Presiden Soekarno, Bapak bangsa mengintervensi parlemen sehingga muncullah wacana tentang Presiden seumur hidup, sehingga seolah-olah wacana tentang Presiden seumur hidup itu murni muncul dari Parlemen. Di tingkat massa rakyat wacana itu kemudian menjadi sebuah hal yang bisa diterima, lagipula Soekarno masih disepakati oleh mayoritas rakyat untuk tetap memegang kendali Negara yang sedang be-revolusi.
Sampailah kita pada era pemerintahan Soeharto. Inilah fase tergelap dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Depolitisasi dan demobilisasi massa dipraktikkan secara besar-besaran dan gila-gilaan. Semua kekuatan kritis massa diberantas sampai ke akar-akarnya, oraganisasi, lembaga maupun individu yang berseberangan jalan dengan penguasa dinamai sebagai OTB, KOMUNIS dan “cap” yang terkesan seram, maklumlah ketakutan terhadap faham komunisme (komunisto phobia) telah begitu dalam merasuk ke dalam jiwa rakyat Indonesia. Menggunakan sila ke-4 Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan ideologi developmentalismenya Soeharto berhasil memenangkan pemilihan presiden selama 6 periode berturut-turut. Sungguh rakyat tidak pernah tahu bagaimana regulasi dan mekanisme pemilihan presiden selama 6 periode tersebut karena pemilihan presiden dilaksanakan di tingkat parlemen dan bersifat elitis. Bukankah MPR adalah lembaga tertinggi Negara dan merupakan manifestasi perwakilan rakyat, jadi kalaupun pemilihan presiden tersebut dilaksanakan oleh anggota DPR-MPR bukankah itu merupakan cerminan dari kehendak rakyat? Selama 32 tahun kita hidup dalam logika yang demikian itu. Selama 32 tahun praktik berdemokrasi ala Soeharto begitu lekat dengan rakyat Indonesia hingga akhirnya rakyat lupa akan hak-haknya di wilayah politik, hukum, Budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan seperti yang termaktub di dalam UUD 1945.
Pemilihan Umum (singakatan ORde BAru: PEMILU) 1999 pun tiba, langkah Megawati Soekarno Putri menuju Singgasana Kepresidenan terjegal oleh kelompok yang menamai dirinya poros tengah yang dikomandoi oleh Amien Rais (Katanya sih Bapak Reformasi), Megawati yang mendapatkan simpati massa akibat tekanan dari penguasa dan massa pro Soerjadi pada tahun 1996 Dengan PDI Perjuangannya b erhasil mengumpulkan suara terbanyak dalam pemilihan umum 1999, tapi langkahnya menuju singgasana kepresidenan harus tertunda karena yang berhasil mendudukinya adalah Abdurrahman Wahid, Sementara Megawati hanya berhasil menjadi wapres. Tapi akhirnya Gus Dur pun harus tergusur dari kursi empuknya. Megawati pun secara otomatis naik menjadi Presiden setelah menunggu selama 3 tahun. Karena trauma dengan kenyataan pahit pada pemilu 1999, Megawati pun mulai membuat movement-movement politik. Agaknya Megawati ingin mendapatkan simpati pemuda revolusioner, hal ini dapat dilihat melalui pembebasan Tapol semacam Budiman Sudjatmiko, Garda Sembiring, Dita Indah Sari dan pembersihan nama mantan anggota PKI serta pembelian pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Lalu, movement politiknya Megawati memunculkan wacana pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Megawati cukup percaya diri dengan popularitasnya di tingkat massa akar rumput, tapi apa yang terjadi? Megawati kembali gagal, kali ini yang menggagalkan ambisinya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Agaknya lagu Iwan Fals yang liriknya berbunyi “Tak peduli perwira, Bintara atau Tamtama, serdadu, tetap sedadu,” tidak hanya berlaku bagi tentara tapi bagi penguasa juga. Semua penguasa tetap sama. Jauh-jauh hari sebelum pemilu 2009 lembaga penyelenggara Pemilu menetapkan Electoral Threshold dan parliamentanyary Threshold (jujur, sebenernya aku gak mudeng artinya ini apa) dan persyaratan 25 % persen perolehan suara bagi partai yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres. Syarat-syarat ini mungkin terlalu berat untuk dipenuhi oleh partai politik karena harus bertarung dengan 43 partai lainnya. Bila melihat kondisi sekarang ini, Selain Partai Demokrat (PD) belum ada parpol yang berhasil mengumpulkan suara sebanyak 25 persen itu. Artinya apa? Artinya adalah, mungkin hanya akan ada satu pasangan tunggal yang berhak maju dalam pemilihan pilpres mendatang. Inilah wacana yang kemudian muncul setelah melihat hasil perolehan sementara yang dikeluarkan oleh KPU. Wacana ini tak pernah terpikirkan (sebenarnya sih terpikirkan oleh mereka) untuk diantisipasi sebelumnya karena baik di dalam UUD 1945 maupun UU Pilpres hanya mengatur tentang pemilihan Presiden yang diikuti oleh minimal dua (2) pasangan capres-cawapres.
Tentu saja wacana tentang calon tunggal ini akan mengundang polemic yang berkepanjangan dan tidak akan pernah mencapai kata sepakat dari partai-partai peserta pemilu. Bila situasi tersebut terjadi, maka akan ada kekosongan kekuasaan. Tentu saja situasi ini tidak boleh terjadi. Tidak boleh ada kekosongan kekuasaan satu detikpun. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka bila wacana pasangan tunggal tersebut tidak bisa diterima oleh Lembaga Penyelenggara Pemilu (KPU) maka telah terpenuhi sebuah prasyarat konstitusional tentang kegentingan yang memaksa yang diisyaratkan UUD 1945 untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Entah disengaja atau tidak, tapi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dan harus dipenuhi oleh sebuah partai politik agar dapat mengajukan calon di pilpres mendatang, nyata-nyata menguntungkan penguasa. Karena, celah ini bisa dimanfaatkan untuk melegalisasi wacana pasangan (calon) tunggal dalam pilpres 2009 melalui perppu tersebut. Tapi, mari kita berharap, semoga saja kewenangan penguasa (baca presiden) untuk mengeluarkan perppu dipakai bukan untuk melegalisasi pasangan tunggal tersebut, tetapi dipakai untuk merevisi UU Pilpres itu sendiri, misalnya, semua parpol yang lolos dan memenuhi Parliamentary Threshold diperbolehkan untuk mengajukan pasangan capres-cawapres.