Blogroll

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 02 Desember 2010

Mengurai Benang Kusut Kemiskinan Akut di Indonesia

Indonesia adalah negeri kepulauan terbesar di dunia dengan letak geografis yang sangat strategis secara ekonomi, politik dan militer. Dengan luas daratan mencatai 199 juta Ha dan luas lautan dua kali luas daratannya. Tanah Indonesia sangat subur secara alamiah dan ditumbuhi berbagai jenis tanaman pangan dan berbagai jenis kayu yang selain bernilai jual tinggi juga sangat berguna bagi kehidupan karena hutan hujan trpois Indonesia adalah hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia setelah Amazon.
Dari keseluruhan luas daratan Indonesia, sekitar 45,034 juta Ha dipergunakan untuk lahan pertanian atau 23,46% dari seluruh luas daratan. Lainnya dipergunakan untuk pertambangan besar dan padang savanna. Bagian terbesar dari lahan pertanian diperuntukkan sebagai lahan perkebunan yang mencapai 16,5 juta Ha (dan terus akan bertambah), sementara untuk persawahan yang dikhususkan untuk lahan penanaman padi hanya sekitar 8,5 juta Ha (dan terus akan berkurang. Hal inilah yang memicu terjadinya kerawanan pangan nasional. Nanti di belakang akan dijelaskan mengapa lahan untuk perkebunan terus meningkat sementara lahan untuk pertanian semakin berkurang). Lahan pertambangan dipergunakan untuk penambangan nikel, timah, Bijih besi, emas, minyak bumi, gas, batubara, pasir, dan berbagai sumber daya mineral lainnya. Singkatnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa besarnya, baik yang meliputi sumber daya alam di atas permukaan bumi (berbagai jenis kayu khas hutan hujan tropis yang bernilai jual tinggi), di dalam perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas.
Menurut data statistik terakhir, penduduk Indonesia telah mencapai angka kurang lebih 240 juta jiwa dan sebagian terbesar hidup di daerah pedesaan yang tersebar luas. Secara turun-menurun mereka mewarisi keahlian bertani, beternak, menjadi nelayan, menjadi tukang kerajinan dari para leluhurnya. Dahulu kala, keahlian tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (subsisten). Hampir 108 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia adalah dari kalangan usia produktif, sungguh sebuah potensi yang luar biasa bila dipergunakan secara bijak dan benar. Akan tetapi, letak geografis, besaran jumlah penduduk yang hampir separuhnya adalah tenaga kerja usia produktif, sumber daya alam yang berlimpah sama sekali tidak berguna bagi peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan. Hal ini disebabkan oleh hubungan produksi semi feodal yang dijaga dengan penuh kekerasan oleh sistem semi kolonial dengan mesin politik dan budaya untuk kepentingan imperialis dan klas berkuasa dan klas reaksioner dalam negeri.
Sungguh ironis, memiliki wilayah teritorial (lautan dan daratan ditambah zona ekonomi ekslusif) yang demikian luas, sumber daya alam yang begitu berlimpah dan jumlah penduduk yang demikian besar tetapi terbelakang secara ekonomi, politik dan budaya. Tahu kah kita bahwa PT. Freeport Indonesia di Timika sana, sama sekali tidak membayar royalti sebagai tanda kepemilikan kita atas bijih emas pasir yang mereka tambang di bumi cendrawasih sana? PT. Freeport Indonesia yang telah menjelma menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Negara Amerika hanya membayar PPN sebesar 1% saja. Bandingkan dengan kita, para anak negeri yang harus menanggung PPN sebesar 10% setiap kali kita menginap di hotel atau makan di restaurant di tempat tujuan wisata. Kenyataan tersebut memaksa kita untuk berpikir kembali. Sudah cukup bijak kah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kita yang melepaskan kekayaan alam kepada pihak asing tanpa mendapatkan share keuntungan ataupun hak royalty dari kekayaan kita tersebut? Tentu tidak sulit menjawab pertanyaan tersebut, bukan? PT. Freeport menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Amerika, sementara kita, Negara pemilik bijih emas yang mereka tambang mendapatkan devisa terbesar dari para TKI. Memalukan.
Sejak konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag pada 27 Desember 1949, kekuatan imperialis, terutama Amerika telah memperkuat kedudukannya di Indonesia dan berhasil mendirikan Negara yang sepenuhnya reaksioner sejak jatuhnya Soekarno dan berkuasanya rejim militeris-fasis Soeharto pada tahun 1966. Sejak saat itu, masyarakat Indonesia yang semi feodal telah sempurna berada dalam dominasi negeri imperialis baik secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan, yaitu sistem semi kolonial (inilah sebabnya mengapa saya selalu menekankan bahwa hal yang paling penting ditelusuri dari persitiwa September 1965 bukan pada polemik tentang siapa sesungguhnya pelaku coup de etate karena kalau kita sepakat bahwa September 1965 adalah titik balik kemenangan kapital dan bedil di Indonesia maka dengan sendirinya, pertanyaan tersebut sudah terjawab. Siapapun pelaku kejahatan kemanusiaan 1965 adalah mereka-mereka yang memiliki kepentingan dan kedekatan dengan kapitalisme global).
Cengkeraman kapitalisme global yang telah menggurita menyebabkan Indonesia berkembang menjadi negeri reaksioner yang bergantung dengan sangat hebatnya pada sistem produksi semi feodal, yaitu hidup dari sistem pertanian terbelakang yang memproduksi bahan mentah bertujuan ekspor dengan mengandalkan monopoli tanah yang amat luas di pedesaan dan daerah pinggiran kota, penguasaan atas tanah ulayat adat dan hutan rakyat. Karena Negara reaksioner ini hanya menghasilkan bahan mentah bertujuan ekspor, maka dengan sendirinya akan sangat bergantung dari impor kapital (investasi dan pinjaman), aneka barang jadi (consumer goods) dan tak jarang mengimpor bahan pangan dari negeri imperialis (karena sebagian besar penduduk perkotaan sudah mengikuti tren dan gaya hidup western, terutama dalam hal pola makannya).
Pabrik-pabrik yang ada di Indonesia adalah pabrik setengah jadi (semi prosessing) dan industri ringan (subpirming) milik imperialis yang bergantung pada bahan baku impor untuk menguasai pasar domestik. Tidak ada industri berat yang memproduksi mesin, bahan kimia dasar dan semi-konduktor untuk memungkinkan Indonesia menjadi Negara industri. Industri milik borjuasi kecil lapisan atas dan borjuasi nasional tidak dapat tumbuh dan mengakumulasi kapital akibat dominasi pasar atas bahan mentah, tenaga kerja, dan limpahan barang impor milik imperialis yang membanjiri pasar dalam negeri (hal inilah yang menyebabkan bangkrutnya pabrik-pabrik gula dalam negeri dan contoh terbaru adalah gulung tikarnya para petani garam tradisional, padahal kita mempunyai laut yang luasnya 2 kali lipat lebih besar daripada daratan). Alhasil, mereka tidak dapat mengembangkan kapital secara mandiri dan dipaksa bergantung pada system oligharki finansial.
System produksi semi feodal mengandalkan monopoli tanah dan senantiasa melaksanakan penambahan luas lahan untuk dikuasi sebagai jalan utama untuk meningkatkan produktifitas (di depan tadi saya telah mengatakan bahwa lahan perkebunan akan terus melebar sementara lahan pertanian rakyat, terutama yang diperuntukkan untuk persawahan menanam padi akan terus berkurang. Inilah penjelasan atas pernyataan di atas tadi). Keuntungan dari produksi di atas tanah yang lama diperoleh dengan mengandalkan tenaga kerja murah dan alat kerja terbelakang semata. Sebagian besar keuntungan tidak diinvestasikan kembali untuk memodernkan alat kerja dan melatih buruh untuk meningkatkan produktifitas.
Sistem semi feodal adalah karang raksasa penahan laju lahirnya industri dan industrialisasi Indonesia. Perkembangan tenaga kerja mengalami stagnasi. Pengetahuan dan kapasitas pekerja dibelenggu alat kerja terbelakang yang tidak membutuhkan tenaga kerja terampil dan berpengetahuan, lebih dari itu, produksi pertanian dan industri semacam itu hanya mampu menampung tenaga kerja dalam jumlah yang terbatas sehingga akan mempertajam persaingan antar tenaga kerja untuk mendapatkan kesempatan kerja yang amat terbatas dan sangat birokratis tersebut. Keadaan ini, secara sistematis akan menekan tingkat pendapatan (besaran upah) buruh tani di pedesaan dan buruh pekerja di perkotaan dan pinggiran kota.
Monopoli atas tanah menyebabkan semakin terkonsentrasinya tanah di segelintir tuan tanah besar yang akan terus melancarkan perampasan tanah, teristimewa dalam situasi krisis imperialis yang memuncak. Akibatnya kaum tani yang kehilangan tanah dan yang hidup dari tanah seadanya semakin banyak jumlahnya di pedesaan dan daerah pinggiran kota. Keadaan ini dimanfaatkan dengan kejam oleh para tuan tanah untuk melipatgandakan keuntungannya dengan mempraktikkan sewa tanah yang mencekik, peribaan dengan bunga tinggi, upah buruh tani yang sangat rendah dan tengkulakisme yang semakin merajalela.
Sistem semi feodal ini sangat menguntungkan bagi imperialis dan klas reaksioner dalam negeri. Oleh karena itu, dengan sekuat tenaga dan penuh kekerasan mereka akan mempertahankannya. Pasca perang dunia ke-2 imperialisme telah memperkenalkan sistem semi kolonial untuk menjaga dan mempertahankan sistem semi feodal dari kemungkinan perlawanan yang dilancarkan oelh seluruh klas terhisap dan tertindas. Mesin politik dan kebudayaan dibangun dan terus diperkuat dengan satu tujuan melindungi sistem semi feodal dan semua aset dan kepentingan kaum imperialis dengan cara menindas kekuatan potensial perlawanan rakyat dan klas buruh, kaum tani dan mahasiswa yang berontak terhadap sistem jahanam tersebut.
Mesin utama dari negeri reaksioner Indonesia adalah pemerintahan boneka (SBY-Boediono) yang pro imperialisme dan kapitalisme. Pemerintah boneka bertugas untuk membuat undang-undang dan atau kebijakan-kebijakan sesat demi dan untuk kepentingan imperialisme belaka. Di tengah penderitaan rakyat yang terus menderas, pemerintah boneka hanya dapat memerintah apabila dilengkapi dengan instrument penindas yang spesial, yaitu setan hijau dan setan coklat (TNI-Polri) serta laskar-laskar sipil yang terlatih dan dipelihara oleh pemerintah boneka tersebut (itulah sebabnya di Indonesia ini banyak sekali laskar-laskar tidak jelas dan sangat reaksioner dan menjadi kekuatan potensial yang selalu saja berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah boneka untuk menghabisi gerakan-gerakan ataupun organisasi yang mengambil sikat berseberangan dengan penguasa. Biasanya golongan ini berasal dari kalangan agamis yang kelewat fanatik dan kolot. Agaknya penguasa berhasil dengan baik memanfaatkan pertentangan antara kaum Islam dan Katholik binaan Pastor Beek di satu pihak dengan kekuatan ideologi kiri di pihak lain, dan belakangan bertambah dari barisan Kristen Protestan kharismatik yang berkembang dari Amerika dan Inggris).
Pemerintahan boneka terus-menerus berusaha menyempurnakan instrumen “Demokrasi” nya sebagai topeng untuk menipu dan mempermainkan aspirasi rakyat. Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, MA, Jaksa Agung, kabinet dan berbagai macam komisi dan badan pengawasan serta auditor-auditor dibentuk dalam kerangka tersebut. Demikian juga halnya dengan General Election (PEMILU). Sistem politik Amerika yang dijalankan oleh borjuasi besar monopoli adalah rujukannya yang paling utama, tentu saja dengan beberapa modifikasi agar sesuai dengan gaya dan selera borjuasi nasional.
Dominasi politik saja tidak cukup (karena sebagaimana Pramoedya Ananta Toer pernah berkata bahwa kekalahan politik tidak berarti kekalahan budaya, tetapi kekalahan budaya pastilah berarti kekalahan politik dan akan berimbas pada kekalahan ekonomi dan kekalahan di segala sendi kehidupan), maka untuk memastikan kekuasaannya berlangsung dalam waktu yang panjang (Seperti Soeharto), maka dominasi kebudayaan, terutama di bidang pendidikan dan pengetahuan harus dilaksanakan (maka jangan pernah heran mengapa biaya pendidikan begitu besar di negeri Indonesia ini, agar para peserta didik lebih fokus pada usaha menyelesaikan pendidikannya ketimbang belajar hukum dan politik). Sekolah, Universitas, media massa (yang seharusnya mencerminkan realitas malah mendistorsi realitas itu sendiri), berbagai jenis kesenian, gaya hidup, makanan dan sebagainya harus dibuat dan dikendalikan oleh mereka agar rakyat bersedia mengabdi pada imperialisme, sekaligus mengeliminir potensi resistensi rakyat.
Imperialisme dan rejim bonekanya memiliki begitu banyak mesin untuk menindas sekaligus memiskinkan rakyat secara sistematis. Coba kita sama berpikir. Sesungguhnya, bila seluruh sumber daya alam, baik yang berada di atas permukaan bumi, di bawah perut bumi dan di dalam lautan yang maha luas ini tidak dikelola dalam sistem produksi lama sisa feodalisme dan tidak di bawah control imperialisme, maka akan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita dan membangun industri nasional dan tidak perlu mengharapkan inventasi maupun segala macam bentuk pinjaman luar negeri.
Bila anda tidak sepakat dengan apa yang saya tuliskan ini, tolong berikan alasan dan penjelasan anda. Karena di atas saya telah memaparkan bahwa Indonesia ini sama sekali tidak mempunyai alasan dan prasyarat untuk menjadi Negara miskin. Lalu mengapa Indonesia kita ini menderita kemiskinan yang demikian akut?

Selasa, 16 November 2010

Pantai, Pasir dan Angin

dipantai....
gerimis mengarsir matahari terbenam
tak ada burung camar bersahutan
hanya aku, sebotol bir hitam
dan bayangmu yang timbul tenggelam dalam buaian ombak, yang
bergulung menghantarkan rindu yang membuih

dipasir....
kulukis resah
aku tak mau seperti karang
perlahan terkikis menuju ketiadaan
aku ingin seperti angin
semakin dihajar; semakin tegar
semakin dihadang; semakin kencang.

Bukan Sajak Romantis

kita terlalu sabar

selalu diam ketika dikhianati

dan, mereka semakin liar menari

di atas genangan darah anak negeri

melawan kepal tangan dengan senapan

melawan spanduk dengan peluru tajam



hiraukah?

ketika kekayaan negeri diperkosa, dan

dinikmati rakyat negeri raksasa nun jauh di sana?

ini bukan sajak mendayu

sebab sejak lama petani menanam di petak-petak harap yang sekarat

ini bukan sajak romantis

sebab sejak lama kita berpeluh dan berupah serapah



sejenak,

lupakan sketsa estetika kata, dan

standar baku sajak gaya penguasa

gunakan darah dan air mata sebagai tinta.

Jogja Java Carnival 2010

Hmmmmm....Pertanda apa ini? hari ini aku kembali duduk di tempat ini bersama 4 orang teman yang semuanya perempuan, tepat di depan mirota batik Jl. Malioboro. ah...sudahlah, aku tidak mau berpikir macam-macam atau bermain-main dengan masa lalu, yang belum sepenuhnya mampu kubunuh dari ingatan.


Ribuan orang tumpah ruah di Malioboro, menunggu karnaval yang ternyata membosankan. tepat di sini, di tempat aku dan teman-temanku berdiri sekarang, suatu hari di masa yang telah lewat, ada pentas musik dan aku tepat berdiri disini menyaksikan penampilan kawan-kawan pengamen jalanan yang diberi kesempatan untuk unjuk kebolehan.

Lagi-lagi aku tidak mau larut dalam cerita yang telah lewat itu, dan aku enggan menyebutnya kenangan. Biarlah semua mengalir menuju muaranya masing-masing dengan kehendaknya masing-masing karena Sang Empunya hidup tentu sudah membuatkan skenario takdir yang harus dijalani oelh setiap ciptaannya. Relakanlah...bathinku sambil mengelus dada dan sesekali menghembuskan asap rokok yang pekat dan berbau laknat.


*Yogyakarta Mei 2004: Sore hari seorang teman berinisial "D" menelephone dan meminta aku menemani dia melihat pesta kembang api di alun-alun utara setelah acara penutupan 'SEKATEN' dan aku bersedia menemani dia. sembari menunggu digelarnya pesta kembang api itu, ada sepenggal percakapan diselingi semangkok ronde panas yang terpaksa dibagi berdua, bukan karena ingin romantis-romantisan, tapi karena status sebagai anak kost memaksa kita untuk berhemat. hahahahaha..hihihihihihi...percakapan yang renyah dan mengalir. saling menatap, lalu tertunduk malu dan kemudian tertawa lagi.

Karena pesta kembang api yang ditunggu-tunggu belum juga dimulai, kami beranjak dari alun-alun Utara menuju jl. Malioboro, kebetulan beberapa teman dari komunitas "Seni Jalanan" membuat pentas musik anak jalanan, tepat di tempat kami berdiri menyaksikan karnaval tadi. Percakapan di alun-alun Utara tadi tidak terbawa sampai ke tempat ini karena suasana yang tiba-tiba tegang. Mirota Batik Jl. Malioboro tiba-tiba terbakar. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke alun-alun Utara untuk melihat pesta kembang api penutupan Sekaten. sayang seribu kali sayang, dari panitia pelaksana kami mendengar bahwa pesta kembang api dibatalkan. Dongkol setengah mati rasanya, bukannya menyaksikan pesta kembang api yang mewah, malah melihat kebakaran yang tragis. Di perjalanan pulang praktis tak ada percakapan di antara kami, mungkin karena capek, kesal dan dongkol karena yang ditunggu-tunggu malah dibatalkan. Entahlah di mana kini kau berada, tapi aku tahu kau pasti sedang berbahagia dalam pelukan dia yang sangat mencintaimu dan yang kau cintai setengah mati.*


Tadi, kami harus pulang jalan kaki karena tak ada taksi yang kosong akibat berjubelnya manusia yang berebut kendaraan pulang. sampai di depan gedung BI ada kembang api dari arah perempatan Malioboro yang berterbangan ke angkasa, semakin lama semakin besar dan banyak, warna-warni dan terus membesar. Bangsat!! akhirnya aku larut juga dalam jerat masa lalu yang berakhir tidak indah antara kita. Kembang api sialan, tak ditunggu kehadiranmu tapi kau datang menghajar ingatan dan melemparkan aku jauh ke suatu malam enam tahun yang lalu. sesekali aku melihat ke belakang, dan sengaja berjalan di belakang. tiba-tiba saja kelopak mataku panas, ada dua manik mengembang di sana, dan tiba-tiba saja dada menyesak dan nafas tertahan di tenggorokan. seketika haru yang teramat sangat membuat rongga dada terasa sempit. ah....masa lalu yang selalu saja tak mampu kubunuh sepenuhnya.

Sengaja kutinggalkan langkahku di belakang teman-teman yang lain. aku tak mau terlihat terpukul, dengan alasan melihat kembang api yang seakan mengejekku itu aku menghapus air mata sialan yang tak mampu kubendung lagi. di sayidan, kami berhenti. membuat beberapa photo. tapi aku merasa sendiri, tiba-tiba.


*Yogyakarta September 2003, Kita bertukar buku saat detik-detik menjelang perpisahan, sama-sama berurai air mata, berpelukan erat. Di sampul belakang The Book of Laughing and Forgetting nya Milan Kundera yang kuberikan kepadamu aku menulis, "Kita adalah sepenggal kisah tentang kebesaran hati dan kerelaan. Memilih untuk berpisah untuk mematangkan pemaknaan terhadap kehidupan. Aku bersyukur karena tak setitik noda pun pernah kutitipkan padamu." dan di sampul belakang L'Immortalite nya Milan Kundera yang kau berikan kepadaku kau menulis, "Biarlah segenap alam raya dan isinya mengatakan kita berpisah, tapi kita tahu bahwa semua yang terjadi di antara kita hanya karena waktu dan takdir tidak berpihak kepada kita." dan kita pun melemparkan sim card kita berdua ke dalam kali dari jembatan sayidan dan sepakat untuk tidak akan mencari keberadaan masing-masing, kita akan saling menghapus kenangan. Kalau pun kelak kita akan bertemu kembali, biarlah takdir yang akan mempertemukan kita, bukan kehendak dan keinginan kita. Kau menstarter sepeda motormu menuju malioboro dan aku memacu sepeda motor (pinjaman) ku menuju Kusuma Negara. Sungguh indah, dua gerak berlawanan terjadi sekaligus dalam waktu yang bersamaan.*


Melanjutkan perjalanan menuju Taman Siswa dengan rasa yang semakin bercampur aduk. Sesampainya di Taman Siswa aku memilih langsung pulang, tapi begitu taksi sampai di pertigaan kusuma negara aku minta ke pak sopir untuk kembali ke sayidan. menghabiskan sebatang rokok dan kulemparkan puntung laknak itu ke dalam sungai seperti saat kami melemparkan simcard untuk menghapus jejak kedekatan yang telah sempat kami bina. lalu melaju menuju block O. aku ingin jatuh dalam pelukan tidur yang nyaman. tapi, sulit untuk mengajak mata terpejam. masa lalu itu terlalu berat menghajarku. Damailah kiranya hidupmu dan hendaknya segala kebaikan hidup selalu berpihak kepadamu.


Tadi, aku kembali berdiri di tempat yang sama dengan tempatku berdiri enam tahun yang lalu, entah pertanda apa semua ini?

Senin, 15 November 2010

CATATAN PERJALANAN

Catatan Perjalanan I

(Jakarta-Jogja)

12 Sept ‘10

Entah sejak kapan batu-batu itu berserakan di sana menutupi bantalan rel. Mungkin salah satunya atau beberapa ada yang setua riwayat kereta api itu sendiri. Stasiun Gambir pukul 07.00 WIB, kereta baru akan berangkat satu jam lagi. Kalau aku tidak dilanda disorientasi arah, sekarang aku sedang menghadap utara, di sana berdiri dengan megah Monumen Nasional, terlihat gagah, meskipun bagiku secara estetika tidak indah. Ia terlihat gendut, tepatlah kiranya Monas menjadi symbol negeri ini, symbol kerakusan pejabat-pejabat korup dan gendut. Sedang emas yang terletak di puncaknya menjadi symbol ketololan. Mempunyai negeri kaya, tetapi kekayaannya justru dinikmati oleh negeri-negeri raksasa nun jauh di sana. Satu-satunya Negara yang menempatkan emas di puncak menara yang menjadi trade mark negaranya justru Negara yang menderita kemiskinan yang demikian akut.

Jika benar aku sedang menghadap kea rah Utara, maka di belakangku adalah Selatan dan gedung yang tepat terletak kira-kira dua ratus meter di belakangku itu pastilah eks gedung School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA), sekolah dokter pertama di Indonesia. Sebuah jejak sejarah dalam pergerakan menuju Indonesia merdeka. Masih dapat kurasakan semangat para calon dokter muda itu yang secara sembunyi-sembunyi di tengah kesibukan dan beban pelajarannya mereka masih menyempatkan diri untuk berdiskusi dan membentuk pergerakan menuju Indonesia merdeka.

07.30 WIB kereta sudah memasuki stasiun Gambir. Ak naik ke dalam kereta dan menaikkan bawaanku ke dalam bagasi di atas tempat dudukku. Aku sangat menikmati perjalanan dengan kereta api karena sabuk besi yang mengalungi bumi Jawa ini juga sarat dengan sejarah perjalanan bangsa ini. Jangan bayangkan rel ini dibangun dengan alat-alat berat seperti di jaman sekarang. Besi rel lintasan dan kayu bantalan dipanggul oleh para pekerja yang tentu saja secara paksa dipekerjakan oleh yang dipertuan. Pada awalnya rel dan kereta api ini hanya diperuntukkan untuk transportasi tebu dan gula yang setiap tahunnya memberi keuntungan jutaan gulden kepada Netherland sebagai Negara induk. Pembangunan jalur kereta api ini penuh dengan kisah pilu dan merupakan kisah genochida yang memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Pembangunan jalur kereta api ini sama saja kisahnya dengan pembangunan jalan raya pos atau jalan raya daendels yang menghubungkan ujung barat pulau jawa sampai ujung timur pulau Jawa yang peruntukannya hanya untuk mempermudah transportasi dan perpindahan pasukan penjajah untuk memadamkan pemberontakan dan perlawanan di seluruh bumi Jawa. Menyedihkan.

Lengking peluit dan klakson kereta menyadarkan aku dari lamunan akan suatu masa yang telah begitu lama berlalu. Kereta melaju ke Barat Meninggalkan Gambir, Jati Negara, Buaran, Bekasi, Lemah Abang, Karawang. Sampai di sini kembali aku teringat akan pasukan Republik yang semakin hari semakin terdesak kedudukannya karena sweeping yang terus-menerus dilaksanakan oleh pasukan Belanda untuk membersihkan Jakarta. Antara Karawang-Bekasi, beribu kami mati, bunyi sajak Chairil Anwar. Meninggalkan Karawang menuju Tasik terus meluncur menuju Cirebon, aku jatuh ke dalam dekap tidur yang nyaman. Hawa panas diluar tewas oleh tikaman AC yang dingin dan nyaman, tapi membuat kulit kering dan keriput.

Aku terbangun ketika kereta memasuki Purwokerto. Tak ada yang istimewa di kota ini, mungkin karena aku tak pernah mengalami peristiwa apapun di kota ini. Aku kembali tertidur dengan sedikit rasa lega karena kutahu, 3 jam lagi aku akan sampai di Jogja.

Kembali aku terbangun ketika kereta memasuki Kutoarjo, Purworejo, semakin dekat dan aku semakin mengenali petak-petak sawah ini, aku semakin mengenali jalanan, gapura dan semua bangunan ini. Wates, Kulon Progo, lalu perlahan memasuki Jetis. Yah….aku sudah mengenalmu dengan lekat. Sebentar lagi aku akan berkeliaran di atas tanah dan jalananmu, kota kecintaanku.

Kereta berhenti, aku menurunkan bawaanku dan bergegas Turun. Lama sekali aku memandangi Stasiun itu, seakan-akan aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Dia terlihat begitu istimewa, padahal, dulu ketika masih berdiam dan hidup di kota ini, aku tak pernah peduli terhadap keberadaannya.

Keluar dari stasiun Tugu, aku tertegun memandangi Hotel Tugu yang sudah termakan usia. Aku menatap sirene yang dijadikan sebagai pertanda berakhirnya jam malam seperti yang ditetapkan oleh pemerintahan penjajah Belanda yang justru dijadikan oleh laskar rakyat dan tentara Republik sebagai suatu pertanda dimulainya Serangan Umum Satu Maret dan menguasai Jogja selama enam jam sebagai bukti kepada dunia internasional bahwa Republik belum tamat riwayatnya baik secara de facto maupun secara de yure. Untunglah aku bukan seorang penjahat kelamin atau hobbies “Wisata Lendir”, jadi aku langsung menuju rumah seorang teman yang sudah berbaik hati menyatakan kesediaannya untuk menampungku selama aku di Jogja ini tanpa singgah di pasar kembang (flower market/sarkem) yang terletak persis di samping stasiun Tugu Jogja. Kalau di antara kalian ada yang doyan berwisata lender atau “jajan” atau sekedar “numpang celup” silahkan berkunjung ke sana, tapi jangan lupa membawa perlengkapan dan “Helm” untuk keselamatan anda. Harga yang ditawarkan sangat bersahabat, tapi harap maklum karena kelas ekonomi jadi kualitas yang ditawarkan pun hanya seadanya saja, hanya sekedar bisa “ numpang celup” saja.

Pertemuan dengan seorang kawan lama, sungguh, dia tetap cantik dan mempesona, sama seperti permunculannya yang pertama dulu. Begitu rupanya orang cantik, sekali cantik tetap cantik. Hidup cantik!! Hahahahaha. Pernah juga sih hampir nembak dia pakai megaphone, lengkap dengan lagu-lagu perlawanan dan atribut aksi. Heroik kali ya? Tapi mungkin dia akan menganggap aku gila kalau sampai aku benar-benar melakukannya. Hahahahahaha

Jogja…oh…Jogja. Aku kembali berdiri di atas tanahmu dan menghirup udaramu, semoga kali ini aku mendapatkan kekuatan lebih dari yang kuinginkan.

Catatan Perjalanan II

(Jogja-Malang)

18 sept ‘10

Beginikah rasanya Sendiri itu? Gerbong berderit-derit dalam kebisingan yang sia-sia karena tak ada yang sudi mendengarnya secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Gerbong-gerbong besi merayapi rel yang sejak purba mengalungi bumi Jawa Dwipa.

Aku kedinginan, sementara aku tidak tega mengarahkan AC ke arah ibu muda dan anaknya yang masih kecil yang juga sama kedinginan di sebelahku. Aku menghadapai dinginnya AC itu bak pahlawan, dengan duduk yang sengaja digagah-gagahkan dan kadang melempar senyum yang juga sengaja dimanis-maniskan kala ibu muda itu melemparkan senyum yang kutahu pasti tak akan membuat dia rugi karena telah melakukannya. Aku tahu cara memperlakukan wanita dengan hormat.

Sosokmu menari-nari pada pal-pal batu yang setiap sekian detik sekali terlewatkan satu demi satu. Hari sudah pagi ketika aku terbangun, celingak-celinguk ke luar jendela , akhirnya aku tahu bahwa ular besi yang kutumpangi ini sudah memasuki kota Kediri. Aku semakin dekat pada kota yang kutuju. Di belakang, kota yang tadi malam kutinggalkan, yang mendekapmu dalam pelukan tidur yang nyaman semakin jauh kutinggalkan. Lengking panjang peluit di Stasiun Tugu masih lekat di telingaku. Begitu menyayat dan klakson kereta yang membelah heningnya malam pada pukul 23.59 WIB membuat hati semakin rawan. Peron sesak oleh para penjemput dan penghantar. Kulewati semua dengan kesedihan. Para penjemput bersalaman dan berpelukan hangat ketika bertemu dengan orang yang dia nantikan kedatangannya, para penghantar bersalaman dan berpelukan berurai air mata dengan orang yang dia hantarkan keberangkatannya. Aku benar-benar merasa sendirian. Tak ada yang menyalami atau memelukku dengan hangat. Aku merasa sangat sendiri dan kesepian, tiba-tiba.

Kereta terus melaju ke a rah Timur, sekarang sudah memasuki Blitar, kota para pemberani dan “merah”. Sebentar lagi aku akan memasuki kabupaten Malang. Ibu muda yang duduk di sampingku mulai merapikan rambut dan pakaian anaknya yang ternyata adalah anak perempuan, mungkin usianya hampir sama dengan dengan gadis kecilku yang harus kutinggalkan selama sebulan ke depan. Wajah ibu muda itu tampak berseri-seri, dan sekali lagi ia melemparkan senyum manisnya ke arahku. Aku tahu, sesungguhnya ia mau berkata bahwa sebentar lagi ia akan bertemu dengan suaminya yang tercinta, dan ia senang karenanya. Betapa hidup akan begitu nikmat bila memiliki istri yang setia seperti dia. Aku tak menemukan nada genit dan menggoda pada senyum manisnya, tak juga kerling mata.

Hingar-bingar suara dari ruang informasi berbaur dengan keributan manusia yang mempunyai kepentingan berbeda kala aku turun di stasiun Kota Baru, Malang. Lalu-lalang tanpa tegur sapa, lagi-lagi aku merasa sendirian. Tak ada yang menjabat tanganku atau memelukku dengan hangat. Aku sudah sampai di kota yang kutuju, tiga minggu akan kuhabiskan di kota aple ini. Setelah semua ini selesai, aku akan kembali ke Jogja untuk memunguti sisa-sisa masa mudaku yang begitu banyak berceceran di sepanjang jalan Malioboro, Jembatan Sayidan, Alun-alun, jalan Gejayan, Mrican baru…..ah…sepinya.

Catatan Perjalanan III

(Malang-Jogja)

12 Okt ‘10

Gajayana sudah mulai memasuki Stasiun Kota Baru Malang pada pukul 16.00 WIB. Aku naik ke dalam kereta dan menaikkan barang bawaanku ke dalam Bagasi di atas tempat dudukku sesuai dengan yang tertera di dalam tiket. Ada sepasanga suami istri muda yang duduk di tempat dudukku. Si laki-laki langsung berdiri, dia meminta maaf lalu berniat untuk pindah ke bangku yang lain. Lalu aku maklum bahwa hanya salah satu dari mereka yang akan berangkat. “Gak apa-apa mas, santai saja. Silahkan dilanjutkan.” Kataku, lalu beranjak turun, kebetulan aku ingat pesan seorang teman untuk membelikan apel dan aneka keripik khas Malang.

16.25WIB, lima menit lagi kereta akan berangkat. Aku kembali naik ke atas gerbong 7 menuju bangku 10B tempat dudukku. Pasangan muda itu berpelukan tanpa sungkan, lalu cium pipi kiri, cium pipi kanan, lalu si laki-laki berjalan turun setelah mengucapkan selamat jalan kepada istrinya yang cantik. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih atas pengertianku memberinya waktu berduaan dengan istrinya yang tercinta. Betapa bahagianya hidup bila memiliki seorang istri cantik dan setia seperti dia. Aku mengangguk kecil dan tersenyum getir karena aku kembali sadar bahwa kali inipun tak ada yang menghantarkan keberangkatanku, tanpa salam hangat atau pelukan yang erat.

Begitu kereta berjalan aku langsung memutuskan untuk jatuh ke dalam pelukan tidur yang jarang kudapatkan belakangan ini, perempuan cantik di sebelahku ini tampak kedinginan, aku tidak berani menawarkan selimutku kepadanya karena aku menghormati suaminya yang bahkan namanya saja tak sempat kutanyakan tadi. Aku menyingkirkan selimut yang masih terbungkus itu ke sampingku, berharap ia meminta ijin untuk memakainya. Ah….kali inipun aku belum juga bisa tertidur, sementara perempuan cantik di sampingku ini sudah lelap begitu dalam dalam buaian mimpi. Kuteliti wajahnya. Dia begitu cantik, putih, hidungnya bangir. Benar-benar cantik bukan buatan, lalu turun ke leher dan terus ke bawah leher. Masyaallah….aku kembali menaikkan pandanganku ke wajahnya, daerah bawah leher itu adalah daerah terlarang untuk kulihat. Hehehehehe. Ternyata, secantik-cantiknya orang, pasti punya sisi jelek juga. Dia tidur dengan mulut yang terbuka lebar. Aku benar-benar tidak bisa menahan tawa melihatnya, lalu aku keluar dari gerbong menuju persambungan antar gebong untuk merokok.

Kulukis wajahmu dengan gumpalan asap rokok berbau laknat, memberi nikmat yang sesaat, sisanya adalah kesumat. Ah…sungguh, seandainya ada obat yang mampu menciptakan Amnesia parsial permanen dan kita dapat menentukan bagian mana dalam kejadian hidup kita yang ingin didelete dan dihapus secara permanen, tentulah aku sudah mengkonsumsi obat itu. Bayangmu menari-nari di petak-petak sawah, hutan pinus dan formasi pebukitan yang kecil mengecil di kiri-kanan jalur kereta.

Tepat pukul 22.00 WIB ada pemeriksaan tiket, aku tidak tahu kereta sudah sampai di mana, dan aku benar-benar tidak mau tahu. Yang kutahu hanyalah bahwa satu jam empat puluh lima menit lagi aku akan sampai di jogja. Ternyata perempuan cantik disebelahku ini juga akan turun di Jogja, hanya dalam waktu kurang dari dua jam kami akan tiba dan turun di Jogja, lalu berpisah menuju arah kami masing-masing tanpa ada jaminan bahwa sutu saat kelak akan ada pertemuan kembali, tapi kami sama-sama tidak tertarik pada perkenalanan yang sesaat. Dia asyik dengan ponselnya, dan akupun begitu, kalau kebetulan saling bersitatap kami hanya saling melempar senyum, lalu kembali asyik mengupdate status dan menjawab beberapa koment. Kami benar-benar enggan untuk saling berbasa-basi.

Kereta sudah sampai di Stasiun Tugu dan perempuan cantik di sebelahku ini masih tertidur pulas, selesai menurunkan semua bawaanku dari bagasi, aku membangunkan perempuan cantik ini dengan menyentuh pundaknya, dia tampak tergagap dan kaget ketika aku melakukan itu dan serta merta dia menyilangkan kedua tangannya di dada. Aku tidak tahu kenapa rata-rata perempuan yang merasa terancam selalu menyilangkan kedua tangannya di dada berusaha untuk melindungi payudaranya? “Mbak, sudah sampai di jogja, dan kereta hanya akan berhenti selama 10 menit. Mbak mau ikut sampai Jakarta?” candaku, lalu aku turun dari atas kereta tanpa pernah menyesal tidak sempat berkenalan dengan perempuan cantik itu.

Seorang teman lama menjemputku dan menyambutku dengan salam hangat. Aih….ini kali pertama aku mendapat sambutan selama perjalanaku ini. hehehehehe. lalu bercerita sampai dinihari ditemani secangkir kopi dan beberapa batang rokok, lalu jatuh ke dalam tidur yang teramat dalam.

Catatan Perjalanan IV

(Jogja-Jakarta)

19 Okt ‘10

Ada banyak cerita di kota yang sangat kucintai ini, pertemuan dengan beberapa orang kawan lama dan beberapa kisah yang memilukan.

Apapun dan bagaimanapun bentuk dan wujudnya, Jogja tetaplah Jogja, meskipun sekarang kearifan, keanggunan, keramahan dan kenyamanannya sedikit demi sedikit tergerus oleh perubahan jaman yang secara perlahan merusak fisik dan jiwa kota ini, dia tetaplah Jogja yang kucintai meskipun tiba-tiba saja aku merasa asing dan belum pernah mengenal kota ini sebelumnya, toh aku telah menghabiskan seperempat usiaku di kota ini.

Kadang aku mengeluh karena warung gulai ayam tempat kami biasa nongkrong ketika masih kuliah dulu sudah berpindah tempat, meskipun hanya berpindah tempat ke sebelah sejauh satu pintu. Gulai ayam warung kerai itu memang masih tetap enak, tapi rasa enaknya sedikit berkurang karena dia tidak lagi berada di tempat yang sama seperti dulu. Ada harga kenangan yang berkurang dan sedikit tereduksi. Kadang juga mengumpat dalam hati bila angkringan pak de Noto di depan secretariat Palawa di samping kampus Mrican tidak buka.

Pukul 23.15 WIB aku pernah nongkrong di sini, di angkringan pak de Noto. Aku heran karena sudah tidak ada lagi tumpukan nasi kucing di atas meja seperti dulu. Karena heran aku bertanya, “Pak de, segonipun sampun telas nggih?”

“Urung mas, isih akeh kok.” Kata pak de Noto lalu membuka tutup termos tempat penyimpanan nasi dan memindahkannya ke dalam piring, lalu ada sayur, telur dadar, lele goreng. Tempat ini begitu bersejarah dalam hidupku, tiba-tiba saja aku merindukan suasana Jogja tempo doeloe. Aku merindukan angkringan dengan tumpukan bungkusan nasi kucing, aneka gorengan, aneka sate murahan, segelas kopi tubruk, sebatang djarum 76 dan obrolan yang hangat, gayeng dan guyub. Sekarang, sepertinya pak de Noto sudah tidak sempat lagi ngobrol dengan para pelanggannya karena sibuk menggorengi telur dan lele. Sungguh, para pendatang yang mendiami Jogja yang sekarang tidak tahu cara menjaga kearifan dan kesucian Jogja, tanpa tabik dan nderek langkung tiba-tiba saja merubah Jogja dengan semaunya dan sekehendaknya sendiri saja.

Banyak hal yang berubah dari Jogja, tapi aku tidak berhak menilai apakah ia berubah kea rah yang lebih baik atau lebih buruk, toh tak akan ada peradaban yang statis. Dia akan terus berkembang mengikuti arus jamannya. Sedih memang melihat Jogja yang seperti ini sekarang, dan jauh di lubuk hati yang paling dalam aku bersyukur, sangat bersyukur pernah hidup dan merasakan atmosfer Jogja di tahun 90’an sampai awal 2000’an. Aku merasa sangat beruntung karena masih sempat merasakan betapa bersahabatnya dan betapa hangatnya Jogja di masa lalu. Tapi sudahlah, toh Jogja sudah berubah, tak perlu terlalu melankolis menyikapinya. Apapun dan bagaimanapun bentuk dan wujudnya sekarang, Jogja tetaplah Jogja, meskipun kelak bila ia harus berganti nama, ia tetaplah Jogjaku, Jogjamu, Jogja kita.

Setelah dua tiket kereta api yang batal dipakai akhirnya aku berangkat juga meninggalkan Jogja tercinta ini menuju Jakarta. Karena keuangan yang muai menipis, aku terpaksa naik kereta api kelas bisnis. Bangun pagi tanpa berpamitan kepada siapapun, aku berangkat sendiri ke Stasiun Tugu. Aku tahu, beberapa orang teman pasti akan marah dengan keputusanku ini karena ada beberapa yang pasti bersedia dan mau mengantarkan aku ke tasiun Tugu jika aku memintanya.

Aku benar-benar sendirian sekarang, di dalam kereta gerah karena kipas angin macet. Tapi aku merasa dingin dan sendirian. Ada airmata yang tak tertahankan ketika kereta bergerak ke Barat meninggalkan Jogja. Masih ada sebertik keraguan dikala “pulang” bukan lagi menjadi sebuah pilihan bijak, di sisi lain, Jogja pun sudah berubah dan bukan lagi menjadi sebuah pilihan yang tepat karena tentu saja kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan mencegah semua ini terjadi. Kita tidak berdaya dan tidak mampu melakukan apa-apa untuk membelokkan arah jalannya hidup itu sendiri, bukan? Yah…pasrah akhirnya adalah satu-satunya kesimpulan terbijak yang mampu kubuat pada saat ini. Tentu saja aku sadar akan segala konsekuensinya, toh bernafas pun ada resikonya. Jika “Pulang” nanti aku sudah siap untuk hancur dan lebur di sana. Menamatkan usia dalam rasa sakit, toh inilah jalan takdirku. Amor fati….amorfati….aku harus menerima dan mencintai takdirku, seperti Sisipus dalam mitologi Yunani yang terus saja menggulingkan batu besarnya ke puncak bukit meskipun batu itu tidak akan pernah bergerak ke mana-mana sebagai bentuk pemberontakan dan kecintaannya terhadap takdirnya.

Kereta terus melaju kea rah Barat. Sosokmu terus saja berkelebatan menghajar ingatan. Senyum, tawa, cemberut, meringis, menangis, marah dalam berbagai bentuk dan rupa berlintasan serupa slide show di dalam benakku. Sebatang rokok tak berhasil menindas eksistensimu dari dalam ingatanku. Sewaktu kereta meninggalkan Purwokerto di kiri jalur kereta aku melihat hutan pinus yang lebat. Entah mengapa, butan pinus begitu mempesona dan mengingatkan aku pada suatu malam di tahun 2001. Setiap kali melintas atau sekedar melihat hutan pinus pikiran dan perasaanku terbang kembali ke masa itu, seorang perempuan cantik tapi kurus saling berbagi kekuatan denganku lewat genggam erat telapak tangan menyusuri hutan pinus, dan jalan setapak yang licin dan gelap. Betapa aku merasa beruntung pernah diberi kesempatan untuk berkenalan dan jatuh cinta kepadanya, meskipun takdir dan waktu tak pernah berpihak kepadaku. Toh, tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan.

Kereta terus Melaju ke arah Barat, semakin jauh meninggalkan Jogja yang tentu saja tak pernah merasa kehilangan atas kepergianku. Getir, sementara aku terus saja merasa terluka mengetahui kenyataan bahwa Jogja bukanlah Jogja yang sama dengan Jogja yang pernah kukenal dulu. Kali ini aku tidak mau terlelap dan tidur. Aku ingin menikmati setiap detik dan setiap jengkal perpisahan ini. Ah…sudahlah. Tak perlu secengeng ini.

Memasuki Karawang, Lemah Abang, Buaran, Jati Negara. Aku turun di stasiun ini, membawa semua barang bawaanku yang terasa semakin berat oleh semua cerita yang kali ini mau tidak mau harus kusebut “Kenangan”. Tas kamera menyilang di pundakku, ransel menggelayut manja di punggungku dan sebuah travelling bag beroda kuseret dengan sejuta kenangan itu.

Tadi pagi aku berangkat ke Stasiun Tugu, dan kau berangkat ke kantor, sebentar lagi kau mungkin akan pulang kerumah dan aku sudah sampai di Jakarta, mungkin dalam beberapa hari lagi aku sudah tiba di medan, lalu menempuh perjalanan 1.5 jam menuju Berastagi. Betapa cepat hidup berpindah dan berlalu, lalu kita sadar bahwa kita belum beranjak ke mana-mana dan belum berhasil menjadi siapa-siapa.

Aku akan pulang, meskipun “pulang”: bukanlah sebuah pilihan bijak mengingat semua yang terjadi belakangan ini. Ya aku berani menanggung semua akibatnya. Padove ti puerta il cuore, pergilah ke mana hati membawamu, itu hal yang sangat mudah untuk kulakukan pada saat ini, tinggal kembali ke Jogja saja. Tapi, maaf untukmu orang Italia yang sok bijak menciptakan kata-kata bijaksana ini, aku akan pergi ke arah yang berlawanana dengan kehendak hatiku. Aku akan kembali ke pelukan dia yang telah kupilih dengan sadar untuk menemami hatiku merenangi genangan hidup yang keruh ini. Ya, aku tetap berani mengatakan ”ya” terhadap panggilan takdirku. Dan Kau, aku menantangmu. Baiklah aku akan bertahan dan kembali pulang. Akan kulihat batas kemampuanmu, sampai kapan kau akan sanggup merajut temali dalam diam dan mendekapku dengan belati yang kau selipkan di balik punggungmu. Jogja telah memberiku kekuatan yang lebih dari yang kubutuhkan. Tikam…o…tikamlah aku. Kita akan lihat siapa yang akan bertahan sampai akhir nanti.

Jakarta yang panas dan ganas….adakah kau segarang dan sekeras kepala pendirianku? Kita akan lihat dalam beberapa hari ke depan.

Jumat, 01 Januari 2010

Membangun Kekuatan Ekonomi Melalui Konsep Wawasan Kebangsaan

Perusahaan minyak raksasa di beberapa Negara di dunia telah menjadikan 3,5 miliar rakyat di Negara pemilik sumberdaya mineral tersebut justru melarat. Negara maju hanya menginginkan Negara berkembang membuka pasar bagi produk-produk mereka, sementara di sisi lain mereka menutup pasar mereka dari komoditas andalan Negara-negara berkembang.”

Dalam pertemuan World Trade Organisation (WTO) tahun 2003 di Cancun, Mexico, Negara-negara maju bersikeras untuk mempertahankan politik proteksionismenya. Bersamaan dengan itu, mereka menuntut supaya Negara-negara dunia ketiga membuka lebar-lebar pasar dalam negeri bagi produksi pangan negeri-negeri imperialis yang berlebihan, dengan harga lebih murah dari pada produksi dalam negeri. Tentu saja hal itu telah menghancurkan kehidupan kaum tani di negeri-negeri berkembang.
Beberapa bulan yang lalu, saya terkejut membaca status salah seorang teman kuliah dulu di facebook, dia menulis seperti ini, “Baru tahu saya, ternyata laut Indonesia sudah tidak asin lagi, pemerintah telah mengimpor garam senilai 900 Miliar Rupiah.” Sepintas lalu, tulisan itu terkesan ringan dan agak berolok-olok tapi sesungguhnya bisa menjadi masalah yang sangat serius dan berdampak buruk bagi kehidupan nasional. Kita perlu tahu bahwa pabrik gula di dalam negeri telah ambruk oleh kebijakan pemerintah yang mengimpor gula dari Thailand, petani tebu dalam negeri gulung tikar. Tindakan mengimpor produk yang sebenarnya diproduksi oleh produsen dalam negeri bukanlah tindakan yang bijaksana, karena tindakan tersebut berakibat pada menumpuknya kapital di luar negeri, bila kapital menumpuk, maka akan diupayakan peningkatan jumlah produksi. Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan jumlah produksi, yang pertama adalah menambah jam kerja dan menaikkan gaji karyawan, dan yang kedua adalah ekspansi atau perluasan perusahaan yang artinya membuka kesempatan kerja terhadap tenaga kerja usia produktif yang masih menganggur. Kenaikan upah bagi para karyawan dan penambahan insentif dari penambahan jam kerja (lembur) serta terbukanya kesempatan kerja akan membawa sebuah konsekuensi logis, yaitu naiknya tingkat kemakmuran. Dampak dari naiknya tingkat kemakmuran itu adalah meningkatnya daya beli rakyat, bila daya beli rakyat naik, maka beban Negara berupa subsidi untuk beberapa komoditi dapat diminimalisir. Ibarat pedang bermata dua. Tindakan mengimpor barang yang sesungguhnya diproduksi oleh produsen dalam negeri akan berdampak positif bagi Negara pengekspor dan di sisi lain berdampak buruk terhadap produsen dalam negeri dan mempersempit kesempatan kerja terhadap tenaga kerja usia produktif di dalam negeri, sehingga tidak heran bila arus tenaga kerja Indonesia untuk mengais rejeki di negeri orang terus mengalir dan bertambah dari tahun ke tahun.
Regulasi dan mekanisme pasar dunia yang diatur oleh lembaga-lembaga imperialis internasional di jaman modern ini sama saja polanya seperti di jaman kolonial. Dimasa pendudukan Belanda, sebagian besar Pulau Jawa disulap menjadi ladang tebu raksasa yang luar biasa luasnya. Rakyat dipaksa menyewakan tanah mereka kepada pihak perkebunan (VOC) dan mereka didaulat menjadi buruh di atas tanah milik mereka sendiri. Ada sebuah system yang memaksa rakyat untuk tunduk terhadap kemauan pemerintah colonial. Rakyat yang membangkang, tidak mau menyewakan tanahnya kepada pihak perkebunan akan mendapat tekanan dari penguasa local. Rakyat yang membangkang akan dikenai pajak (upeti) yang tinggi, melebihi hasil panennya. Bila si petani sudah tidak sanggup lagi membayarkan upeti maka lahan pertaniannya akan diambil secara paksa, atau dipaksa menandatangani perjanjian kontrak dengan pihak perkebunan. Pabrik-pabrik gula di pulau jawa tersebut menghasilkan keuntungan jutaan Gulden bagi Negara Belanda. Dari dulu hingga sekarang, Negara-negara maju menempatkan Negara-negara dunia ketiga sebagai basis untuk mendapatkan sumber bahan mentah dan tenaga kerja yang murah serta sebagai basis pasar yang cukup potensial untuk memasarkan produk-produk mereka.
Negara-negara maju terus saja menyalurkan bantuan ekonomi kepada Negara-negara berkembang, akan tetapi, rakyat di Negara-negara dunia ketiga tidak akan bias mengembangkan ekonomi nasional mereka dengan menerima segala bentuk bantuan ekonomi tersebut, karena bantuan yang disalurkan melalui lembaga-lembaga imperialis seperti World Bank, International Monetery Fund, dan lain sebagainya, hakekatnya hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengembalikan hutang dan bunganya, yang sebetulnya sampai kapanpun tidak akan pernah bias terlunasi.
Pinjaman atau bantuan itu hanya ditujukan untuk membangun jalan, membangun jembatan, membangun hotel-hotel untuk pariwisata, membangun gedung-gedung megah, artinya bukan untuk proyek-proyek produktif dan mempunyai andil terhadap kemajuan dan perkembvangan ekonomi nasional. Di samping itu, bantuan tidak akan pernah diberikan tanpa syarat atau ikatan baik ikatan politik maupun ekonomi yang pada hakekatnya selalu menguntungkan Negara-negara imperialis. Singkatnya, dibalik pemberian bantuan ekonomi tersebut, selalu terselip pesan ideology dari lembaga pemberi bantuan tersebut. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidak akan menggunakan uangnya untuk mendidik calon-calon pemikir dan pengkritik politik ekonomi dan kebijakan moneter maupun fiskal yang sedang dan akan diparktikkan oleh World Bank, International Monetery Fund (IMF), World Trade Organisation (WTO).
2010 sudah tinggal hitungan bulan saja. Bila saat itu tiba, siap tidak siap kita harus menyambut kedatangan era perdagangan bebas. Saat itu pajak ataupun bea masuk barang-barang impor adalah 0%. Artinya semua barang-barang impor yang selama ini dikenakan bea masuk sebesar 20% akan dibebaskan dari kutipan apapun. Pada era perdagangan bebas itu nanti, pemerintah tidak akan dapat melakukan apapun untuk memproteksi produsen dalam negeri yang selama ini dilakukan dengan pembatasan quota barang-barang import dan mengenakan bea masuk sebesar 20%. Mungkinkah Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang akan mengubahnya menjadi macan industru baru dan memberinya satu taraf hidup setara dengan rakyat di Eropa Barat sana melalui jalan kapitalisme? Satu pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin saya jawab karena jawaban pastinya adalah tidak.
Satu-satunya jalan yang memungkinkan Negara-negara dunia ketiga lepas dari jeratan kaum imperialis adalah meningkatkan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Rayat di Negara-negara berkembang harus belajar untuk memproduksi segala macam kebutuhan, termasuk yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Saya pernah berandai-andai, apa yang akan terjadi bila rakyat dan pemerintah hanya membeli produksi dalam negeri dan hanya membeli produk impor yang produk sejenisnya tidak dihasilkan oleh produsen dalam negeri. Berapa juta tenaga kerja usia produktif yang dapat dipekerjakan, sehingga arus pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Negara lain bisa diminimalisir. Sudah begitu hambarkah air laut Indonesia sehingga pemerintah merasa perlu untuk mengimpor garam senilai 900 miliar Rupiah? Sudah begitu rendahnyakah kandungan Vitamin C jeruk Indonesia sehingga orang-orang merasa perlu untuk membeli jeruk hongkong? Sudah begitu busuknyakah apel batu, Malang sehingga kita terus saja membeli Red Delicious?
Menurut saya, hal yang paling mendasar yang harus dilakukan untuk keluar dari segala krisis yang disebabkan oleh lembaga dan Negara-negara imperialis tersebut adalah reindoktrinasi wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan sekilas pandang hampir sama dengan wawasan Nusantara, tapi pada dasarnya sangat berbeda. Wawasan Nusantara ciptaan rejim Militeris-fasis Soeharto menitik beratkan tujuannya kepada keutuhan wilayah. Cara apapun akan ditempuh, termasuk jalan kekerasan seperti yang dipraktikkan pada tahun 1965-1998 untuk mempertahankan keutuhan wilayah Indonesia, sementara wawasan kebangsaan lebih menitikberatkan tujuannya pada kesatuan ide, kesatuan tujuan, kesatuan tekad, kesatuan rasa bahwa kita adalah satu, Indonesia. Wawasan kebangsaan bergerak untuk memperbaharui mental dan menciptakan manusia-manusia patriot yang mau melakukan apapun demi kemajuan Negara. Inilah masalah terbesar negeri ini. Praktik kapitalisme dan serangan pasar yang gila-gilaan telah membuat rakyat Indonesia cenderung bersifat konsumeris, individualis dan apatis.
Melalui konsep wawasan kebangsaan tersebut, maka rakyat Indonesia akan kembali tumbuh kecintaanya terhadap segala hal yang berbau keindonesiaan. Bila sudah tumbuh kecintaan terhadap segala hal yang berbau keindonesiaan kita akan mempercepat produksi dalam negeri dan berusaha untuk memproduksi sendiri segala macam kebutuhan hidup dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap produk impor yang nyata-nyata telah membunuh produksi dalam negeri dan menutup rapat-rapat kesempatan kerja bagi tenaga kerja usia produktif. Jadi, kalau ada semacam anggapan bahwa kecintaan terhadap Negara tidak akan berdampak apa-apa terhadap produksi dalam negeri dan tidak mempunyai andil dalam peningkatan tingkat pendapatan rakyat, maka inilah antitesis dari anggapan yang tersebut itu.
Tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga telah memanggil saya untuk kembali ke dunia kerja. Seorang klien datang dengan konsep-konsep advertisingnya meminta saya untuk membuatkan desain brosur dan pamphlet. Maaf, saya harus mengakhiri tulisan yang masih kurang sempurna ini. Salam.