Dari keseluruhan luas daratan Indonesia, sekitar 45,034 juta Ha dipergunakan untuk lahan pertanian atau 23,46% dari seluruh luas daratan. Lainnya dipergunakan untuk pertambangan besar dan padang savanna. Bagian terbesar dari lahan pertanian diperuntukkan sebagai lahan perkebunan yang mencapai 16,5 juta Ha (dan terus akan bertambah), sementara untuk persawahan yang dikhususkan untuk lahan penanaman padi hanya sekitar 8,5 juta Ha (dan terus akan berkurang. Hal inilah yang memicu terjadinya kerawanan pangan nasional. Nanti di belakang akan dijelaskan mengapa lahan untuk perkebunan terus meningkat sementara lahan untuk pertanian semakin berkurang). Lahan pertambangan dipergunakan untuk penambangan nikel, timah, Bijih besi, emas, minyak bumi, gas, batubara, pasir, dan berbagai sumber daya mineral lainnya. Singkatnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa besarnya, baik yang meliputi sumber daya alam di atas permukaan bumi (berbagai jenis kayu khas hutan hujan tropis yang bernilai jual tinggi), di dalam perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas.
Menurut data statistik terakhir, penduduk Indonesia telah mencapai angka kurang lebih 240 juta jiwa dan sebagian terbesar hidup di daerah pedesaan yang tersebar luas. Secara turun-menurun mereka mewarisi keahlian bertani, beternak, menjadi nelayan, menjadi tukang kerajinan dari para leluhurnya. Dahulu kala, keahlian tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsisten). Hampir 108 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia adalah dari kalangan usia produktif, sungguh sebuah potensi yang luar biasa bila dipergunakan secara bijak dan benar. Akan tetapi, letak geografis, besaran jumlah penduduk yang hampir separuhnya adalah tenaga kerja usia produktif, sumber daya alam yang berlimpah sama sekali tidak berguna bagi peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan. Hal ini disebabkan oleh hubungan produksi semi feodal yang dijaga dengan penuh kekerasan oleh sistem semi kolonial dengan mesin politik dan budaya untuk kepentingan imperialis dan klas berkuasa dan klas reaksioner dalam negeri.
Sungguh ironis, memiliki wilayah teritorial (lautan dan daratan ditambah zona ekonomi ekslusif) yang demikian luas, sumber daya alam yang begitu berlimpah dan jumlah penduduk yang demikian besar tetapi terbelakang secara ekonomi, politik dan budaya. Tahu kah kita bahwa PT. Freeport Indonesia di Timika sana, sama sekali tidak membayar royalti sebagai tanda kepemilikan kita atas bijih emas pasir yang mereka tambang di bumi cendrawasih sana? PT. Freeport Indonesia yang telah menjelma menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Negara Amerika hanya membayar PPN sebesar 1% saja. Bandingkan dengan kita, para anak negeri yang harus menanggung PPN sebesar 10% setiap kali kita menginap di hotel atau makan di restaurant di tempat tujuan wisata. Kenyataan tersebut memaksa kita untuk berpikir kembali. Sudah cukup bijak kah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kita yang melepaskan kekayaan alam kepada pihak asing tanpa mendapatkan share keuntungan ataupun hak royalty dari kekayaan kita tersebut? Tentu tidak sulit menjawab pertanyaan tersebut, bukan? PT. Freeport menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Amerika, sementara kita, Negara pemilik bijih emas yang mereka tambang mendapatkan devisa terbesar dari para TKI. Memalukan.
Sejak konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag pada 27 Desember 1949, kekuatan imperialis, terutama Amerika telah memperkuat kedudukannya di Indonesia dan berhasil mendirikan Negara yang sepenuhnya reaksioner sejak jatuhnya Soekarno dan berkuasanya rejim militeris-fasis Soeharto pada tahun 1966. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia yang semi feodal telah sempurna berada dalam dominasi negeri imperialis baik secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, yaitu sistem semi kolonial (inilah sebabnya mengapa saya selalu menekankan bahwa hal yang paling penting ditelusuri dari persitiwa September 1965 bukan pada polemik tentang siapa sesungguhnya pelaku coup de etate karena kalau kita sepakat bahwa September 1965 adalah titik balik kemenangan kapital dan bedil di Indonesia maka dengan sendirinya, pertanyaan tersebut sudah terjawab. Siapapun pelaku kejahatan kemanusiaan 1965 adalah mereka-mereka yang memiliki kepentingan dan kedekatan dengan kapitalisme global).
Cengkeraman kapitalisme global yang telah menggurita menyebabkan Indonesia berkembang menjadi negeri reaksioner yang bergantung dengan sangat hebatnya pada sistem produksi semi feodal, yaitu hidup dari sistem pertanian terbelakang yang memproduksi bahan mentah bertujuan ekspor dengan mengandalkan monopoli tanah yang amat luas di pedesaan dan daerah pinggiran kota, penguasaan atas tanah ulayat adat dan hutan rakyat. Karena Negara reaksioner ini hanya menghasilkan bahan mentah bertujuan ekspor, maka dengan sendirinya akan sangat bergantung dari impor kapital (investasi dan pinjaman), aneka barang jadi (consumer goods) dan tak jarang mengimpor bahan pangan dari negeri imperialis (karena sebagian besar penduduk perkotaan sudah mengikuti tren dan gaya hidup western, terutama dalam hal pola makannya).
Pabrik-pabrik yang ada di Indonesia adalah pabrik setengah jadi (semi prosessing) dan industri ringan (subpirming) milik imperialis yang bergantung pada bahan baku impor untuk menguasai pasar domestik. Tidak ada industri berat yang memproduksi mesin, bahan kimia dasar dan semi-konduktor untuk memungkinkan Indonesia menjadi Negara industri. Industri milik borjuasi kecil lapisan atas dan borjuasi nasional tidak dapat tumbuh dan mengakumulasi kapital akibat dominasi pasar atas bahan mentah, tenaga kerja, dan limpahan barang impor milik imperialis yang membanjiri pasar dalam negeri (hal inilah yang menyebabkan bangkrutnya pabrik-pabrik gula dalam negeri dan contoh terbaru adalah gulung tikarnya para petani garam tradisional, padahal kita mempunyai laut yang luasnya 2 kali lipat lebih besar daripada daratan). Alhasil, mereka tidak dapat mengembangkan kapital secara mandiri dan dipaksa bergantung pada system oligharki finansial.
System produksi semi feodal mengandalkan monopoli tanah dan senantiasa melaksanakan penambahan luas lahan untuk dikuasi sebagai jalan utama untuk meningkatkan produktifitas (di depan tadi saya telah mengatakan bahwa lahan perkebunan akan terus melebar sementara lahan pertanian rakyat, terutama yang diperuntukkan untuk persawahan menanam padi akan terus berkurang. Inilah penjelasan atas pernyataan di atas tadi). Keuntungan dari produksi di atas tanah yang lama diperoleh dengan mengandalkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata. Sebagian besar keuntungan tidak diinvestasikan kembali untuk memodernkan alat kerja dan melatih buruh untuk meningkatkan produktifitas.
Sistem semi feodal adalah karang raksasa penahan laju lahirnya industri dan industrialisasi Indonesia. Perkembangan tenaga kerja mengalami stagnasi. Pengetahuan dan kapasitas pekerja dibelenggu alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan tenaga kerja terampil dan berpengetahuan, lebih dari itu, produksi pertanian dan industri semacam itu hanya mampu menampung tenaga kerja dalam jumlah yang terbatas sehingga akan mempertajam persaingan antar tenaga kerja untuk mendapatkan kesempatan kerja yang amat terbatas dan sangat birokratis tersebut. Keadaan ini, secara sistematis akan menekan tingkat pendapatan (besaran upah) buruh tani di pedesaan dan buruh pekerja di perkotaan dan pinggiran kota.
Monopoli atas tanah menyebabkan semakin terkonsentrasinya tanah di segelintir tuan tanah besar yang akan terus melancarkan perampasan tanah, teristimewa dalam situasi krisis imperialis yang memuncak. Akibatnya kaum tani yang kehilangan tanah dan yang hidup dari tanah seadanya semakin banyak jumlahnya di pedesaan dan daerah pinggiran kota. Keadaan ini dimanfaatkan dengan kejam oleh para tuan tanah untuk melipatgandakan keuntungannya dengan mempraktikkan sewa tanah yang mencekik, peribaan dengan bunga tinggi, upah buruh tani yang sangat rendah dan tengkulakisme yang semakin merajalela.
Sistem semi feodal ini sangat menguntungkan bagi imperialis dan klas reaksioner dalam negeri. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga dan penuh kekerasan mereka akan mempertahankannya. Pasca perang dunia ke-2 imperialisme telah memperkenalkan sistem semi kolonial untuk menjaga dan mempertahankan sistem semi feodal dari kemungkinan perlawanan yang dilancarkan oelh seluruh klas terhisap dan tertindas. Mesin politik dan kebudayaan dibangun dan terus diperkuat dengan satu tujuan melindungi sistem semi feodal dan semua aset dan kepentingan kaum imperialis dengan cara menindas kekuatan potensial perlawanan rakyat dan klas buruh, kaum tani dan mahasiswa yang berontak terhadap sistem jahanam tersebut.
Mesin utama dari negeri reaksioner Indonesia adalah pemerintahan boneka (SBY-Boediono) yang pro imperialisme dan kapitalisme. Pemerintah boneka bertugas untuk membuat undang-undang dan atau kebijakan-kebijakan sesat demi dan untuk kepentingan imperialisme belaka. Di tengah penderitaan rakyat yang terus menderas, pemerintah boneka hanya dapat memerintah apabila dilengkapi dengan instrument penindas yang spesial, yaitu setan hijau dan setan coklat (TNI-Polri) serta laskar-laskar sipil yang terlatih dan dipelihara oleh pemerintah boneka tersebut (itulah sebabnya di Indonesia ini banyak sekali laskar-laskar tidak jelas dan sangat reaksioner dan menjadi kekuatan potensial yang selalu saja berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah boneka untuk menghabisi gerakan-gerakan ataupun organisasi yang mengambil sikat berseberangan dengan penguasa. Biasanya golongan ini berasal dari kalangan agamis yang kelewat fanatik dan kolot. Agaknya penguasa berhasil dengan baik memanfaatkan pertentangan antara kaum Islam dan Katholik binaan Pastor Beek di satu pihak dengan kekuatan ideologi kiri di pihak lain, dan belakangan bertambah dari barisan Kristen Protestan kharismatik yang berkembang dari Amerika dan Inggris).
Pemerintahan boneka terus-menerus berusaha menyempurnakan instrumen “Demokrasi” nya sebagai topeng untuk menipu dan mempermainkan aspirasi rakyat. Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, MA, Jaksa Agung, kabinet dan berbagai macam komisi dan badan pengawasan serta auditor-auditor dibentuk dalam kerangka tersebut. Demikian juga halnya dengan General Election (PEMILU). Sistem politik Amerika yang dijalankan oleh borjuasi besar monopoli adalah rujukannya yang paling utama, tentu saja dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan gaya dan selera borjuasi nasional.
Dominasi politik saja tidak cukup (karena sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kekalahan politik tidak berarti kekalahan budaya, tetapi kekalahan budaya pastilah berarti kekalahan politik dan akan berimbas pada kekalahan ekonomi dan kekalahan di segala sendi kehidupan), maka untuk memastikan kekuasaannya berlangsung dalam waktu yang panjang (Seperti Soeharto), maka dominasi kebudayaan, terutama di bidang pendidikan dan pengetahuan harus dilaksanakan (maka jangan pernah heran mengapa biaya pendidikan begitu besar di negeri Indonesia ini, agar para peserta didik lebih fokus pada usaha menyelesaikan pendidikannya ketimbang belajar hukum dan politik). Sekolah, Universitas, media massa (yang seharusnya mencerminkan realitas malah mendistorsi realitas itu sendiri), berbagai jenis kesenian, gaya hidup, makanan dan sebagainya harus dibuat dan dikendalikan oleh mereka agar rakyat bersedia mengabdi pada imperialisme, sekaligus mengeliminir potensi resistensi rakyat.
Imperialisme dan rejim bonekanya memiliki begitu banyak mesin untuk menindas sekaligus memiskinkan rakyat secara sistematis. Coba kita sama berpikir. Sesungguhnya, bila seluruh sumber daya alam, baik yang berada di atas permukaan bumi, di bawah perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas ini tidak dikelola dalam sistem produksi lama sisa feodalisme dan tidak di bawah control imperialisme, maka akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita dan membangun industri nasional dan tidak perlu mengharapkan inventasi maupun segala macam bentuk pinjaman luar negeri.
Bila anda tidak sepakat dengan apa yang saya tuliskan ini, tolong berikan alasan dan penjelasan anda. Karena di atas saya telah memaparkan bahwa Indonesia ini sama sekali tidak mempunyai alasan dan prasyarat untuk menjadi Negara miskin. Lalu mengapa Indonesia kita ini menderita kemiskinan yang demikian akut?