dan koalisi antara beberapa partai yang kemudian mereka anggap sebagai sebuah kewajaran itu terus-menerus dipraktikkan sampai pada tingkat yang paling parah. Suara rakyat yang seharusnya tidak bisa dipindahtangankan, tidak tergantikan, dan tidak dapat diwakilkan tersebut diperkosa sedemikian rupa demi menggoalkan seorang calon presiden menjadi presiden. Tidak pernah elit-elit politik bertanya terlebih dahulu kepada massa pemilihnya apakah mereka setuju bila suara yang mereka berikan dialihkan pada seorang calon presiden atau tidak. Massa pemilih dikondisikan hanya sebuah obyek yang tidak mengetahui apa-apa, massa pemilih hanya dianggap sebagai sapi perahan penghasil suara yang dapat mereka beli setiap lima tahun sekali.
Dalam hal ini, menurut apa yang telah dipaparkan di atas, sesungguhnya partai politik dan anggota legislatif yang duduk di gedung dewan sama sekali tidak berhak memindahtangankan suara yang telah diberikan oleh massa rakyat dengan alasan apapun juga. Bila kita sudah sampai pada tahap ini, maka kelahiran seorang pemimpin yang benar-benar disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia melalui lembaga pemilu niscaya akan menjadi kenyataan. Bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran bahwa suara yang diberikan oleh massa rakyat melalui Pemilu tidak dapat dipindahtangankan, tidak terwakilkan dan tidak tergantikan melalui loby-loby di tingkat elit dan koalisi antara beberapa partai, bila kita sudah sampai pada tingkat kesadaran yang memposisikan massa pemilih sebagai subyek penggerak dan penentu arah demokrasi, bukan sekedar sapi perahan penghasil suara lima tahunan , niscaya akan lahir seorang pemimpin yang disepakati oleh mayoritas rakyat Indonesia yang bekerja untuk dan di dalam pengawasan rakyat sehingga fungsi kontrol legislatif benar-benar berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat.
Tulisan ini dibuat tidak untuk mengajak massa rakyat untuk memboikot pemilu, bukan pula untuk mengajak bergolput ria. Tulisan ini dibuat untuk mengajak kita sama-sama berpikir demi kemajuan negeri kita tercinta ini. Menarik untuk dicermati, ke arah mana roda demokrasi menggelinding di pemilihan umum 2009 ini, apakah ke arah perbaikan atau kemunduran. Tapi apapun nanti hasilnya, ke manapun roda demokrasi menggelinding tak perlu pesimis. Toh semua kesalahan itu nantinya bila dievaluasi akan membawa kita selangkah lebih dekat ke arah perubahan. Semoga pemilu 2009 ini bisa menjadi pijakan awal terciptanya kultur berpolitik yang baru, yang lebih sehat, terarah, tepat sasaran dan murni, yang benar-benar mencerminkan kehendak massa rakyat di tingkat akar rumput, bukan mencerminkan kehendak para elit politik di tingkat atas.

Selasa, 10 Maret 2009

sebentuk rembulan
melingkar atas kepalamu
memburam dalam tikaman bedak
yang sekian tahun menambal kepura-puraan
bercak darah, lendir berceceran
membunuh rerumputan yang rebah tertindih
tubuh-tubuh durhaka, binatang purba
mengangkang dan tertawa

sebentuk rembulan
melingkar atas kepalamu
memburam dalam tikaman bedak
yang sejak kekal menambal kerut-kerut tebal
bercak darah, lendir berceceran
membunuh rerumputan, tertindih
tubuhmu yang rebah
hening
diam
tak bernyawa
tinggal nama
menuju kekekalan

Minggu, 08 Maret 2009

entahlah, terkadang kerinduan untuk ngobrol lebih lama lagi muncul begitu tiba-tiba. menemukan dirimu ternyata tak semudah memasukkan nama atau kata ke search engine. tinggal tekan enter maka langsung ketemu. Kau...ah...begitu misteriusnya, datang dan pergi sesuka hatimu, seenak perutmu sendiri. tapi sudahlah. diantara kita pernah terjalin semacam kesepakatan bahwa tidak akan ada pemaksaan kehendak.

hanya saja, menemukan dirimu bagai mencari sesuatu yang tak diketahui terletak di mana, lebih sering ada di lipatan memory saraf otak kecil ketimbang berada di nyata. kau........ah............demikian misteriusnya. this is a real life...or this is just fantasy.....????

Jumat, 06 Maret 2009

Semacam Keluh Kesah

Jalan Gejayan, dua tiga puluh dinihari. Seekor anjing lepas dari rantainya, bebas berlarian sambil sesekali menyalak kegirangan, lepas sudah belenggu yang selama ini merenggut kebebasannya. Satu satu, sepeda motor, mobil, becak, taksi berlari dalam lengang dengan kecepatan sedang dan datar. Betapa damai, hilang sudah jejak-jejak riuh siang tadi. Selokan Mataram mengalir dari Kulon Progo sampai ke Timur sana mengairi persawahan petani, sebuah jejak sejarah sisa-sisa masa romusha. Aku berjalan sendiri, menghitung berapa juta jejak kakiku yang masih membekas dan berceceran di sepanjang jalan ini. Se per empat usiaku tumpah di kota ini, se per empat bagian diriku tercipta di kota ini dan setengah dari se per empat itu aku habiskan di jalan ini. Ufffffffffffhh…..betapa laju masa muda itu berlari meninggalkan tubuh yang mulai renta ini.
Ini hari terakhirku di kota yang sudah mulai sangat aku cintai ini. Besok aku harus pulang ke kampung halaman, ke tempat di mana tiga per empat bagian diriku tercipta. Berat rasanya harus berpisah dengan semua hal yang pernah kusentuh, kulihat, kubaui di kota ini. Berat rasanya meninggalkan semua cerita yang pernah kulakoni di kota ini. Wahai, betapa hidup mampu membelokkan arah dan tujuan yang dulu pernah kutata. Hidup membelokkan arah dan tujuanku ke arah yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Jalan Gejayan sepi. Tinggal dua warung angkringan yang masih setia menunggu pelanggan yang tidurnya sedikit terganggu, abang-abang becak tidur di becaknya. Aku berjalan sendiri menghitung berapa langkah panjang jalan Gejayan. Sesekali aku tersenyum getir kala tiba-tiba saja dalam pedalaman memoryku aku mengingat Wiwik Wulandari. Kami pernah berjalan berdua di jalan ini, dia berjalan di seberang sana dan aku di seberang yang lain. Kami harus berteriak-teriak, berbicara sambil berjalan karena suara kami hilang tertelan deru mesin sepeda motor dan mobil yang seharusnya sudah memasuki usia pensiun. Betapa konyol, pikirku.
Jogja, mungkin tetaplah Jogja, mungkin suatu saat nanti aku bisa kembali ke kota ini. Mungkin sekali. Tapi aku yakin bahwa semua tidak akan pernah sama lagi. Malioboro tetaplah Malioboro, Parang Tritis masih tetap angker dengan ombak besarnya, Jalan Gejayan mungkin masih akan tetap bernama Jalan Gejayan, Mritjan Baru tetaplah Mrutjan Baru, tetapi semua cerita yang penah kualami dan kulakoni di semua tempat itu takkan pernah berulang lagi. Aku hanya akan menjiarahi tempat dan nama-nama tanpa pelakon cerita.
Betapa singkat dan semua berlalu. Celakanya semua cerita yang pernah kulakoni tersebut terjadi begitu saja tanpa diikuti oleh tindakan berpikir terlebih dahulu. Dan nyatanya, semua peristiwa yang seakan-akan terjadi begitu saja mampu menjungkirbalikkan hidupku sedemikian rupa. Aku telah salah langkah, salah arah. Betapa jejak-jejak masa muda itu tetap mengikuti langkahku. Mungkin segala akubatnya akan aku tanggungkan seumur hidupku. Mungkin.

Selasa, 03 Maret 2009

Siang ini, betapa gamang. Sialan. dua langkah yang sangat mematikan, klik kanan pada mouse dan entry nama pada sebuah mesin pencari lalu klik ok. sebaris kata, sebentuk rupa memunculkan kalimat dan beberapa gambar. hanya teks dan image memang, tapi teks dan image itu menyeret ingatan pada suatu masa, berpuluh tahun lalu. seketika, jalan Gejayan, klebengan, selokan mataram, mrican, tamansari, malioboro, samirono dengan kencang dan bertubi-tubi, tanpa ampun menghajar ingatanku.
Lupakanlah semua hal yang harus dilupakan dan kenangkanlah hal-hal yang pantas untuk dikenang, dulu kataku seperti itu. nyatanya? menghapus ingatan dan kenangan tak semudah Select all, dan delete. tak semudah itu. Tidak akan pernah semudah itu, tak akan pernah. Seperempat umurku kuhabis kan di lorong-lorong kota ini, mengakrabi kehidupan yang selalu saja mampu menimbulkan gairah untuk hidup lebih lama lagi. Obrolan di angkriangn pak De Narto, warung kerai dengan gulai ayamnya yang sangat enak bila dikomparasikan dengan harganya yang murah, Mbak Minuk dan gondrong yang sangat terkenal di kalangan pecinta mansion house vodka. Begitu banyak waktu-waktu mudaku berceceren di segala penjuru kota ini. Femiadi sicerdas yang brilian dan absofungkinglutely unique, Tyas Ing Kalbu si pendiam, idealis, tak banyak berbicara, terlalu banyak mikir dan selalu tenang menghadapi apapun, Bagus Dwi Danto si aneh tapi hidup selalu tumbuh ide-ide segar dan gila di kepalanya, dia adalah teman terbaik yang aku punya selama hidupku, pernah aku harus melepaskan rambutnya yang mulai menggimbal sendiri akibat jarang disisir, tahu alat apa yang aku pakai buat melepas rambutnya yang gimbal? aku memakai obeng, ya obeng, drei kata orang jawa, dia temanku berbagi tempat tidur, berbagi makanan, rokok dan kopi, saling tukar celana dalam, baju, buku dan ide. Untung saja kami tidak pernah bertukar pacar, karena kebetulan aku payah dalam bidang itu, Danto selalu mendapatkan wanita-wanita cantik yang ia suka, tapi aku tidak pernah mendapatkan seorang wanitapun untuk aku tiduri (wakakakakakaka, sepertinya Danto pun tidak pernah melakukannya. buat apa pacaran coba kalau tidak berhasil mengajaknya ke tempat tidur....). Pak Kanis Ehak Wain, si cerdas, terlalu banyak bicara dan mempunyai selera humor yang keterlaluan. Tidak pernah tersinggung, dan rela menyebut dirinya sendiri sebagai pemuja keindahan DADA Bertha (teman seangkatan, satu kelas) yang memang nggilani ukurannya (sorry Ber, kami terlalu sering membicarakan hal ini dengan pak Kanis). Pernah suatu waktu Pintu kamar Kost pak Kanis Hilang, waktu itu dia bilang sama aku, "penk, kau tendang saja pintunya sudah, biar pintunya bisa terbuka." Benar...Pintunya terbuka, tapi sialnya pintu itu tak bisa lagi ditutup karena pintu itu lepas dari kosennya. Pak Kanis pun kemudian diusir oleh ibu kost karena telah merusak pintu.
Eva, Amy, Lily, Theodora yang semula tak pernah aku kenal dan tak pernah kuinginkan menjadi sahabatku ternyata di belakang hari justru menjadi sahabat terbaik yang pernah kupunya setelah Danto. Mereka kemudian aku anggap sebagai adikku. duh...senangnya bisa punya adik yang cantik-cantik, manis-manis, lucu-lucu. Pernah, pada suatu waktu, ketika Mrican Post hampir dead line, kami kerja di ruang BPM FISIP yang lama, di sudut gedung kampus, kami terjebak di sana karena hujan turun dengan derasnya. Akhirnya, karena lapar kami beli nasi di angkringan pak de Narto lengkap dengan gorengan dan teh hangatnya. gila, si eva, amy, dan Lily ternyata makannya banyak juga alias tidak sesuai dengan ukuran badan. Kalau si theo aku maklum makannya pasti banyak.
siang ini, berjuta kenangan yang hampir terselip dipedalaman lupaku tiba-tiba saja bangkit serupa hantu dari kubur. tertawa, haru, air mata, nafas menyesak, ah...perasaan yang tak terdeskripsikan, begitu campur aduknya. betapa laju hidup membawaku ke arah ini, ke arah yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku berada jauh dari tempat kenanganku berada berikut dengan orang-orangnya, Danto, eva, Amy hanya mereka yang tersisa, hanya mereka yang bisa aku hubungi di saat ada rindu seperti sekarang ini menyerbu. Sisanya hanyalah harap, berharap suatu saat di waktu yang tak tentu, tiba-tiba saja bisa bertemu Femiadi Soempeno, Tyas Ing Kalbu, Pak Kanis Ehak Wain, Theodora, Zumro Tulayli, atau tanpa sengaja bisa mendapatkan kontak mereka dari suatu hal yang tak pernah terduga. Semoga.