Catatan Perjalanan I
(Jakarta-Jogja)
12 Sept ‘10
Entah sejak kapan batu-batu itu berserakan di sana menutupi bantalan rel. Mungkin salah satunya atau beberapa ada yang setua riwayat kereta api itu sendiri. Stasiun Gambir pukul 07.00 WIB, kereta baru akan berangkat satu jam lagi. Kalau aku tidak dilanda disorientasi arah, sekarang aku sedang menghadap utara, di sana berdiri dengan megah Monumen Nasional, terlihat gagah, meskipun bagiku secara estetika tidak indah. Ia terlihat gendut, tepatlah kiranya Monas menjadi symbol negeri ini, symbol kerakusan pejabat-pejabat korup dan gendut. Sedang emas yang terletak di puncaknya menjadi symbol ketololan. Mempunyai negeri kaya, tetapi kekayaannya justru dinikmati oleh negeri-negeri raksasa nun jauh di sana. Satu-satunya Negara yang menempatkan emas di puncak menara yang menjadi trade mark negaranya justru Negara yang menderita kemiskinan yang demikian akut.
Jika benar aku sedang menghadap kea rah Utara, maka di belakangku adalah Selatan dan gedung yang tepat terletak kira-kira dua ratus meter di belakangku itu pastilah eks gedung School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA), sekolah dokter pertama di Indonesia. Sebuah jejak sejarah dalam pergerakan menuju Indonesia merdeka. Masih dapat kurasakan semangat para calon dokter muda itu yang secara sembunyi-sembunyi di tengah kesibukan dan beban pelajarannya mereka masih menyempatkan diri untuk berdiskusi dan membentuk pergerakan menuju Indonesia merdeka.
07.30 WIB kereta sudah memasuki stasiun Gambir. Ak naik ke dalam kereta dan menaikkan bawaanku ke dalam bagasi di atas tempat dudukku. Aku sangat menikmati perjalanan dengan kereta api karena sabuk besi yang mengalungi bumi Jawa ini juga sarat dengan sejarah perjalanan bangsa ini. Jangan bayangkan rel ini dibangun dengan alat-alat berat seperti di jaman sekarang. Besi rel lintasan dan kayu bantalan dipanggul oleh para pekerja yang tentu saja secara paksa dipekerjakan oleh yang dipertuan. Pada awalnya rel dan kereta api ini hanya diperuntukkan untuk transportasi tebu dan gula yang setiap tahunnya memberi keuntungan jutaan gulden kepada Netherland sebagai Negara induk. Pembangunan jalur kereta api ini penuh dengan kisah pilu dan merupakan kisah genochida yang memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Pembangunan jalur kereta api ini sama saja kisahnya dengan pembangunan jalan raya pos atau jalan raya daendels yang menghubungkan ujung barat pulau jawa sampai ujung timur pulau Jawa yang peruntukannya hanya untuk mempermudah transportasi dan perpindahan pasukan penjajah untuk memadamkan pemberontakan dan perlawanan di seluruh bumi Jawa. Menyedihkan.
Lengking peluit dan klakson kereta menyadarkan aku dari lamunan akan suatu masa yang telah begitu lama berlalu. Kereta melaju ke Barat Meninggalkan Gambir, Jati Negara, Buaran, Bekasi, Lemah Abang, Karawang. Sampai di sini kembali aku teringat akan pasukan Republik yang semakin hari semakin terdesak kedudukannya karena sweeping yang terus-menerus dilaksanakan oleh pasukan Belanda untuk membersihkan Jakarta. Antara Karawang-Bekasi, beribu kami mati, bunyi sajak Chairil Anwar. Meninggalkan Karawang menuju Tasik terus meluncur menuju Cirebon, aku jatuh ke dalam dekap tidur yang nyaman. Hawa panas diluar tewas oleh tikaman AC yang dingin dan nyaman, tapi membuat kulit kering dan keriput.
Aku terbangun ketika kereta memasuki Purwokerto. Tak ada yang istimewa di kota ini, mungkin karena aku tak pernah mengalami peristiwa apapun di kota ini. Aku kembali tertidur dengan sedikit rasa lega karena kutahu, 3 jam lagi aku akan sampai di Jogja.
Kembali aku terbangun ketika kereta memasuki Kutoarjo, Purworejo, semakin dekat dan aku semakin mengenali petak-petak sawah ini, aku semakin mengenali jalanan, gapura dan semua bangunan ini. Wates, Kulon Progo, lalu perlahan memasuki Jetis. Yah….aku sudah mengenalmu dengan lekat. Sebentar lagi aku akan berkeliaran di atas tanah dan jalananmu, kota kecintaanku.
Kereta berhenti, aku menurunkan bawaanku dan bergegas Turun. Lama sekali aku memandangi Stasiun itu, seakan-akan aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Dia terlihat begitu istimewa, padahal, dulu ketika masih berdiam dan hidup di kota ini, aku tak pernah peduli terhadap keberadaannya.
Keluar dari stasiun Tugu, aku tertegun memandangi Hotel Tugu yang sudah termakan usia. Aku menatap sirene yang dijadikan sebagai pertanda berakhirnya jam malam seperti yang ditetapkan oleh pemerintahan penjajah Belanda yang justru dijadikan oleh laskar rakyat dan tentara Republik sebagai suatu pertanda dimulainya Serangan Umum Satu Maret dan menguasai Jogja selama enam jam sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa Republik belum tamat riwayatnya baik secara de facto maupun secara de yure. Untunglah aku bukan seorang penjahat kelamin atau hobbies “Wisata Lendir”, jadi aku langsung menuju rumah seorang teman yang sudah berbaik hati menyatakan kesediaannya untuk menampungku selama aku di Jogja ini tanpa singgah di pasar kembang (flower market/sarkem) yang terletak persis di samping stasiun Tugu Jogja. Kalau di antara kalian ada yang doyan berwisata lender atau “jajan” atau sekedar “numpang celup” silahkan berkunjung ke sana, tapi jangan lupa membawa perlengkapan dan “Helm” untuk keselamatan anda. Harga yang ditawarkan sangat bersahabat, tapi harap maklum karena kelas ekonomi jadi kualitas yang ditawarkan pun hanya seadanya saja, hanya sekedar bisa “ numpang celup” saja.
Pertemuan dengan seorang kawan lama, sungguh, dia tetap cantik dan mempesona, sama seperti permunculannya yang pertama dulu. Begitu rupanya orang cantik, sekali cantik tetap cantik. Hidup cantik!! Hahahahaha. Pernah juga sih hampir nembak dia pakai megaphone, lengkap dengan lagu-lagu perlawanan dan atribut aksi. Heroik kali ya? Tapi mungkin dia akan menganggap aku gila kalau sampai aku benar-benar melakukannya. Hahahahahaha
Jogja…oh…Jogja. Aku kembali berdiri di atas tanahmu dan menghirup udaramu, semoga kali ini aku mendapatkan kekuatan lebih dari yang kuinginkan.
Catatan Perjalanan II
(Jogja-Malang)
18 sept ‘10
Beginikah rasanya Sendiri itu? Gerbong berderit-derit dalam kebisingan yang sia-sia karena tak ada yang sudi mendengarnya secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Gerbong-gerbong besi merayapi rel yang sejak purba mengalungi bumi Jawa Dwipa.
Aku kedinginan, sementara aku tidak tega mengarahkan AC ke arah ibu muda dan anaknya yang masih kecil yang juga sama kedinginan di sebelahku. Aku menghadapai dinginnya AC itu bak pahlawan, dengan duduk yang sengaja digagah-gagahkan dan kadang melempar senyum yang juga sengaja dimanis-maniskan kala ibu muda itu melemparkan senyum yang kutahu pasti tak akan membuat dia rugi karena telah melakukannya. Aku tahu cara memperlakukan wanita dengan hormat.
Sosokmu menari-nari pada pal-pal batu yang setiap sekian detik sekali terlewatkan satu demi satu. Hari sudah pagi ketika aku terbangun, celingak-celinguk ke luar jendela , akhirnya aku tahu bahwa ular besi yang kutumpangi ini sudah memasuki kota Kediri. Aku semakin dekat pada kota yang kutuju. Di belakang, kota yang tadi malam kutinggalkan, yang mendekapmu dalam pelukan tidur yang nyaman semakin jauh kutinggalkan. Lengking panjang peluit di Stasiun Tugu masih lekat di telingaku. Begitu menyayat dan klakson kereta yang membelah heningnya malam pada pukul 23.59 WIB membuat hati semakin rawan. Peron sesak oleh para penjemput dan penghantar. Kulewati semua dengan kesedihan. Para penjemput bersalaman dan berpelukan hangat ketika bertemu dengan orang yang dia nantikan kedatangannya, para penghantar bersalaman dan berpelukan berurai air mata dengan orang yang dia hantarkan keberangkatannya. Aku benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang menyalami atau memelukku dengan hangat. Aku merasa sangat sendiri dan kesepian, tiba-tiba.
Kereta terus melaju ke a rah Timur, sekarang sudah memasuki Blitar, kota para pemberani dan “merah”. Sebentar lagi aku akan memasuki kabupaten Malang. Ibu muda yang duduk di sampingku mulai merapikan rambut dan pakaian anaknya yang ternyata adalah anak perempuan, mungkin usianya hampir sama dengan dengan gadis kecilku yang harus kutinggalkan selama sebulan ke depan. Wajah ibu muda itu tampak berseri-seri, dan sekali lagi ia melemparkan senyum manisnya ke arahku. Aku tahu, sesungguhnya ia mau berkata bahwa sebentar lagi ia akan bertemu dengan suaminya yang tercinta, dan ia senang karenanya. Betapa hidup akan begitu nikmat bila memiliki istri yang setia seperti dia. Aku tak menemukan nada genit dan menggoda pada senyum manisnya, tak juga kerling mata.
Hingar-bingar suara dari ruang informasi berbaur dengan keributan manusia yang mempunyai kepentingan berbeda kala aku turun di stasiun Kota Baru, Malang. Lalu-lalang tanpa tegur sapa, lagi-lagi aku merasa sendirian. Tak ada yang menjabat tanganku atau memelukku dengan hangat. Aku sudah sampai di kota yang kutuju, tiga minggu akan kuhabiskan di kota aple ini. Setelah semua ini selesai, aku akan kembali ke Jogja untuk memunguti sisa-sisa masa mudaku yang begitu banyak berceceran di sepanjang jalan Malioboro, Jembatan Sayidan, Alun-alun, jalan Gejayan, Mrican baru…..ah…sepinya.
Catatan Perjalanan III
(Malang-Jogja)
12 Okt ‘10
Gajayana sudah mulai memasuki Stasiun Kota Baru Malang pada pukul 16.00 WIB. Aku naik ke dalam kereta dan menaikkan barang bawaanku ke dalam Bagasi di atas tempat dudukku sesuai dengan yang tertera di dalam tiket. Ada sepasanga suami istri muda yang duduk di tempat dudukku. Si laki-laki langsung berdiri, dia meminta maaf lalu berniat untuk pindah ke bangku yang lain. Lalu aku maklum bahwa hanya salah satu dari mereka yang akan berangkat. “Gak apa-apa mas, santai saja. Silahkan dilanjutkan.” Kataku, lalu beranjak turun, kebetulan aku ingat pesan seorang teman untuk membelikan apel dan aneka keripik khas Malang.
16.25WIB, lima menit lagi kereta akan berangkat. Aku kembali naik ke atas gerbong 7 menuju bangku 10B tempat dudukku. Pasangan muda itu berpelukan tanpa sungkan, lalu cium pipi kiri, cium pipi kanan, lalu si laki-laki berjalan turun setelah mengucapkan selamat jalan kepada istrinya yang cantik. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih atas pengertianku memberinya waktu berduaan dengan istrinya yang tercinta. Betapa bahagianya hidup bila memiliki seorang istri cantik dan setia seperti dia. Aku mengangguk kecil dan tersenyum getir karena aku kembali sadar bahwa kali inipun tak ada yang menghantarkan keberangkatanku, tanpa salam hangat atau pelukan yang erat.
Begitu kereta berjalan aku langsung memutuskan untuk jatuh ke dalam pelukan tidur yang jarang kudapatkan belakangan ini, perempuan cantik di sebelahku ini tampak kedinginan, aku tidak berani menawarkan selimutku kepadanya karena aku menghormati suaminya yang bahkan namanya saja tak sempat kutanyakan tadi. Aku menyingkirkan selimut yang masih terbungkus itu ke sampingku, berharap ia meminta ijin untuk memakainya. Ah….kali inipun aku belum juga bisa tertidur, sementara perempuan cantik di sampingku ini sudah lelap begitu dalam dalam buaian mimpi. Kuteliti wajahnya. Dia begitu cantik, putih, hidungnya bangir. Benar-benar cantik bukan buatan, lalu turun ke leher dan terus ke bawah leher. Masyaallah….aku kembali menaikkan pandanganku ke wajahnya, daerah bawah leher itu adalah daerah terlarang untuk kulihat. Hehehehehe. Ternyata, secantik-cantiknya orang, pasti punya sisi jelek juga. Dia tidur dengan mulut yang terbuka lebar. Aku benar-benar tidak bisa menahan tawa melihatnya, lalu aku keluar dari gerbong menuju persambungan antar gebong untuk merokok.
Kulukis wajahmu dengan gumpalan asap rokok berbau laknat, memberi nikmat yang sesaat, sisanya adalah kesumat. Ah…sungguh, seandainya ada obat yang mampu menciptakan Amnesia parsial permanen dan kita dapat menentukan bagian mana dalam kejadian hidup kita yang ingin didelete dan dihapus secara permanen, tentulah aku sudah mengkonsumsi obat itu. Bayangmu menari-nari di petak-petak sawah, hutan pinus dan formasi pebukitan yang kecil mengecil di kiri-kanan jalur kereta.
Tepat pukul 22.00 WIB ada pemeriksaan tiket, aku tidak tahu kereta sudah sampai di mana, dan aku benar-benar tidak mau tahu. Yang kutahu hanyalah bahwa satu jam empat puluh lima menit lagi aku akan sampai di jogja. Ternyata perempuan cantik disebelahku ini juga akan turun di Jogja, hanya dalam waktu kurang dari dua jam kami akan tiba dan turun di Jogja, lalu berpisah menuju arah kami masing-masing tanpa ada jaminan bahwa sutu saat kelak akan ada pertemuan kembali, tapi kami sama-sama tidak tertarik pada perkenalanan yang sesaat. Dia asyik dengan ponselnya, dan akupun begitu, kalau kebetulan saling bersitatap kami hanya saling melempar senyum, lalu kembali asyik mengupdate status dan menjawab beberapa koment. Kami benar-benar enggan untuk saling berbasa-basi.
Kereta sudah sampai di Stasiun Tugu dan perempuan cantik di sebelahku ini masih tertidur pulas, selesai menurunkan semua bawaanku dari bagasi, aku membangunkan perempuan cantik ini dengan menyentuh pundaknya, dia tampak tergagap dan kaget ketika aku melakukan itu dan serta merta dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Aku tidak tahu kenapa rata-rata perempuan yang merasa terancam selalu menyilangkan kedua tangannya di dada berusaha untuk melindungi payudaranya? “Mbak, sudah sampai di jogja, dan kereta hanya akan berhenti selama 10 menit. Mbak mau ikut sampai Jakarta?” candaku, lalu aku turun dari atas kereta tanpa pernah menyesal tidak sempat berkenalan dengan perempuan cantik itu.
Seorang teman lama menjemputku dan menyambutku dengan salam hangat. Aih….ini kali pertama aku mendapat sambutan selama perjalanaku ini. hehehehehe. lalu bercerita sampai dinihari ditemani secangkir kopi dan beberapa batang rokok, lalu jatuh ke dalam tidur yang teramat dalam.
Catatan Perjalanan IV
(Jogja-Jakarta)
19 Okt ‘10
Ada banyak cerita di kota yang sangat kucintai ini, pertemuan dengan beberapa orang kawan lama dan beberapa kisah yang memilukan.
Apapun dan bagaimanapun bentuk dan wujudnya, Jogja tetaplah Jogja, meskipun sekarang kearifan, keanggunan, keramahan dan kenyamanannya sedikit demi sedikit tergerus oleh perubahan jaman yang secara perlahan merusak fisik dan jiwa kota ini, dia tetaplah Jogja yang kucintai meskipun tiba-tiba saja aku merasa asing dan belum pernah mengenal kota ini sebelumnya, toh aku telah menghabiskan seperempat usiaku di kota ini.
Kadang aku mengeluh karena warung gulai ayam tempat kami biasa nongkrong ketika masih kuliah dulu sudah berpindah tempat, meskipun hanya berpindah tempat ke sebelah sejauh satu pintu. Gulai ayam warung kerai itu memang masih tetap enak, tapi rasa enaknya sedikit berkurang karena dia tidak lagi berada di tempat yang sama seperti dulu. Ada harga kenangan yang berkurang dan sedikit tereduksi. Kadang juga mengumpat dalam hati bila angkringan pak de Noto di depan secretariat Palawa di samping kampus Mrican tidak buka.
Pukul 23.15 WIB aku pernah nongkrong di sini, di angkringan pak de Noto. Aku heran karena sudah tidak ada lagi tumpukan nasi kucing di atas meja seperti dulu. Karena heran aku bertanya, “Pak de, segonipun sampun telas nggih?”
“Urung mas, isih akeh kok.” Kata pak de Noto lalu membuka tutup termos tempat penyimpanan nasi dan memindahkannya ke dalam piring, lalu ada sayur, telur dadar, lele goreng. Tempat ini begitu bersejarah dalam hidupku, tiba-tiba saja aku merindukan suasana Jogja tempo doeloe. Aku merindukan angkringan dengan tumpukan bungkusan nasi kucing, aneka gorengan, aneka sate murahan, segelas kopi tubruk, sebatang djarum 76 dan obrolan yang hangat, gayeng dan guyub. Sekarang, sepertinya pak de Noto sudah tidak sempat lagi ngobrol dengan para pelanggannya karena sibuk menggorengi telur dan lele. Sungguh, para pendatang yang mendiami Jogja yang sekarang tidak tahu cara menjaga kearifan dan kesucian Jogja, tanpa tabik dan nderek langkung tiba-tiba saja merubah Jogja dengan semaunya dan sekehendaknya sendiri saja.
Banyak hal yang berubah dari Jogja, tapi aku tidak berhak menilai apakah ia berubah kea rah yang lebih baik atau lebih buruk, toh tak akan ada peradaban yang statis. Dia akan terus berkembang mengikuti arus jamannya. Sedih memang melihat Jogja yang seperti ini sekarang, dan jauh di lubuk hati yang paling dalam aku bersyukur, sangat bersyukur pernah hidup dan merasakan atmosfer Jogja di tahun 90’an sampai awal 2000’an. Aku merasa sangat beruntung karena masih sempat merasakan betapa bersahabatnya dan betapa hangatnya Jogja di masa lalu. Tapi sudahlah, toh Jogja sudah berubah, tak perlu terlalu melankolis menyikapinya. Apapun dan bagaimanapun bentuk dan wujudnya sekarang, Jogja tetaplah Jogja, meskipun kelak bila ia harus berganti nama, ia tetaplah Jogjaku, Jogjamu, Jogja kita.
Setelah dua tiket kereta api yang batal dipakai akhirnya aku berangkat juga meninggalkan Jogja tercinta ini menuju Jakarta. Karena keuangan yang muai menipis, aku terpaksa naik kereta api kelas bisnis. Bangun pagi tanpa berpamitan kepada siapapun, aku berangkat sendiri ke Stasiun Tugu. Aku tahu, beberapa orang teman pasti akan marah dengan keputusanku ini karena ada beberapa yang pasti bersedia dan mau mengantarkan aku ke tasiun Tugu jika aku memintanya.
Aku benar-benar sendirian sekarang, di dalam kereta gerah karena kipas angin macet. Tapi aku merasa dingin dan sendirian. Ada airmata yang tak tertahankan ketika kereta bergerak ke Barat meninggalkan Jogja. Masih ada sebertik keraguan dikala “pulang” bukan lagi menjadi sebuah pilihan bijak, di sisi lain, Jogja pun sudah berubah dan bukan lagi menjadi sebuah pilihan yang tepat karena tentu saja kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mencegah semua ini terjadi. Kita tidak berdaya dan tidak mampu melakukan apa-apa untuk membelokkan arah jalannya hidup itu sendiri, bukan? Yah…pasrah akhirnya adalah satu-satunya kesimpulan terbijak yang mampu kubuat pada saat ini. Tentu saja aku sadar akan segala konsekuensinya, toh bernafas pun ada resikonya. Jika “Pulang” nanti aku sudah siap untuk hancur dan lebur di sana. Menamatkan usia dalam rasa sakit, toh inilah jalan takdirku. Amor fati….amorfati….aku harus menerima dan mencintai takdirku, seperti Sisipus dalam mitologi Yunani yang terus saja menggulingkan batu besarnya ke puncak bukit meskipun batu itu tidak akan pernah bergerak ke mana-mana sebagai bentuk pemberontakan dan kecintaannya terhadap takdirnya.
Kereta terus melaju kea rah Barat. Sosokmu terus saja berkelebatan menghajar ingatan. Senyum, tawa, cemberut, meringis, menangis, marah dalam berbagai bentuk dan rupa berlintasan serupa slide show di dalam benakku. Sebatang rokok tak berhasil menindas eksistensimu dari dalam ingatanku. Sewaktu kereta meninggalkan Purwokerto di kiri jalur kereta aku melihat hutan pinus yang lebat. Entah mengapa, butan pinus begitu mempesona dan mengingatkan aku pada suatu malam di tahun 2001. Setiap kali melintas atau sekedar melihat hutan pinus pikiran dan perasaanku terbang kembali ke masa itu, seorang perempuan cantik tapi kurus saling berbagi kekuatan denganku lewat genggam erat telapak tangan menyusuri hutan pinus, dan jalan setapak yang licin dan gelap. Betapa aku merasa beruntung pernah diberi kesempatan untuk berkenalan dan jatuh cinta kepadanya, meskipun takdir dan waktu tak pernah berpihak kepadaku. Toh, tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan.
Kereta terus Melaju ke arah Barat, semakin jauh meninggalkan Jogja yang tentu saja tak pernah merasa kehilangan atas kepergianku. Getir, sementara aku terus saja merasa terluka mengetahui kenyataan bahwa Jogja bukanlah Jogja yang sama dengan Jogja yang pernah kukenal dulu. Kali ini aku tidak mau terlelap dan tidur. Aku ingin menikmati setiap detik dan setiap jengkal perpisahan ini. Ah…sudahlah. Tak perlu secengeng ini.
Memasuki Karawang, Lemah Abang, Buaran, Jati Negara. Aku turun di stasiun ini, membawa semua barang bawaanku yang terasa semakin berat oleh semua cerita yang kali ini mau tidak mau harus kusebut “Kenangan”. Tas kamera menyilang di pundakku, ransel menggelayut manja di punggungku dan sebuah travelling bag beroda kuseret dengan sejuta kenangan itu.
Tadi pagi aku berangkat ke Stasiun Tugu, dan kau berangkat ke kantor, sebentar lagi kau mungkin akan pulang kerumah dan aku sudah sampai di Jakarta, mungkin dalam beberapa hari lagi aku sudah tiba di medan, lalu menempuh perjalanan 1.5 jam menuju Berastagi. Betapa cepat hidup berpindah dan berlalu, lalu kita sadar bahwa kita belum beranjak ke mana-mana dan belum berhasil menjadi siapa-siapa.
Aku akan pulang, meskipun “pulang”: bukanlah sebuah pilihan bijak mengingat semua yang terjadi belakangan ini. Ya aku berani menanggung semua akibatnya. Padove ti puerta il cuore, pergilah ke mana hati membawamu, itu hal yang sangat mudah untuk kulakukan pada saat ini, tinggal kembali ke Jogja saja. Tapi, maaf untukmu orang Italia yang sok bijak menciptakan kata-kata bijaksana ini, aku akan pergi ke arah yang berlawanana dengan kehendak hatiku. Aku akan kembali ke pelukan dia yang telah kupilih dengan sadar untuk menemami hatiku merenangi genangan hidup yang keruh ini. Ya, aku tetap berani mengatakan ”ya” terhadap panggilan takdirku. Dan Kau, aku menantangmu. Baiklah aku akan bertahan dan kembali pulang. Akan kulihat batas kemampuanmu, sampai kapan kau akan sanggup merajut temali dalam diam dan mendekapku dengan belati yang kau selipkan di balik punggungmu. Jogja telah memberiku kekuatan yang lebih dari yang kubutuhkan. Tikam…o…tikamlah aku. Kita akan lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir nanti.
Jakarta yang panas dan ganas….adakah kau segarang dan sekeras kepala pendirianku? Kita akan lihat dalam beberapa hari ke depan.